Menu Close
Penyelam perempuan di Samudra Pasifik.
Shutterstock

Samudra Pasifik: terbesar di dunia namun dalam bahaya

Samudra Pasifik adalah samudra terdalam dan terbesar di Bumi, mencakup sekitar sepertiga permukaan Bumi.

Lautan yang begitu luas ini mungkin tampak tak tertandingi.

Namun, di seluruh jangkauannya - dari Antarktika di selatan hingga Arktik di utara, dan dari Asia hingga Australia hingga Amerika - ekologi samudra Pasifik berada di bawah ancaman.

Dalam banyak hal, penyebabnya adalah aktivitas manusia.

Manusia telah secara sistematis menjarah ikan di Pasifik.

Kita telah mengubah samudra ini menjadi tempat sampah. Sampah telah ditemukan bahkan di titik terdalam di Bumi, yaitu Palung Mariana, 11.000 meter di bawah permukaan laut.

Saat kita melepaskan karbon dioksida ke atmosfer, Pasifik, seperti juga samudera lainnya, menjadi lebih asam.

Hal ini berarti ikan kehilangan indra penglihatan dan penciuman, serta organisme laut kesulitan membentuk cangkang.


Artikel ini adalah bagian dari serial Oceans 21
Lima profil samudra dunia membuka serial kami mengenai lautan global, menyelami jaringan perdagangan kuno Samudrra Hindia, polusi plastik di Samudra Pasifik, cahaya dan kehidupan di Samudra Arktik, perikanan Samudra Atlantik, dan dampak Lautan Selatan terhadap iklim global. Nantikan artikel-artikel terbaru menjelang COP26. Semua ini persembahan dari jaringan internasional The Conversation.

Lautan menghasilkan sebagian besar oksigen yang kita hirup.

Lautan juga mengatur cuaca, menyediakan makanan, dan memberi penghasilan bagi jutaan orang.

Lautan adalah sumber kesenangan dan rekreasi, penghiburan dan hubungan spiritual.

Jadi, lautan yang sehat dan dinamis bermanfaat bagi kita semua.

Dengan lebih memahami ancaman terhadap Pasifik, kita dapat memulai jalan panjang untuk melindunginya.

Ancaman plastik laut

Masalah plastik laut diakui secara ilmiah pada 1960-an setelah 2 ilmuwan melihat bangkai elang laut di pantai barat laut Kepulauan Hawai'i di Pasifik utara.

Hampir 3 dari 4 anak burung Albatros mati sebelum menjadi dewasa dengan plastik di perut mereka.

Saat ini, sampah plastik ditemukan di semua habitat lautan utama di seluruh dunia, dalam ukuran mulai dari nanometer hingga meter.

Sebagian kecil dari ini terakumulasi menjadi “pusaran sampah” raksasa yang mengapung dan, salah satu yang terbesar ada di Samudra Pasifik.

Sebagian besar sampah plastik dari darat sampai ke laut melalui sungai.

Hanya 20 sungai yang menyumbang dua pertiga dari plastik global yang masuk ke laut dan 10 di antaranya dibuang ke Samudra Pasifik bagian utara.

Setiap tahun, misalnya, Sungai Yangtze di China, yang mengalir melalui Shanghai, mengirimkan sekitar 1,5 juta metrik ton puing ke Laut Kuning Pasifik.

Burung Albatros yang sudah mati dengan plastik di perutnya.
Foto tahun 2014 ini menunjukkan anak Albatros dengan plastik di perutnya di Midway Atoll di barat laut Kepulauan Hawai'i. Dan Clark/ U.S. Fish and Wildlife Service via AP

Pembunuh kehidupan liar

Sampah plastik di lautan sangat mengancam kehidupan laut. Satwa dapat tersangkut di puing-puing, seperti jaring ikan yang dibuang, dan menyebabkan mereka terluka atau tenggelam.

Beberapa organisme, seperti alga mikroskopis dan invertebrata, juga dapat menumpang pada puing-puing yang mengapung dan menempuh jarak yang jauh melintasi lautan.

