Menu Close

10 faktor penyebab peningkatan risiko penyakit Alzheimer

Faktor Alzheimer
Banyak dari faktor risiko ini dapat dicegah. tonkid/ Shutterstock

Meskipun belum ada obatnya, para peneliti terus mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit Alzheimer. Sebuah penelitian terbaru yang menganalisis 396 riset bahkan telah mampu mengidentifikasi sepuluh faktor risiko yang terbukti meningkatkan kemungkinan terkena penyakit ini.

Berikut adalah faktor-faktor yang diidentifikasi oleh para peneliti - dan mengapa faktor-faktor tersebut dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi.

1. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan yang lebih rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit Alzheimer. Bukti sebelumnya menunjukkan semakin lama waktu yang dihabiskan untuk pendidikan, semakin rendah risiko terkena demensia.

Penelitian yang mengamati otak orang-orang dari latar belakang pendidikan yang berbeda juga menunjukkan bahwa orang yang lebih berpendidikan memiliki otak yang lebih berat. Ketika kehilangan sepertiga dari berat otak karena demensia, otak yang lebih berat dapat membuat kita lebih tangguh.

2. Aktivitas kognitif

Bukti menunjukkan bahwa menjaga otak kita tetap aktif juga dapat melawan demensia. Aktivitas seperti teka-teki kata dapat menstimulasi otak dan dapat memperkuat konektivitas antara sel-sel otak. Konektivitas ini terputus pada demensia.

Penelitian terbaru ini menunjukkan bahwa kita perlu terus menjaga otak kita tetap aktif, bahkan pada usia lanjut. Penelitian lain setuju bahwa menantang otak kita memang mengurangi kemungkinan kita terkena demensia.

3. Hipertensi pada usia paruh baya

Jantung yang sehat telah lama dikaitkan dengan otak yang sehat. Di sini, penelitian terbaru menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi (hipertensi) pada usia paruh baya meningkatkan risiko Alzheimer.

Insiden penyakit jantung yang lebih tinggi pada mereka yang menderita tekanan darah tinggi berdampak pada suplai darah dan nutrisi ke otak. Menariknya, hubungan ini masih ada bahkan bagi mereka yang memiliki tekanan darah tinggi aja. Intinya adalah bahwa berkurangnya suplai darah ke otak terkait dengan Alzheimer.

4. Hipotensi ortostatik

Penelitian ini juga menyoroti hipotensi ortostatik sebagai faktor risiko. Ini terjadi ketika seseorang mengalami tekanan darah rendah saat berdiri setelah duduk atau berbaring.

Karena tubuh tidak dapat mempertahankan suplai darah yang cukup ke otak selama perubahan postur tubuh, hal ini dapat memiliki pengaruh jangka panjang yang melemahkan pada aktivitas otak, sebagai akibat dari kurangnya oksigen ke otak, yang meningkatkan risiko demensia.

5. Diabetes

Penelitian menemukan bahwa diabetes dikaitkan dengan insiden Alzheimer yang lebih tinggi. Karena diabetes membuat tubuh kita tidak dapat mengatur insulin dengan baik, hal ini mengubah cara sel-sel otak kita berkomunikasi dan fungsi memori kita - keduanya terganggu pada penyakit Alzheimer.

Insulin sangat penting, karena insulin mengatur metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dengan membantu penyerapan glukosa darah ke dalam hati, lemak, dan otot. Penyakit Alzheimer tampaknya mengganggu kemampuan otak untuk bereaksi terhadap insulin.

6. Indeks Massa Tubuh (BMI)

Indeks Massa Tubuh (BMI) yang lebih tinggi pada usia di bawah 65 tahun dikaitkan dengan peningkatan risiko demensia. Penelitian menunjukkan bahwa BMI antara 18,5 dan 24,9 untuk mereka yang berusia di bawah 65 tahun - dengan kata lain, berat badan yang sehat - dapat menurunkan risiko demensia. Namun, memiliki berat badan yang kurang di usia paruh baya dan di usia lanjut dapat meningkatkan risiko demensia.

'Orang berdiri di atas timbangan kamar mandi berwarna putih'
Kelebihan berat badan dan kekurangan berat badan sama-sama memiliki risiko yang lebih tinggi. Seksan.TH/ Shutterstock

Diperkirakan bahwa campuran genetika, penyakit kardiovaskular, dan peradangan semuanya berkontribusi pada hubungan antara BMI dan demensia.

7. Trauma kepala

Trauma kepala pada masa lalu merupakan sebuah faktor risiko - dan ada bukti yang jelas bahwa trauma kepala, seperti gegar otak, dapat berkontribusi pada perkembangan demensia. Hubungan ini pertama kali diamati pada 1928.

Namun, tidak pasti apakah trauma kepala tunggal atau berulang merupakan faktor penyebabnya. Yang jelas, kerusakan otak akibat trauma kepala mirip dengan demensia. Hal ini membuat orang lebih rentan terhadap kerusakan lebih lanjut di kemudian hari dari demensia.

8. Hiperhomosisteinemia

Kadar homosistein kimiawi yang tinggi merupakan suatu faktor risiko. Homosistein adalah asam amino alami yang terlibat dalam produksi mekanisme pertahanan tubuh kita, termasuk antioksidan yang mencegah kerusakan sel.

Peningkatan kadar homosistein dalam darah pada penderita demensia pertama kali dilaporkan pada 1998. Sejak saat itu, penelitian menunjukkan bahwa mengurangi kadar homosistein dapat melindungi dari demensia.

Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa peningkatan kadar homosistein merusak sel-sel otak dengan mengganggu produksi energi. Mengonsumsi lebih banyak folat dan vitamin B12 dapat menurunkan kadar homosistein - dan dapat mengurangi risiko demensia.

9. Depresi

Mereka yang hidup dengan Alzheimer juga sering menderita depresi, meskipun tidak pasti apakah depresi menyebabkan Alzheimer atau hanya merupakan gejala dari penyakit ini. Namun, banyak bukti yang mendukung bahwa depresi memang merupakan faktor risiko, seperti yang ditemukan oleh penelitian terbaru ini. Penelitian bahkan menunjukkan adanya hubungan antara jumlah episode depresi - terutama sepuluh tahun sebelum timbulnya demensia - dengan risiko yang lebih tinggi.

Depresi meningkatkan kadar bahan kimia berbahaya dalam otak kita. Ketidakseimbangan bahan kimia ini dapat menyebabkan hilangnya sel-sel otak. Hal ini, ditambah dengan hilangnya sel-sel otak pada demensia, meningkatkan kemungkinan Alzheimer.

10. Stres

Terakhir, stres diidentifikasi sebagai suatu faktor risiko. Stres jangka panjang menargetkan sel-sel kekebalan tubuh kita, yang penting dalam mencegah demensia. Secara khusus, hormon kortisol terbukti berkontribusi terhadap stres dan dapat berdampak pada memori. Oleh karena itu, mengurangi stres dan kadar kortisol dapat mengurangi kemungkinan mengembangkan demensia.

Penelitian ini menawarkan gambaran yang kompleks tentang bagaimana kita dapat memerangi timbulnya Alzheimer - serta sepuluh area yang perlu dikonsentrasikan oleh para ilmuwan untuk diteliti pada masa depan.

Meskipun temuan-temuannya mungkin tampak suram, ada beberapa harapan karena banyak dari faktor risiko ini dapat dikelola atau dimodifikasi melalui perubahan gaya hidup, termasuk pola makan dan olahraga.


Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now