Menu Close
Teknokrat. www.shutterstock.com

Sebuah riset tunjukkan resep sukses bagi akademisi yang menjadi pejabat publik

Dalam berbagai periode sejak Indonesia merdeka keterlibatan akademisi sebagai pengambil kebijakan merupakan hal biasa. Pada masa Orde Baru yang otoriter, akademisi yang diangkat menjadi pejabat publik dapat mengambil pendekatan teknokratis, yaitu menggunakan orientasi keahlian, dalam membuat dan menerapkan kebijakan.

Namun, dalam konteks Indonesia pasca-otoritarianisme, akademisi tidak dapat mengandalkan pengetahuan mereka semata agar dapat secara efektif mengelola perubahan. Ada modal lain yang juga harus mereka kuasai.

Akademisi dalam kabinet

Saya meneliti mengenai akademisi dalam pemerintahan dengan mengambil responden 22 pejabat publik di pemerintah pusat yang berlatar belakang akademisi. Saya melakukan wawancara antara Agustus 2017-Januari 2018.

Dari penelusuran terhadap beberapa data sekunder, terungkap bahwa di setiap periode politik, akademisi ada di dalam struktur pemerintahan. Contohnya, 13,9% anggota kabinet sejak Indonesia merdeka berlatar belakang akademisi, 27,1% pada masa Orde Baru, dan meningkat menjadi 31,9% sejak era Reformasi. Setengah dari akademisi tersebut berasal dari Universitas Indonesia, diikuti berturut-turut akademisi dari Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Padjadjaran.

Hasil wawancara mengindikasikan tidak ada keterkaitan antara afiliasi universitas dengan keputusan untuk merekrut akademisi. Relevansi bidang keahlian dengan portofolio jabatan menjadi pertimbangan utama dalam menunjuk akademisi untuk menduduki baik jabatan politik seperti menteri atau jabatan karir di birokrasi seperti direktur jenderal.

Pada masa Orde Baru para akademisi yang menjadi pejabat publik didukung oleh infrastruktur politik dan militer. Sebagai contoh, akademisi yang menjadi pejabat publik dapat memformulasikan kebijakan upah buruh murah demi mendukung kebijakan iklim ramah investasi karena militer menekan gerakan buruh.

Kini, akademisi yang menjadi pejabat publik harus berhadapan sendiri dengan masyarakat, internal birokrasi dan parlemen ketika menegosiasikan perubahan kebijakan.

Tiga modal menjadi pejabat publik

Saat ini, untuk merekrut akademisi agar menjadi bagian dari pemerintahan, seorang pemimpin harus mempertimbangkan sejauh mana akademisi memiliki kemampuan menghadapi publik serta para politikus. Akademisi yang menjadi pejabat publik harus memiliki keahlian komunikasi politik.

Mengacu kepada pengalaman para responden, ada tiga modal yang harus dipertimbangkan dalam merekrut akademisi sebagai pejabat publik.

1. Pengetahuan

Modal pengetahuan adalah yang utama. Akademisi harus memiliki latar belakang akademis yang relevan dengan jabatan. Misalnya jabatan menteri keuangan umumnya diberikan pada ekonom.

2. Pengalaman kepemimpinan

Akademisi juga perlu memiliki pengalaman kepemimpinan. Ini untuk menjamin akademisi yang diangkat menjadi pejabat publik telah terbiasa menghadapi serta mengelola harapan dan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan. Memiliki pengalaman bekerja dengan pemerintah menjadi nilai tambah, karena mereka berarti memiliki pemahaman tentang norma, budaya, dinamika, dan politik organisasi di dalam birokrasi. Kalau tidak, mereka akan mudah dibajak oleh birokrat yang resistan terhadap perubahan. Selain itu ada beberapa akademisi yang kemudian berakhir di penjara karena keteledoran mereka terhadap urusan administratif. Pengalaman ini bisa terjadi ketika menjadi konsultan atau staf ahli pemerintah atau menjabat posisi manajerial.

