Menu Close
Menjelang pemilu, semakin banyak hoaks bertebaran di media sosial. Airdone/shutterstock.

3 dampak negatif hoaks pemilu yang perlu kamu tahu

Mudahnya berbagi informasi di era digital membuat penyebaran hoaks semakin marak. Selama tahun 2022, peneliti Mafindo, organisasi kemasyarakatan yang bertujuan mensosialisasikan bahaya informasi bohong (hoaks) dan menciptakan imunitas terhadap hoaks di masyarakat Indonesia, menemukan 1698 hoaks yang beredar di media sosial.

Jumlah ini meningkat cukup signifikan di tahun 2023. Penelitian yang sedang kami lakukan (belum dipublikasikan) menemukan bahwa sampai akhir November 2023, sudah lebih dari 2100 hoaks yang ditemukan. Artinya, ada kenaikan lebih dari 400 hoaks dalam setahun. Situasi ini membuktikan bahwa menjelang pemilu terjadi kenaikan jumlah hoaks yang menyebar melalui berbagai saluran, terutama media sosial.

Penelitian dari Rensselaer Polytechnic Institute, Amerika Serikat (AS) mengindikasikan bahwa informasi palsu terkait kandidat dan kebijakan merupakan hoaks yang sering viral selama pemilu.

Hoaks juga dapat berisi konten sensasional atau bermuatan emosi untuk memanipulasi opini publik atau mendiskreditkan lawan politik.

Penelitian kami tahun 2019 menemukan setidaknya tiga dampak negatif dari penyebaran informasi palsu atau hoaks selama pemilu:

1. Pembunuhan karakter

Dampak hoaks pemilu yang paling signifikan adalah pembunuhan karakter. Dalam konteks hoaks pemilu, istilah ini mengacu pada penyebaran informasi palsu atau menyesatkan dengan sengaja untuk merusak reputasi tokoh atau partai politik. Penelitian yang dilakukan oleh Lusia Astrika dan Yuwanto Yuwanto dari Universitas Diponegoro, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa pembunuhan karakter bisa memengaruhi persepsi pemilih.

Pembunuhan karakter dilakukan dengan menyebarkan cerita yang dibuat-buat atau dibesar-besarkan, yang secara negatif menggambarkan karakter, etika, atau kemampuan kandidat. Tujuannya adalah untuk menciptakan atau memperbesar keraguan di kalangan pemilih mengenai kesesuaian individu yang dituju untuk menduduki jabatan tertentu.

Sebuah penelitian eksperimental di Italia dan AS pada tahun 2021 menegaskan bahwa tuduhan palsu dapat merusak reputasi politisi dan menyebabkan hilangnya dukungan di kalangan pemilih. Sekalipun informasi tersebut kemudian terbukti salah, kerusakan awal mungkin sulit untuk diperbaiki karena kesan mendalam yang ditimbulkan.

Kasus Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dalam Pemilihan Kepala Daerah Jakarta tahun 2017 merupakan contoh nyata bagaimana hoaks berdampak pada pembunuhan karakter.

Lawannya menuduh Ahok menghina Al-Qur'an dan pemilih Muslim dalam sebuah pidato. Hoaks ini berawal dari video yang diedit sedemikian rupa sehingga mengesankan Ahok mengatakan bahwa pemilih tidak perlu mengikuti ajaran Al-Qur'an khususnya surah Al Maidah 51 yang berisi tentang larangan umat Islam mengangkat kaum Nasrani dan Yahudi sebagai awliya’ (pemimpin). Padahal, dalam konteks yang lebih lengkap, dia tidak menyerang isi kitab suci tersebut.

Tuduhan penistaan agama ini memiliki dampak besar pada elektabilitas Ahok. Ahok, yang sebelumnya populer dan memiliki peluang kuat untuk terpilih, mengalami penurunan dukungan yang signifikan, bahkan kasus ini terus menghantui karir politiknya.

2. Ketidakpercayaan terhadap badan penyelenggara pemilu

Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) mengkampanyekan ‘stop hoaks’. Ferrari Septiano/shutterstock.

Hoaks juga bisa melemahkan kepercayaan terhadap lembaga pemilu secara signifikan. Artikel dari Brookings Institution, sebuah organisasi nonprofit yang berpusat di Washington, AS, menyoroti bahwa misinformasi, seperti klaim kecurangan pemilu, dapat membingungkan pemilih, sehingga menyebabkan menurunnya kepercayaan terhadap sistem pemilu.

Di AS, survei media menemukan bahwa hanya 20% yang merasa “sangat yakin” terhadap integritas sistem pemilu AS, dan 56% responden dalam jajak pendapat CNN mengatakan mereka “sedikit atau tidak yakin” bahwa pemilu mewakili keinginan rakyat.

Misinformasi mengenai proses pemilu, seperti prosedur pemungutan suara, penghitungan suara, atau hasil pemilu dapat membuat masyarakat mempertanyakan integritas lembaga penyelenggara pemilu.

Pada Pemilihan Presiden Indonesia 2019, contohnya, banyak hoaks dan informasi palsu beredar mengenai penipuan dan manipulasi pemilu, termasuk klaim adanya ghost voters atau nama-nama dalam daftar pemilih yang tidak boleh tercantum, baik karena duplikasi, fiktif, milik individu yang sudah meninggal atau tidak memenuhi syarat untuk memilih.

Keraguan yang terus-menerus ini dapat memperdalam perpecahan politik, yang berujung pada konflik dan ketidakstabilan masyarakat.

Hoaks juga dapat mengganggu aspek operasional pemilu. Penyebaran informasi yang salah mengenai tanggal dan lokasi pemungutan suara, misalnya, dapat menyebabkan kebingungan di kalangan pemilih.

Klaim palsu mengenai integritas alat pemungutan suara, penanganan surat suara, dan proses penghitungan suara juga dapat menimbulkan keraguan mengenai aspek teknis pemilu, sehingga membuat masyarakat mempertanyakan legitimasi hasil pemilu.

Kardus kotak suara di Pemilu 2019. Herims/shutterstock.

Salah satu contohnya adalah penggunaan kardus sebagai bahan pembuatan kotak suara pada Pemilu 2019. Kasus ini mencerminkan bagaimana informasi yang disalahpahami atau disajikan secara tidak lengkap dapat menciptakan keraguan, kontroversi, dan spekulasi mengenai aspek-aspek teknis pemilu.

Beberapa pihak bahkan menginterpretasikan penggunaan bahan ini sebagai upaya untuk memudahkan manipulasi suara.

Meskipun KPU segera menanggapi isu ini dengan menjelaskan bahwa kotak suara kardus tersebut telah dirancang tahan air dan cukup kuat, serta memenuhi semua standar keamanan yang diperlukan, isu ini tetap menimbulkan keraguan dan perdebatan di masyarakat.

3. Manipulasi citra

Sebuah penelitian tahun 2019, menemukan bahwa tujuan propaganda politik hoaks, selain untuk memengaruhi masyarakat juga untuk mengubah citra negatif menjadi positif. Hoaks juga bisa digunakan untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas calon yang didukung, atau menurunkan suara lawan.

Penyebaran informasi negatif atau salah tentang lawan politik biasanya berupa rumor, skandal yang dibuat-buat, termasuk latar belakang keluarga, atau penafsiran yang keliru mengenai kebijakan atau tindakan kandidat di masa lalu. Tujuannya adalah untuk mencoreng citra lawan di mata pemilih, sehingga mempengaruhi opini publik dan keputusan mereka untuk memilih kandidat tersebut.

Salah satu contohnya adalah hoaks yang menyerang Joko “Jokowi” Widodo pada Pemilu 2019. Saat itu, kebohongan yang tersebar luas mengenai Jokowi adalah bahwa ia merupakan warga keturunan Tionghoa dan beragama Kristen.

Misinformasi ini ditujukan untuk mempertanyakan kesetiaannya pada agama dan kebangsaan, yang merupakan topik sensitif dalam konteks sosial politik Indonesia di mana mayoritas beragama Islam dan beretnis Jawa. Hoaks ini dirancang untuk memengaruhi opini pemilih Muslim konservatif. Keraguan atas latar belakang dan agama Jokowi, diyakini dapat mengurangi daya tarik dan dukungan dari para pemilih tersebut.

Sementara untuk menaikkan citra positif, tim kampanye biasanya membuat informasi positif namun tidak akurat atau berlebihan tentang seorang kandidat. Misalnya, cerita palsu tentang pencapaian pribadi, statistik yang menyesatkan tentang kinerja, atau manipulasi gambar dan video. Tujuannya adalah untuk menciptakan gambaran kandidat yang ideal dan seringkali tidak realistis, sehingga dapat mempengaruhi persepsi publik secara positif.

Kampanye yang dilakukan oleh Donald Trump, mantan presiden AS, merupakan contoh dari praktik ini. Tim kampanyenya berusaha menaikkan citra positif dengan mengklaim bahwa Trump sukses sebagai pengusaha sehingga mampu menegosiasikan perjanjian perdagangan yang lebih baik untuk AS.

Kedua taktik ini mempunyai implikasi yang signifikan terhadap integritas pemilu, karena keduanya menghalangi pemilih untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi faktual.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now