Menu Close

6 bahaya mengintai di balik aturan baru ekspor pasir laut Indonesia

Ekspor pasir laut
Kapal isap pasir laut di perairan Kepulauan Bangka Belitung. (Jatam)

Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang membolehkan pengisapan pasir laut ataupun sedimennya di luar wilayah pertambangan.

Pengisapan pasir laut sebelumnya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002.

Beleid sekaligus membuka kembali penjualan pasir ataupun sedimen ke luar negeri setelah dilarang sejak 20 tahun silam.

Terbitnya aturan ini langsung mencuatkan protes dari banyak pihak baik akademisi maupun nelayan. Mereka menganggap PP No. 26 Tahun 2023 justru berisiko memperparah kerusakan lingkungan pesisir dan laut. Pulau-pulau kecil juga kian terancam tenggelam–selain karena kenaikan muka air laut akibat pemanasan global dan eksploitasi ekosistem besar besaran.

Kekhawatiran mereka cukup beralasan. Sejak beberapa tahun silam, saya turut menelaah aktivitas pertambangan di beberapa perairan Indonesia. Saya menemukan sejumlah dampak yang merugikan bagi lingkungan ataupun masyarakat pesisir.

1. Kerusakan ekosistem mangrove, lamun, dan karang

Pemerintah mengklaim pengisapan sedimen dan pasir laut bertujuan mengurangi dampak negatif ekosistem pesisir yang menyerap karbon lebih baik dibandingkan ekosistem darat. Ekosistem pesisir ini turut mencakup kawasan mangrove, lamun, maupun terumbu karang.

Klaim ini layak dipertanyakan. Berdasarkan pemantauan saya di beberapa perairan di Indonesia, setelah proses pengisapan, sisa pasir ataupun endapan justru turut tumpah dari kapal isap ke permukaan air. Akibatnya, laut dapat menjadi keruh dengan tingkat kekeruhan (turbiditas) yang tinggi dan hal ini bisa mencapai ke ekosistem pesisir.

(Author provided)
Citra satelit yang menangkap aktivitas kapal isap pasir laut di sebuah perairan di Indonesia.

Dalam beberapa hasil simulasi, saya dan tim melihat sebaran material ini akan sangat tergantung pada kondisi arus laut, angin, pasang surut, dan batimetri (kedalaman). Material tersebut bisa ