Menu Close
Presiden Joko Widodo bersiap memberikan pengarahan kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 63 dan 64 Lemhanas Tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 12 Oktober 2022.
Presiden Joko Widodo. Hafidz Mubarak/Antara Foto

Terjebak netralitas di tengah politik global, masih relevankah politik luar negeri bebas aktif Indonesia?

Prinsip politik luar negeri (polugri) bebas aktif Indonesia masih menjadi andalan pemerintah dalam menyikapi peristiwa dunia dan kondisi politik global, termasuk dalam merespons perang antara Rusia dan Ukraina.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi sempat menegaskan bahwa polugri bebas aktif telah menjadi salah satu kekuatan Indonesia menjalankan Presidensi G20 di tengah situasi global yang sulit ini, serta memperkuat kepercayaan dari seluruh dunia terhadap Indonesia.

Terlihat bahwa pemerintah Indonesia memilih tetap berfokus pada kesuksesan simbolik penyelenggaraan KTT G20 yang akan dilaksanakan tanggal 15-16 November ini.

Padahal, situasi di Ukraina saat ini semakin kritis. Selain mengerahkan ratusan ribu warga sipil untuk angkat senjata dan berperang di Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin juga telah secara sepihak mengumumkan aneksasi terhadap empat wilayah Ukraina.

Namun, Kementerian Luar Negeri RI hanya ikut menyetujui resolusi Majelis Umum PBB yang mengecam invasi dan aneksasi Rusia tersebut secara umum. Indonesia tetap tidak menunjukkan sikap tegas berpihak pada Ukraina sebagai korban atau pun mengecam secara terang-terangan tindakan Rusia.

Sikap ini sangat berbeda dengan ketegasan Indonesia dalam berpihak pada Palestina atas aksi kekerasan Israel.

Terkait KTT G20, beberapa pengamat dan akademisi tetap menggaungkan polugri bebas aktif sebagai kekuatan Indonesia, serta mendorong Indonesia menjadi penyeimbang maupun mediator konflik dalam gelaran G20.

Padahal, melihat eskalasi konflik yang semakin meningkat, sulit membayangkan situasi akan berjalan hangat dan mengharapkan Presiden Putin dan Presiden Volodymyr Zelenskyy, serta para pemimpin Barat, bersedia hadir dan berada di satu ruangan yang sama.

Hal ini jelas memunculkan pertanyaan, apakah perlu ada tinjauan ulang terhadap prinsip bebas aktif dalam kebijakan polugri Indonesia yang sering dimaknai sebagai posisi netral ini?

Netralitas dapat memperburuk citra Indonesia

Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia terkesan hanya berlindung di balik narasi “bebas aktif” dan “netralitas” demi menjaga jarak dari pihak-pihak yang berkonflik.

Indonesia hanya menggunakan konsep “bebas” sebagai tameng ketika tidak mau mengambil posisi, dan menggunakan konsep “aktif” sebagai alasan untuk menonjolkan diri sebagai “event organizer” tanpa substansi berarti.

Perlu ada refleksi dan reformasi terhadap implementasi politik bebas aktif agar tidak hanya menjadi simbol ataupun tameng yang justru membuat polugri Indonesia inkonsisten dan tidak punya arah yang jelas.

Ketidakjelasan arah polugri ini tentu akan memperburuk citra Indonesia sendiri di mata internasional.

Respons tidak tegas dari Indonesia terhadap konflik Rusia-Ukraina menimbulkan argumen bahwa Indonesia juga akan diam bila Cina, misalnya, menyerang Taiwan.

Alih-alih membuktikan frasa “aktif” dalam polugri bebas aktif, sikap tersebut justru membuat Indonesia terlihat pasif.

Sebagai negara berkekuatan menengah yang juga memiliki peran tradisional dan historis sebagai pemimpin negara-negara berkembang, Indonesia justru tidak boleh netral dan pasif.

Kepentingan Indonesia bukan sebatas menjaga hubungan baik dengan semua pihak yang bertikai, tapi justru menggunakan hubungan yang sudah ada untuk memastikan Rusia berhenti melakukan invasi agar perang segera selesai dan situasi ekonomi global bisa membaik.

Bagaimanapun juga, invasi Rusia telah menyebabkan krisis pangan, energi, dan ekonomi dunia. Oleh karenanya, menjadi pasif dan berada di tengah bukanlah sebuah pilihan, karena sama saja membiarkan perang terjadi dan secara tidak langsung mendukung tindakan dari agresor.