3. Modal sosial dan politik

Akademisi juga perlu memiliki modal sosial dan politik, termasuk jaringan personal. Ini dapat membangun lingkungan kerja yang ramah secara politik dan sangat bermanfaat sebagai sumber ide dan dukungan finansial, dua hal yang secara umum absen dalam birokrasi. Pengalaman memberi advis profesional dan non-partisan ke berbagai aktor politik dapat menjadi pintu masuk untuk membentuk kapital ini.

Kepemilikan modal-modal ini adalah keharusan, terutama di era pasca otoritarianisme.

Strategi pejabat dari kalangan akademisi

Hanya dengan memanfaatkan modal-modal ini, akademisi secara umum dapat mengaplikasikan berbagai strategi untuk memimpin dan mengelola perubahan. Belajar dari hasil wawancara, strategi yang mereka gunakan meliputi:

  1. melakukan aktivitas kreatif melalui penggunaan berbagai ide dari praktik terbaik yang ada dalam khazanah pengetahuan mereka. Misalnya memformulasikan kebijakan transfer dana untuk masyarakat miskin yang diadaptasi dari praktik serupa yang dikembangkan di negara-negara berkembang lain;

  2. melakukan aktivitas strategis dengan menjalankan berbagai program jangka panjang dan pendek secara simultan. Contohnya penerapan sistem rekrutmen berbasis komputer (Computer Assisted Test atau CAT). Selain dapat merekrut dan memenuhi kebutuhan sumber daya aparatur sipil negara yang terbaik dengan cara kompetitif, strategi ini dapat memutus rantai peluang korupsi di masa depan yang seringkali didorong oleh keinginan pelamar untuk “balik modal”;

  3. melakukan aktivitas mobilisasi dengan cara membuat berbagai koalisi perubahan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Contohnya adalah pembentukan koalisi reformasi birokrasi yang melibatkan tidak hanya lembaga pemerintahan lintas sektor, tapi juga lembaga mitra pembangunan, konsultan profesional, sektor swasta dan perguruan tinggi;

  4. melakukan aktivitas administratif dengan cara melibatkan diri dalam setiap detail proses perubahan kebijakan. Akademisi berusaha terlibat mulai dari formulasi kebijakan hingga implementasi dan evaluasi kebijakan. Termasuk di dalamnya memastikan kebijakan yang diambil berbasis bukti dan telah melalui studi kelayakan yang secara metodologis dapat dipertanggung jawabkan.

Membentuk koalisi perubahan adalah solusi taktis untuk mengakses sumber daya finansial dan programatik yang dimiliki oleh jaringan yang mereka miliki. Dengan dukungan anggaran negara yang terbatas, akademisi berkolaborasi dengan lembaga-lembaga lain seperti donor untuk melakukan program-program pengembangan inovasi, seperti program kompetisi praktik baik pelayanan publik.

Banyak inisiatif perubahan juga dimulai dari hal-hal yang “kecil”, seperti memperkenalkan e-governance sebagai strategi untuk menciptakan quick wins yaitu sesuatu yang hasilnya dapat segera tampak dan akan menguntungkan untuk modal pemilihan umum berikutnya. Ini meningkatkan level kepercayaan dan mengurangi potensi resistansi terhadap perubahan, baik dari pemangku kepentingan internal maupun eksternal.

Terjebak reformasi quick wins

Sayangnya, kebanyakan inisiatif perubahan yang para akademisi tawarkan hanya menghasilkan perubahan-perubahan kecil dan tidak berkelanjutan. Ini karena siklus politik yang pendek tidak cocok dengan siklus perubahan kelembagaan yang butuh waktu lebih panjang.

Para pengambil kebijakan, termasuk yang berlatar belakang akademisi, karenanya lebih menyukai reformasi quick wins. Akibatnya publik tidak memiliki kepastian untuk menikmati keberlanjutan program. Dapat dikatakan reformasi kemudian berakhir sebagai cerita sukses program, sebagai cara memenuhi target jangka pendek dan menengah.

Jadi, apakah akademisi dapat menjalankan jabatan publik dan membawa perubahan baik? Ya, mereka mampu, sepanjang mereka memiliki kualitas dan modal sebagaimana di atas dan dapat menjamin bahwa mereka akan meninggalkan hasil yang lebih berkelanjutan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now