Ini berarti organisme tersebut dapat tersebar di luar jangkauan alami mereka dan dapat menjajah wilayah lain sebagai spesies invasif.


Read more: For decades, scientists puzzled over the plastic 'missing' from our oceans – but now it's been found


Satwa liar juga berada dalam bahaya bila menelan sampah, seperti mikroplastik berukuran kurang dari 5 milimeter.

Plastik ini dapat menghalangi mulut satwa atau menumpuk di perut mereka. Seringkali, satwa mati secara perlahan dan menyakitkan.

Burung laut, khususnya, sering salah mengira plastik terapung sebagai makanan.

Sebuah studi tahun 2019 menemukan ada 20% kemungkinan burung laut akan mati setelah menelan satu benda dan meningkat menjadi 100% setelah mengkonsumsi 93 benda.

Penyu terjebak sampah jaring ikan.
Jaring ikan yang dibuang atau ‘jaring hantu’ dapat menjerat satwa, seperti penyu. Shutterstock

Momok di negara-negara pulau kecil

Plastik sangat tahan lama dan dapat mengapung dalam jarak yang sangat jauh di lautan.

Tahun 2011, 5 juta ton puing memasuki Pasifik selama tsunami Jepang.

Beberapa melintasi seluruh cekungan samudra dan berakhir di garis pantai Amerika Utara.

Karena plastik terapung di lautan terbuka terbawa, terutama oleh arus permukaan laut dan angin, maka puing-puing plastik menumpuk di garis pantai pulau di sepanjang jalurnya.

Pantai Kamilo, di ujung tenggara Pulau Besar Hawai'i, dianggap sebagai salah satu tempat polusi plastik terparah di dunia.

Sedikitnya 20 ton sampah plastik masuk ke pantai itu setiap tahun.

Demikian pula, di Pulau Henderson yang tidak berpenghuni, bagian dari rantai Pulau Pitcairn di Pasifik Selatan, 18 ton plastik telah terkumpul di pantai yang panjangnya hanya 2,5 km.

Ribuan keping plastik terdampar di pesisir setiap hari.

Pantai Kamilo disebut sebagai pantai yang terkotor di dunia.

Pusaran sampah subtropis

Sampah plastik bisa mengalami kondisi yang berbeda-beda di lautan: sebagian tenggelam, sebagian terdampar di pantai, dan sebagian mengapung di permukaan laut, diangkut oleh arus, angin, dan gelombang.

Sekitar 1% sampah plastik terakumulasi di 5 “pusaran sampah” subtropis di lautan terbuka.

Pusaran ini terbentuk sebagai hasil dari sirkulasi lautan, didorong oleh medan angin yang berubah dan rotasi Bumi.

Ada 2 pusaran sampah subtropis di Pasifik: satu di belahan bumi utara dan satu lagi di belahan bumi selatan.

Wilayah akumulasi utara dipisahkan menjadi bagian timur antara California dan Hawai'i, dan bagian barat, yang membentang ke arah timur dari Jepang.

Lokasi dari 5 pusaran sampah subtropis. van der Mheen et al. (2019)

Aib sampah laut kita

Pertama kali ditemukan oleh Kapten Charles Moore pada awal tahun 2000-an, pusaran sampah di timur lebih dikenal sebagai Pulau Sampah Pasifik Besar (Great Pacific Garbage Patch) karena merupakan kumpulan sampah yang terbesar menurut ukuran (sekitar 1,6 juta kilometer persegi) dan jumlah plastik.

Secara berat, pusaran sampah ini bisa menampung lebih dari 100 kilogram per kilometer persegi.

Pusaran sampah di Pasifik selatan terletak di lepas Valparaiso, Cile, memanjang ke barat.

Pusaran ini memiliki konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pusaran lain yang raksasa di timur laut.

Jaring ikan yang dibuang menghasilkan sekitar 45% dari total berat plastik di Pulau Sampah Pasifik Besar.

Limbah dari tsunami Jepang tahun 2011 juga merupakan penyumbang utama, diperkirakan mencapai 20% dari kumpulan sampah tersebut.


Read more: Whales and dolphins found in the Great Pacific Garbage Patch for the first time


Seiring waktu, sampah plastik yang lebih besar terpecah menjadi mikroplastik.

Mikroplastik membentuk hanya 8% dari total berat sampah plastik di Pulau Sampah Pasifik Besar, tetapi mencakup 94% dari perkiraan 1,8 triliun keping plastik.

Dalam konsentrasi tinggi, sampah plastik ini bisa membuat air menjadi “keruh”.

Setiap tahun, sebanyak 15 juta ton sampah plastik diperkirakan masuk ke laut dari garis pantai dan sungai.

Jumlah ini diperkirakan menjadi 2 kali lipat pada tahun 2025 karena produksi plastik terus meningkat.

Kita harus bertindak segera untuk membendung arus ini.

Hal ini termasuk mengembangkan rencana untuk mengumpulkan dan membuang plastik dan, yang terpenting, berhenti memproduksi terlalu banyak plastik sejak awal.

Penyelam melepaskan hiu paus dari jaring ikan.

Perikanan di ambang kehancuran

Sebagai laut terbesar dan terdalam di Bumi, Pasifik menyediakan beberapa sumber perikanan terbesar di dunia.

Selama ribuan tahun, manusia mengandalkan sumber ini untuk makanan dan mata pencaharian mereka.

Namun, di seluruh dunia, termasuk di Pasifik, operasi penangkapan ikan menghabiskan populasi ikan lebih cepat daripada pertumbuhannya.

Penangkapan ikan berlebihan ini dianggap sebagai salah satu ancaman paling serius bagi lautan dunia.

Manusia mengambil sekitar 80 juta ton satwa liar dari laut setiap tahun.

Tahun 2019, para ilmuwan terkemuka dunia mengatakan bahwa dari semua ancaman terhadap keanekaragaman hayati laut selama 50 tahun terakhir, penangkapan ikan menyebabkan kerusakan yang paling banyak.

Mereka mengatakan 33% spesies ikan dieksploitasi secara berlebihan, 60% ditangkap secara maksimal, dan hanya 7% yang tidak terlalu menjadi sasaran untuk ditangkap.

Penurunan populasi ikan bukan hanya menjadi masalah bagi manusia.

Ikan memainkan peran penting dalam ekosistem laut dan merupakan penghubung penting dalam jaring makanan laut yang kompleks.

Sekelompok ikan.
Penangkapan ikan yang berlebihan menghilangkan kehidupan laut di Samudra Pasifik. Shutterstock

Tidak banyak ikan di laut

Penangkapan berlebih terjadi ketika manusia mengekstraksi sumber daya ikan melebihi tingkat maksimum, yang dikenal sebagai “potensi maksimum lestari”.

Penangkapan ikan di luar potensi ini menyebabkan stok ikan global menurun, mengganggu rantai makanan, merusak habitat, dan menciptakan kelangkaan makanan bagi manusia.

Samudra Pasifik adalah rumah bagi perikanan tuna skala besar, yang menyediakan hampir 65% dari tangkapan tuna dunia setiap tahun.

Namun, kelangsungan hidup jangka panjang banyak populasi tuna terancam.

Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dirilis pada 2013 menemukan jumlah tuna sirip biru, biasa digunakan untuk sushi, telah menurun lebih dari 96% di Samudra Pasifik Utara.

Negara berkembang, termasuk Indonesia dan Cina, adalah pelaku penangkapan ikan yang berlebihan. Demikian pula halnya dengan negara-negara maju.


Read more: When hurricanes temporarily halt fishing, marine food webs recover quickly


Di sepanjang pantai barat Kanada, populasi salmon Pasifik telah menurun dengan cepat sejak awal 1990-an, sebagian karena penangkapan ikan yang berlebihan.

Jepang baru-baru ini dikritik keras karena proposal meningkatkan kuota tuna sirip biru Pasifik, spesies yang dilaporkan hanya tersisa 4,5% dari populasi historis.

Para ahli mengatakan penangkapan ikan berlebihan juga merupakan masalah di Australia.

Misalnya, penelitian pada tahun 2018 menunjukkan spesies ikan ukuran besar menurun dengan cepat di seluruh negeri karena tekanan penangkapan yang berlebihan.

Di daerah yang terbuka untuk penangkapan ikan, populasi yang dieksploitasi turun rata-rata 33% dalam dekade hingga 2015.

Hidangan sushi.
Stok ikan yang digunakan untuk sushi telah menurun jumlahnya. Shutterstock

Apa yang mendorong penangkapan ikan berlebihan?

Ada banyak alasan mengapa penangkapan ikan berlebihan terjadi dan mengapa hal itu sulit dicegah.

Bukti menunjukkan hal-hal berikut : - kemiskinan di kalangan nelayan di negara berkembang. - subsidi penangkapan ikan yang memungkinkan armada penangkap ikan skala besar melakukan perjalanan ke perairan negara berkembang dan bersaing dengan nelayan skala kecil dan menjaga industri tetap berjalan. - pengelolaan perikanan dan masyarakat yang buruk. - kepatuhan yang lemah terhadap peraturan penangkapan ikan karena kurangnya kapasitas pemerintah daerah.


Read more: The race to fish: how fishing subsidies are emptying our oceans


Mari kita ambil contoh Indonesia.

Indonesia terletak di antara Samudra Pasifik dan Hindia dan merupakan penghasil tangkapan ikan terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan Peru.

Sekitar 60% hasil laut ditangkap oleh nelayan skala kecil. Banyak yang berasal dari komunitas pesisir yang miskin.

Penangkapan berlebih pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1970-an.

Hal ini mendorong keluarnya Keputusan Presiden pada tahun 1980, yang melarang pukat (trawl) di pulau Jawa dan Sumatra.

Tetapi penangkapan ikan berlebihan berlanjut hingga tahun 1990-an, dan masih berlanjut hingga hari ini.

Spesies sasaran termasuk ikan karang, lobster, udang, kepiting, dan cumi-cumi.

Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa bukan hal yang mudah untuk memecahkan masalah penangkapan ikan yang berlebihan.

Tahun 2017, pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan yang menjaga penangkapan ikan pada tingkat lestari, yaitu 12,5 juta ton per tahun.

Namun, di beberapa tempat, praktik tersebut terus berlanjut. Sebagian besar karena peraturan tidak jelas dan penegakan hukum setempat tidak memadai.

Penerapan menjadi rumit karena hampir semua kapal penangkap ikan skala kecil di Indonesia berada di bawah kendali pemerintah provinsi.

Hal ini menunjukkan perlunya kerja sama yang lebih baik antar tingkat pemerintahan dalam menindak penangkapan ikan yang berlebihan.

Nelayan memeriksa tangkapan.
Secara global, kepatuhan dan penegakan batas penangkapan ikan seringkali buruk. Shutterstock

Apa lagi yang bisa kita lakukan?

Untuk mencegah penangkapan ikan berlebihan, pemerintah harus mengatasi masalah kemiskinan dan pendidikan yang buruk di komunitas nelayan kecil.

Hal ini mungkin termasuk mencarikan mereka sumber pendapatan baru.

Misalnya, di kota Oslob di Filipina, mantan nelayan beralih ke pariwisata.

Mereka memberi makan hiu paus sejumlah kecil krill untuk mendekatkan mereka ke pantai sehingga wisatawan bisa snorkeling atau menyelam bersama mereka.

Mengatasi penangkapan ikan berlebihan di Pasifik juga akan membutuhkan kerja sama antar negara untuk memantau praktik penangkapan ikan dan menegakkan aturan.

Jaringan kawasan perlindungan laut dunia juga harus diperluas dan diperkuat untuk melestarikan kehidupan laut.

Saat ini, kurang dari 3% lautan di dunia merupakan zona dilindungi, di mana penangkapan dilarang.

Di Australia, banyak suaka laut berukuran kecil dan terletak di kawasan yang bernilai kecil bagi nelayan komersial.

