Menu Close

30 tahun lalu gempa dan tsunami merusak Flores: apakah mitigasi risiko di sana kini lebih baik?

Papan “selamat datang” di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, porak-poranda dihantam gempa dan tsunami pada 1992. Y. Benyamin S (2018)

Tepat 12 Desember 1992, sebuah gempa besar disertai tsunami memporak-porandakan Flores, Nusa Tenggara Timur. Sekitar 3.100 orang meninggal atau hilang, hampir 2.000 korban adalah penduduk di Kabupaten Sikka.

Kerusakan akibat tsunami terjadi sepanjang utara Pulau Flores dari Ende hingga Flores Timur. Tinggi gelombang akibat tsunami sekitar 2-10 meter. Namun, di beberapa tempat seperti di Riangkroko di Flores Timur, ketinggian ombak mencapai 26 meter dan menyebabkan seperempat penduduknya meninggal. Sedikitnya 13.500 rumah dan gedung runtuh di Sikka.

Bencana Flores 1992 memberikan pelajaran penting kepada pemerintah pusat, seperti pernyataan Frans Seda, Menteri Keuangan saat itu, bahwa “Flores kembali ke era 1970-an” karena puluhan ribu hunian dan gedung yang dibangun dalam seperempat abad Orde Baru roboh seketika.

Bencana ini mengantarkan Flores kembali ke level kemiskinan tahun 1970 hanya dalam beberapa jam.

Pemerintah kala itu menyatakan Gempa Flores 1992 sebagai bencana nasional karena gempa dan tsunami telah menimbulkan “penderitaan, korban jiwa, dan kerugian material yang sangat besar bagi masyarakat.”

Presiden saat itu, Soeharto, menetapkan peristiwa ini sebagai bencana nasional dan ini menjadi bencana nasional pertama di Indonesia era Orde Baru.

Setelah 30 tahun berlalu, bagaimana dengan kesiapsiagaan masyarakat di Flores, sebuah daerah yang rawan gempa-tsunami, dalam menghadapi gempa dan tsunami ke depan?

Pertanyaan ini sulit dijawab secara tegas karena minimnya penelitian yang konsisten terkait kesiapsiagaan terhadap tiap jenis ancaman alam termasuk tsunami dan gempa bumi.

Bangunan rusak di Flores akibat gempa pada 1992. Y. Benyamin S. dalam Komunitas KAHE (2018)

Kesiapsiagaan tsunami

Dengan bantuan lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah pusat, Kabupaten Sikka memiliki rencana kontinjensi tsunami yang terbit pada 2011. Namun, belum ada kejelasan bagaimana rencana tersebut diperbaharui, direvisi, diuji dan dievaluasi secara berkala dalam 10 tahun terakhir.

Secara insindental, berbagai lembaga berupaya menciptakan kesadaran terkait risiko tsunami dan latihan evakuasi. Upaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang rutin di tingkat komunitas masih menjadi pekerjaan rumah para pemegang mandat pengurangan risiko tsunami, terutama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Kapasitas BPBD juga masih sangat terbatas. Tiada sistem informasi kebencanaan untuk warga. Platform website dan media sosial yang dikelola secara lokal dan rutin masih belum bisa diakses oleh masyarakat terkait potensi bencana.

Di pusat Kota Maumere (Ibu Kota Kabupaten Sikka), ada upaya memelihara memori sosial terkait tsunami dengan Taman Monumen Tsunami. Monumen ini ditujukan untuk merawat ingatan bersama soal tsunami.

Yang menjadi masalah, tidak ada upaya memahami bagaimana kaitan monumen itu dengan tingkat sebaran kesadaran atas tsunami, dan bagaimana kesadaran tersebut bisa dikonversi menjadi tindakan saat terjadi gempa.

Ketika terjadi gempa magnitudo 7,3 dan berpotensi tsunami pada 14 Desember 2021 di perairan utara Flores, ada penyintas gempa 1992 yang trauma.

Namun, setidaknya 700-an anggota masyarakat di pantai utara Sikka mengevakuasi mandiri (spontan) tanpa menunggu peringatan dini tsunami dari pemerintah. Walau sebuah angka yang sangat sedikit, hal ini perlu diapresiasi karena ada kelompok masyarakat yang memiliki modal kesadaran.

Secara umum, dari sisi tata ruang, kesiapsiagaan tsunami masih minim. Pola pembangunan di tepi pantai bagian utara Flores yang makin agresif seolah-olah melupakan risiko tsunami.

Ada upaya mitigasi tsunami seperti pembangunan tetrapod yang dibahasakan masyarakat lokal sebagai ‘pemecah gelombang’ multiguna yang didanai oleh BNPB. Ini merupakan bagian dari implementasi rencana induk tsunami nasional. Secara hipotesis struktur ini bisa melindungi beberapa wilayah pantai tertentu.

Sayangnya, alokasi pendanaan yang kurang konsisten sering menyebabkan situasi win-lose game. Maksudnya, sebagian penduduk terlindungi, tapi sebagian lainnya masih akan terdampak gelombang yang tidak diredam tetrapod.

