Menu Close
Ilmuwan perlu bekontribusi pada masyarakat tidak hanya saat ada kejadian khusus, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Gorodenkoff/shutterstock.

4 alasan mengapa kontribusi ilmuwan belum maksimal

Tugas seorang intelektual bukanlah untuk berbicara atau berpihak pada kekuasaan, tetapi untuk berbicara dengan mereka yang tidak berdaya dan terus mencoba mempelajari kebenaran.

Kurang lebih begitulah pesan dari salah satu esai Noam Chomsky, ahli bahasa teoretis dari Amerika Serikat (AS), yang berjudul “The Responsibility of Intellectuals”. Esai ini diterbitkan sebagai suplemen khusus oleh The New York Review of Books pada 23 Februari 1967. Secara umum, esai ini memberikan gambaran bagaimana kondisi pemerintah AS yang penting untuk selalu dikritik.

Meski telah puluhan tahun berlalu, pesan dari esai itu masih penting untuk didiskusikan. Terutama saat membicarakan peran kelompok intelektual dalam memberikan kontribusi nyata di kehidupan sehari-hari dan rekomendasi kebijakan yang lebih komprehensif untuk pemerintah.

Peran ini sangat kentara saat pandemi COVID-19 terjadi. Ketika itu, sejumlah peneliti mencoba menemukan vaksin yang tepat untuk mengatasi perkembangan virus. Berbagai riset pun dilakukan, hingga akhirnya pandemi menjadi terkendali.

Namun, ilmuwan atau peneliti perlu memberikan sumbangsih positif pada khalayak sebagai bentuk tanggung jawab intelektual bukan hanya di masa pandemi. Dalam keseharian pun, peran ini tetap diperlukan. Apalagi dengan semakin banyaknya permasalahan yang ada, seperti misalnya polusi udara, kontribusi ilmuwan diharapkan dapat mendorong pemerintah untuk membuat solusi ilmiah berdasarkan riset.

Tapi mengapa belum semua ilmuwan mampu berkontribusi secara maksimal?

1. Persoalan kultur dan lingkungan yang tidak mendukung

Di awal tahun 2023, harian Kompas mengeluarkan hasil investigasi yang memperlihatkan maraknya praktik perjokian dunia akademik di sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di Indonesia.

Salah satu penyebab fenomena ini adalah ketidakmampuan dalam menghasilkan riset dengan unsur kebaruan yang siap bersaing di jurnal bereputasi. Bahkan, kita harus menerima fakta bahwa lebih dari sepertiga dosen tidak menerbitkan riset.

Hal ini juga terkait dengan berbagai aspek yang ada di lingkungan kampus dan ekosistem ilmuwan kita.

Di berbagai diskusi hingga workshop, misalnya, saya sering mendengar keluhan dari beberapa dosen tentang sulitnya menulis atau mendesain riset karena minimnya dukungan terhadap kedua hal tersebut. Semisal tidak adanya pelatihan menulis atau diskusi riset di lingkungan kampus.

Sementara di sisi lain, dosen yang mampu melakukan riset dengan baik, terkadang terhambat urusan administrasi yang berbelit-belit atau beban kerja yang terlalu padat. Sehingga, mereka terjebak dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk menghasilkan riset yang benar-benar berguna bagi masyarakat.

2. Pengaruh faktor ekonomi

Penelitian yang baik membutuhkan dana yang cukup besar untuk melakukan eksperimen, menganalisis data, dan berbagai kebutuhan lainnya. Hal ini terlihat dari data Research & Development World (RDW), penyedia data dan ringkasan tren sektor industri, wilayah penelitian dan teknologi akademis di seluruh dunia, yang memperlihatkan perubahan investasi penelitian dan pengembangan (litbang) di bidang akademisi, pemerintah, dan organisasi di berbagai negara.

Indonesia terbilang sebagai negara dengan rasio penganggaran riset terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau besaran nilai produk barang dan jasa yang digunakan sebagai konsumsi akhir, paling rendah, yaitu sebesar 0,24% saja pada 2023 ini. Indonesia berada di nomor 34 dari 40 negara yang ditampilkan, dengan penganggaran sebesar US$8,2 miliar atau setara Rp. 125 triliun pada 2022. Kita kalah jauh dari anggaran riset di Malaysia dan Singapura yang masing-masing sebesar 1,26% dan 2,19% terhadap PDB masing-masing negara.

Belum lagi kondisi saat dan setelah pandemi, yang ikut memperparah masalah pendanaan riset ini.

Jika ilmuwan menghadapi keterbatasan sumber dana, maka mereka tidak dapat melakukan penelitian dengan sebaik mungkin. Atau, para ilmuwan terpaksa mengurangi skala dan kualitas penelitian. Akibatnya, hasil penelitian tidak memberi manfaat yang signifikan bagi khalayak.

3. Rendahnya motivasi

Beberapa ilmuwan tidak termotivasi untuk mengasah keterampilan mereka dengan berbagai alasan tertentu.

Salah satunya adalah merasa nyaman dengan tingkat keterampilan yang sudah dimiliki atau tidak melihat urgensi untuk meningkatkan keterampilan tersebut. Hal ini bisa menjadi akar masalah dari kurangnya riset yang kontributif.

Kolaborasi antar disiplin ilmu diperlukan untuk menciptakan inovasi. Gorodenkoff/shutterstock.

Minimnya kolaborasi juga dapat menyebabkan kurangnya inovasi dan rendahnya upaya untuk menghadapi perubahan yang terjadi dalam dunia ilmiah. Secara tidak langsung, hal ini membuat ilmuwan tidak mampu melakukan kolaborasi interdisipliner (dari berbagai bidang) dan melakukan pertukaran pengetahuan. Padahal, hal tersebut sangat penting untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan seorang ilmuwan.

4. Kesenjangan intelektualitas

Ketidakmampuan ilmuwan untuk melihat sejauh mana dampak sosial penelitian mereka, membuat mereka tidak tergerak untuk merumuskan riset yang merespons tantangan sosial yang ada. Akhirnya, masyarakat tidak memperoleh implikasi dari temuan penelitian tersebut.

Apalagi dengan adanya masalah dalam mengomunikasikan hasil penelitian secara jelas dan ringkas kepada publik yang non-spesialis. Hal ini menciptakan kesenjangan antara ilmuwan dan masyarakat umum, sehingga manfaat potensial dari penelitian tidak dapat dimengerti atau diterapkan oleh khalayak.

Sebagai penutup, penting untuk mengingat pesan dari Neil deGrasse Tyson, ahli astrofisika (ilmu yang menggunakan metode dan prinsip fisika dan kimia dalam mempelajari objek dan fenomena astronomi) dari AS, yang mengemukakan bahwa:

Sebagai ilmuwan, kita memiliki kewajiban untuk tidak hanya mengejar penemuan ilmiah, tetapi juga untuk berbagi pengetahuan itu dengan dunia. Dengan berbagi pengetahuan, kita dapat memberdayakan orang lain untuk berpikir kritis, membuat keputusan berdasarkan informasi (information driven) dan berkontribusi pada masyarakat yang lebih baik.“

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now