Runtuhnya perikanan di seluruh dunia menunjukkan betapa rentannya kehidupan laut.

Jelas terlihat bahwa manusia mengeksploitasi lautan. Miliaran orang mengandalkan makanan laut untuk protein dan mata pencaharian mereka.

Tetapi dengan membiarkan penangkapan ikan berlebihan terus berlanjut, kita tidak hanya membahayakan lautan, tetapi juga diri kita sendiri.

ikan dalam jaring.
Memberikan penghasilan alternatif kepada nelayan dapat membantu mencegah penangkapan ikan berlebihan. Shutterstock

Read more: Poor Filipino fishermen are making millions protecting whale sharks


Ancaman pengasaman laut

Perairan tropis dan subtropis di Samudra Pasifik adalah rumah bagi lebih dari 75% terumbu karang dunia.

Ini termasuk Great Barrier Reef dan Segitiga Terumbu Karang, seperti yang ada di Indonesia dan Papua Nugini.

Terumbu karang menanggung beban terbesar dari perubahan iklim.

Kita banyak mendengar tentang pemutihan karang (coral bleaching) yang merusak ekosistem karang.

Tetapi proses berbahaya lainnya, pengasaman laut, juga mengancam kelangsungan hidup terumbu karang.

Pengasaman laut, secara khusus, memengaruhi perairan dangkal dan kawasan Pasifik subarktik yang rentan.

Terumbu karang menutupi kurang dari 0,5% permukaan Bumi, tetapi menjadi rumah sekitar 25% dari semua spesies laut.

Karena pengasaman laut dan ancaman lainnya, “hutan hujan bawah air” yang sangat beragam ini menjadi ekosistem yang paling terancam di Bumi.

Terumbu karang di Tahiti.
Pasifik adalah rumah bagi lebih dari 75% terumbu karang dunia. Victor Huertas, Author provided (no reuse)

Reaksi kimia

Pengasaman laut melibatkan penurunan pH air laut karena menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer.

Setiap tahun, manusia melepaskan 35 miliar ton CO₂ melalui aktivitas seperti pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi.

Lautan menyerap hingga 30% CO₂ di atmosfer, memicu reaksi kimia di mana konsentrasi ion karbonat turun dan konsentrasi ion hidrogen meningkat.

Perubahan itu membuat air laut menjadi lebih asam.

Sejak Revolusi Industri, pH laut telah menurun 0,1 unit.

Ini mungkin tidak terlihat banyak, tetapi sebenarnya ini berarti lautan sekarang sekitar 28% lebih asam daripada sejak pertengahan 1800-an.

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengatakan laju pengasaman semakin cepat.

Kota industri dari udara.
Setiap tahun, manusia melepaskan 35 miliar ton CO₂. Shutterstock

Mengapa pengasaman laut berbahaya?

Ion karbonat adalah bahan penyusun struktur karang dan organisme yang membangun cangkang.

Jadi, penurunan konsentrasi ion karbonat bisa menjadi berita buruk bagi kehidupan laut.

Di perairan yang lebih asam, moluska ditemukan kesulitan membuat dan memperbaiki cangkang.

Hewan-hewan ini juga menunjukkan gangguan pertumbuhan, metabolisme, reproduksi, fungsi kekebalan, dan perilaku yang berubah.

Misalnya, para peneliti mengekspos kelinci laut (sejenis siput laut) di Polinesia Prancis untuk simulasi pengasaman laut dan menemukan bahwa mereka kurang berhasil mencari makan.

Pengasaman laut juga menjadi masalah bagi ikan.

Banyak penelitian telah mengungkapkan CO₂ yang tinggi dapat mengganggu indra penciuman, penglihatan dan pendengaran ikan.

Hal ini juga dapat merusak sifat bertahan hidup, seperti kemampuan ikan untuk belajar, menghindari predator dan memilih habitat yang sesuai.

Kerusakan tersebut tampaknya merupakan akibat dari perubahan fungsi neurologis, fisiologis dan molekuler pada otak ikan.