Walau demikian, imajinasi bahwa bangunan fisik dapat memberikan perlindungan mutlak sering menjadi argumentasi teknis yang bisa menciptakan rasa aman yang semu. Hal ini perlu koreksi serius!

Kesiapsiagaan gempa

Secara umum, kesiapsiagaan terhadap gempa adalah domain perubahan paling lemah di Indonesia karena ketiadaan skema operasi mitigasi detail.

Dalam Gempa Flores 14 Desember 2021, laporan terkait kerusakan serius bangunan terjadi lebih banyak di Sulawesi Selatan ketimbang di daerah Flores.

Tidak seperti kesiapsiagaan tsunami di atas, kementerian dan lembaga di tingkat nasional belum mengembangkan rencana induk pengurangan risiko kegempaan.

Setelah tiga puluh tahun Gempa Flores 1992, pemerintah daerah di Sikka berpendapat bahwa secara umum bangunan di Sikka belum memperhitungkan aspek keselamatan terhadap gempa.

Namun kami melihat ada tiga pola pembangunan hunian di Sikka. Pertama, ada enclave - yakni sebuah ruang informal unik di mana tukang lokal (alias ‘tukang misi’) melek teknis mitigasi. Para ‘tukang misi’ awalnya dilatih membangun rumah tahan gempa oleh lembaga teknis Keuskupan dan Lembaga Teknik Bangunan, Unwira, dalam proses rekonstruksi di Flores pada 1993-1996.

Secara umum, produk dari enclave tukang lokal generasi baru yang berguru pada ‘tukang misi’ memiliki harapan yang lebih optimistis karena dalam kesederhanaannya, mereka memberi informasi mitigasi gempa kepada pemilik rumah.

Enclave praktik mitigasi gempa di Sikka. Liputan Maumere TV 2018.

Kedua, pola dan kualitas pembangunan swasta yang melibatkan para pengembang di atas kertas sering menggunakan pendekatan rekayasa sipil. Dalam kenyataannya, hal ini tidak selalu benar terjadi.

Ada paradoks. Bangunan yang dibangun oleh tukang lokal terkesan lebih antisipatif terhadap gempa. Sedangkan ada kecenderungan bahwa bangunan swasta yang dibangun oleh perancang (arsitek) milik pengembang (engineered houses) justru mengabaikan standardisasi bangunan tahan gempa.

Pola ketiga adalah bangunan yang dibangun oleh keluarga ekonomi bawah umumnya tidak mendapatkan masukan teknis dari tukang lokal maupun tenaga ahli.

Secara umum, kelompok rentan memilih rumah berstruktur ringan berbahan kayu dan bambu ataupun rumah bata tanpa standar keamanan. Sayangnya dalam konteks iklim yang ekstrem, rumah-rumah rakyat ini cenderung rentan pada risiko siklon tropis.

Tantangan perubahan demografi dan edukasi

Selain tantangan teknis dan kebijakan, ada juga tantangan demografis yang serius. Rencana Induk Penanggulangan Bencana Indonesia 2045 memperkirakan sedikitnya 110 juta dari 318,9 juta penduduk berpotensi terpapar risiko kegempaan pada satu abad usia Republik Indonesia di 2045.

Penduduk Sikka berkembang dari 245 ribu pada 1992 ke 324 ribu orang pada 2022. Pada 2045 total penduduk Sikka bisa mencapai 395-415 ribu orang. Kepadatan penduduk meningkat dari 142 jiwa per km2 (1990) menjadi 187 (2022). Di beberapa kecamatan di wilayah pantai perkotaan telah bertumbuh dari 500-an (1990) menjadi 2.200 penduduk per km2 pada 2022. Potensi keterpaparan tsunami dan gempa meningkat drastis.

Risiko nyawa melayang dan bangunan rusak tetap tinggi karena gempa dan tsunami bisa datang kapan pun tanpa mengetuk pintu rumah penduduk di tepi pantai.

Potret yang optimistis sulit dibangun. Beberapa hunian informal yang dihuni kembali tanpa kejelasan kesiapsiagaan terhadap gempa-tsunami. Hal ini menciptakan bom waktu mewujudnya bencana serupa ke depan.

Peta Risiko Tsunami Flores. Putranto dkk. (2005), supplied by authors

Anak-anak dan generasi masa depan perlu kita persiapkan sejak hari ini. Memori kelabu gempa Flores 1992 perlu kita tanamkan melalui satuan pendidikan.

Potensi memasukan kurikulum pendidikan bencana bagi satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikkan No. 79/2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013 dapat memperkenalkan pendidikan kebencanaan pada generasi yang tidak mengalami peristiwa tsunami Flores 1992.

Sayangnya, dalam 15 tahun reformasi kebijakan kebencanaan, hanya 10 dari 477 sekolah di Sikka yang mengadopsi program Satuan Pendidikan Aman Bencana.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now