Menu Close

Riset ungkap mengapa birokrat ciptakan aplikasi layanan publik yang dianggap boros dan nirfaedah

Aplikasi SIM Nasional Presisi Korlantas Polri (Sinar). Antara Foto

Sempat muncul kontroversi di publik mengenai ribuan aplikasi digital milik pemerintah yang dianggap ‘pemborosan negara’, ‘nirfaedah’, dan hanya menunjukkan ‘latahnya’ pemerintah terhadap digitalisasi.

Namun, berbagai analisis dan kritik yang beredar belum cukup dalam menjelaskan penyebab struktural mengapa hal ini terjadi.

Jika kita ingin mengkritisi fenomena aplikasi digital pemerintah, kita perlu memahami struktur dan proses apa yang melatarbelakangi lahirnya ribuan aplikasi tersebut.

Fenomena menumpuknya aplikasi digital tidak lepas dari tuntutan reformasi birokrasi yang berorientasi pada new public management. Inilah yang mendorong birokrasi terobsesi pada pemenuhan indikator-indikator kuantitatif dan seremonial belaka.

Studi lapangan berupa wawancara kepada sekelompok birokrat muda dan penelusuran wacana di media sosial yang kami lakukan pada tahun 2021-2022 menunjukkan beberapa sisi lain dari kisruh inovasi ini.

Sempitnya konsep inovasi, hanya fokus pada kuantitas

Dorongan inovasi sektor publik di Indonesia menguat seiring dengan munculnya paradigma new public management, yakni menjadikan sektor publik lebih efektif dan efisien dengan mengadopsi berbagai konsep dan praktik dari sektor swasta.

Salah satu inisiatif yang lahir dari prinsip new public management adalah one agency one innovation (satu institusi, satu inovasi) yang diluncurkan pada tahun 2013 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) sebagai langkah peningkatan kualitas pelayanan publik.

Tujuan ini selaras dengan agenda memperlancar kepentingan usaha (ease of doing business) dan mendorong usaha pemberantasan korupsi dalam tata kelola birokrasi pemerintahan.

Namun, kami mencatat ada beberapa persoalan yang muncul sebagai akibat dari inisiatif KemenPANRB tersebut:

Pertama, sempitnya konseptualisasi inovasi. Kebanyakan birokrat jadi memaknai inovasi sebagai ‘aplikasi digital’, karena dalam panduan reformasi birokrasi memang terdapat penekanan pada tujuan “mempermurah, mempermudah, dan mempercepat layanan publik”.

Pemerintah kemudian menyebarluaskan gagasan ini melalui berbagai medium dan forum pelatihan, termasuk dalam pelatihan dasar calon pegawai negeri sipil (CPNS). Peserta CPNS sejak awal didorong untuk dapat berinovasi. Begitu pula bagi PNS yang mengikuti pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (diklatpim).

Setiap tahun, setidaknya ada 112 ribu peserta pelatihan dasar dan 2.000 peserta diklatpim dari instansi pemerintahan di seluruh Indonesia. Laporan aktualisasi CPNS dan diklatpim tidak lepas dari nuansa dorongan adanya perubahan yang mengedepankan teknologi informasi.

Konsekuensinya, para CPNS dan PNS terdorong memproduksi aplikasi-aplikasi digital hanya demi memenuhi syarat kelulusan pelatihan-pelatihan di atas.

Sempitnya pemaknaan inovasi seperti ini kemudian memunculkan paradoks. Di satu sisi, inovasi melalui penciptaan aplikasi digital bertujuan memberikan pelayanan yang mudah dan murah. Di sisi lain, ribuan aplikasi yang diciptakan telah menimbulkan pemborosan keuangan negara, ini yang menjadi keluhan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Kedua, new public management yang berorientasi perbaikan layanan publik kerap menggunakan mekanisme monitoring dan kontrol yang kaku, serta indikator yang bersifat kuantitatif semata.

Ketika berbicara layanan publik, birokrasi seakan didorong untuk menciptakan sesuatu yang bisa dihitung, disajikan secara visual dan diseremonikan, seperti aplikasi digital.

Kementerian yang menaungi reformasi birokrasi pun senang merayakan kenaikan kuantitatif jumlah inovasi yang diproduksi oleh para birokrat setiap tahunnya dengan menggelar acara tahunan kompetisi inovasi pelayanan publik.

Kompetisi itu menjadi salah satu manifestasi umum new public management yang mengedepankan semangat individualisasi, kewirausahaan, dan meritokrasi. Mereka yang berjiwa wirausaha (kreatif dan inovatif) adalah yang layak mendapatkan penghargaan dan selebrasi.

Jarang ada yang mengkritisi apakah inovasi yang mereka ciptakan itu sesuai dengan kebutuhan nyata institusi dan masyarakat, serta bagaimana kebermanfaatan dan kesinambungannya.

Indikator-indikator yang ada cenderung menggiring orang untuk berpikir jangka pendek demi memenuhi target-target kuantitatif yang dibebankan pada birokrat. Akibatnya, muncul jasa komersial memproduksi aplikasi yang semakin menjauhkan dari esensi inovasi itu sendiri.

Menggenjot inovasi sebagai syarat perbaikan kesejahteraan PNS

Aspek lain yang jarang dipahami oleh publik adalah bagaimana jargon ‘inovasi’ di pemerintahan kerap dijadikan syarat perbaikan kesejahteraan PNS di instansi-instansi publik yang remunerasinya masih belum layak, atau yang kerap disebut sebagai ‘instansi jelata’.

Yang masuk istilah kategori ‘instansi jelata’ yakni seluruh kementerian selain Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sementara Kemenkeu sendiri disebut instansi sultan.

Demi memenuhi penilaian indeks reformasi birokrasi yang rumit dan tidak transparan, masing-masing instansi pemerintah berlomba-lomba melakukan inovasi pelayanan publik sesuai pemahaman dan sumber daya yang mereka miliki.

Hasil studi lapangan kami menunjukkan bahwa tidak sedikit birokrat yang antusias ingin melakukan inovasi namun terbentur hambatan struktural, seperti minimnya dukungan institusi dalam bentuk anggaran yang memadai.

Mereka yang berhasil memenangkan kontes inovasi pelayanan publik biasanya adalah yang memiliki kemampuan informasi teknologi, memiliki jejaring yang mendukung, atau yang memiliki jabatan yang cukup tinggi di instansinya sehingga dapat mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk mengembangkan inovasinya.

PR pemerintah terhadap para birokratnya

Sudah saatnya birokrasi mendorong birokratnya untuk berinovasi dalam artian yang lebih luas dan kritis. Inovasi, apalagi dalam rangka mereformasi tatanan birokrasi, adalah hal baik. Namun yang lebih penting adalah cara memahami permasalahan mengapa inovasi diperlukan.

Pemerintah sebaiknya tidak membuat indikator-indikator yang dapat membuat para birokrat gagal paham dan menerjemahkan inovasi hanya sebagai penciptaan aplikasi digital. Inovasi seharusnya bukan merupakan suatu kegiatan sesaat (one time phenomenon), melainkan sebuah proses yang panjang dan kumulatif yang melibatkan banyak proses pengambilan keputusan di organisasi, mulai dari penemuan gagasan sampai tataran penerapan serta evaluasinya.

Sudah saatnya pula pemerintah mengakomodasi pencapaian inovasi dengan cara yang lebih tepat. Alih-alih saling berkompetisi dalam rangka memenuhi syarat administrasi perbaikan kesejahteraan, seharusnya semua instansi publik diberikan modal yang sama berupa remunerasi yang layak dan berkeadilan sesuai amanat Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai wujud tata kelola yang demokratik.

Dengan begitu, birokrasi bisa bersinergi, bukannya berkompetisi, untuk satu tujuan yang sama: pelayanan yang mendatangkan nilai kebermanfaatan yang berkesinambungan bagi masyarakat Indonesia.


Sondang Sibarani, alumni Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, turut berkontribusi dalam tulisan ini melalui penelitiannya berjudul “Studi Eksploratori Inovasi Sektor Publik dari Sudut Pandang Aparatur Sipil Negara (ASN) Indonesia” pada tahun 2021 yang dibiayai oleh LPDP RI

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now