Kelinci laut
Kelinci laut yang terpapar pengasaman laut membuat keputusan yang lebih buruk. Shutterstock

Memprediksi yang menang dan yang kalah

Dari 7 samudra, Samudra Pasifik dan Samudra Hindia mengalami pengasaman paling cepat sejak 1991.

Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan laut di sana mungkin juga lebih rentan.

Namun, pengasaman laut tidak memengaruhi semua spesies laut dengan cara yang sama, dan efek dapat bervariasi selama masa hidup organisme.

Jadi, penelitian lebih lanjut untuk memprediksi yang menang dan yang kalah di masa depan sangat penting.

Ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi ciri-ciri yang diturunkan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup organisme dan keberhasilan reproduksi dalam kondisi yang lebih asam.

Populasi pemenang mungkin mulai beradaptasi, sementara populasi yang kalah harus menjadi target konservasi dan pengelolaan.


Read more: Acid oceans are shrinking plankton, fuelling faster climate change


Salah satu pemenang tersebut mungkin adalah hiu karpet ekor panjang (epaulette shark), spesies terumbu karang perairan dangkal yang endemik di Great Barrier Reef.

Penelitian menunjukkan simulasi kondisi pengasaman laut tidak memengaruhi pertumbuhan awal, perkembangan dan kelangsungan hidup embrio dan neonatus, juga tidak mempengaruhi perilaku mencari makan atau kinerja metabolisme hiu dewasa.

Tetapi pengasaman laut juga cenderung membuat beberapa spesies menjadi kalah di Great Barrier Reef.

Misalnya, para peneliti yang mempelajari ikan badut oranye, spesies yang menjadi populer karena karakter animasi Disney, “Nemo”, menemukan bahwa mereka menderita beberapa gangguan sensorik dalam simulasi kondisi pengasaman laut.

Gangguan ini berkisar dari kesulitan mencium dan mendengar untuk menemukan jalan pulang, hingga membedakan teman dari musuh.

Ikan badut
Ikan badut berjuang untuk membedakan teman dari musuh saat terkena pengasaman laut. Shutterstock

Belum terlambat

Lebih dari setengah miliar orang bergantung pada terumbu karang untuk makanan, pendapatan, dan perlindungan dari badai dan erosi pantai.

Terumbu karang menyediakan pekerjaan, seperti pariwisata dan memancing serta tempat rekreasi.

Secara global, terumbu karang mewakili industri yang bernilai 11,9 triliun dolar per tahun.

Yang terpenting, lautan adalah tempat hubungan budaya dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat adat di seluruh dunia.

Pengasaman laut bukan satu-satunya ancaman bagi terumbu karang.

Dengan perubahan iklim, laju pemanasan laut meningkat 2 kali lipat sejak 1990-an.

Great Barrier Reef, misalnya, telah menghangat 0,8°C sejak Revolusi Industri.

Selama 5 tahun terakhir, hal ini telah menyebabkan pemutihan karang secara berulang-ulang.

Dampak dari lautan yang lebih hangat diperparah oleh pengasaman laut.


Read more: Coronavirus is a 'sliding doors' moment. What we do now could change Earth's trajectory


Mengurangi emisi gas rumah kaca harus menjadi misi global.

COVID-19 telah memperlambat pergerakan manusia di Bumi, menunjukkan kemungkinan untuk secara radikal memangkas produksi CO₂.

Apabila dunia memenuhi tujuan paling ambisius dari Perjanjian Paris dan mempertahankan kenaikan suhu global di bawah 1,5°C, Pasifik akan menghindari penurunan pH samudra yang jauh lebih parah.

Namun, kita harus mengurangi emisi lebih banyak, yaitu 45% selama dekade berikutnya, untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C.

Ini akan memberi harapan bahwa terumbu karang di Pasifik dan di seluruh dunia tidak hilang seluruhnya.

Jelas, bahwa keputusan yang kita buat hari ini akan memengaruhi seperti apa samudra kita besok.

Samudra Pasifik di pesisir Taiwan.
Keputusan kita hari ini akan menentukan nasib lautan kelak. Shutterstock

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now