Sejak era Sukarno, politik luar negeri Indonesia selalu bisa memihak, baik kepada Amerika Serikat (AS) maupun Uni Soviet, tergantung kepentingan apa yang sedang ingin dicapai. Saat ini, kepentingan Indonesia seharusnya adalah menghentikan agresi dan perang yang dilakukan Rusia.

Perubahan posisi Indonesia dalam tatanan global

Posisi Indonesia saat ini tidak dapat disamakan dengan zaman dahulu ketika Indonesia masih negara baru di awal kemerdekaan dan Moh. Hatta, wakil presiden RI pertama, merumuskan kebijakan “bebas aktif”. Situasi dunia pun kini sudah banyak berubah.

Kini, Indonesia masuk dalam jajaran negara kekuatan menengah di dunia.

Berdasarkan beberapa riset, posisi sebagai negara berkekuatan menengah membuat Indonesia memiliki empat peran utama yakni sebagai pemimpin kawasan; sebagai mediator serta jembatan diplomatik; sebagai perwakilan dari negara berkembang; dan sebagai stabilisator dunia dengan membangun tatanan global berdasarkan aturan dan norma internasional.

Nyatanya, Indonesia cenderung tidak mampu menjalankan peran-peran itu.

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN, yang juga akan menjadi Ketua ASEAN 2023, Indonesia seharusnya bisa mengambil peran sebagai pemimpin kawasan. Namun, ternyata Indonesia tidak mampu mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk memiliki posisi yang sama dan tegas terhadap krisis di Ukraina.

Presiden Jokowi juga sempat menggaungkan bahwa Indonesia hendak menjadi mediator dan menjembatani perdamaian bagi Rusia dan Ukraina, yang ia tunjukkan dengan menemui Presiden Zelenskyy di Kyiv dan Presiden Putin di Moscow akhir Juni lalu.

Namun, kunjungan tersebut hingga kini tidak ditindaklanjuti dalam bentuk praktis, seperti pembentukan tim khusus maupun shuttle diplomacy dengan bertindak sebagai mediator yang bisa bertandang ke pihak bertikai demi tercapainya kesepakatan. Pemerintah Indonesia telah kehilangan momentum untuk berkontribusi secara positif dan aktif dalam penyelesaian perang ini.

Dalam konteks posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah dan konteks geopolitik dunia saat ini, serta kegagalan dalam memanfaatkannya, pemerintah Indonesia perlu memikirkan kembali makna dari prinsip politik luar negeri bebas aktifnya.

Indonesia bisa melakukan lebih di arena multilateral

Indonesia bukan lagi negara ekonomi rendah seperti dulu, apalagi saat ini kemampuan ekonomi Indonesia dianggap salah satu yang terbaik di dunia dan tercepat dalam pemulihan ekonomi pasca-Covid.

Karenanya, Indonesia punya modal untuk berperan lebih di arena internasional.

Kepentingan Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Rencana Strategis Kementerian Luar Negeri Tahun 2020-2024, adalah meningkatkan kepemimpinan dan citra positifnya, serta menjaga integritas teritorial.

Untuk mencapai kepentingan tersebut, Indonesia tidak seharusnya didikte oleh kekuatan besar mana pun, baik oleh negara-negara Barat dan AS maupun oleh Rusia dan Cina.

Kepentingan itu juga sesuai dengan apa yang dijabarkan oleh Hatta ketika dulu merumuskan politik luar negeri bebas aktif Indonesia, yakni mengenai beberapa prinsip dasar dalam menjalin hubungan luar negeri.

Prinsip tersebut adalah bahwa polugri harus didasarkan pada perkembangan politik domestik dan bahwa negara harus rasional dan realistis dalam menentukan kepentingan nasional. Serta, menjadikan kepentingan nasional bukan posisi ideologis, namun sebagai dasar menentukan posisi di antara kekuatan besar.

Sudah saatnya Indonesia menjadi stabilisator tatanan global dengan mengumpulkan suara dari negara-negara berkembang di G20, meminta Rusia berhenti melakukan serangan, lalu mengusulkan proposal perdamaian yang konkret untuk mengembalikan norma integritas wilayah sebagai prinsip dasar, serta menjadi pemimpin dan suara dari negara berkembang yang menderita akibat dampak ekonomi dari agresi Rusia ini.

Sudah saatnya pula Indonesia tidak hanya menjadi event organizer dari pertemuan-pertemuan multilateral seperti G20, dan hanya bersembunyi di balik retorika “bebas aktif” maupun “netral”.

Indonesia, sebagai kekuatan menengah, memiliki kepentingan memastikan stabilitas dan perdamaian tatanan global agar bisa menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi domestik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now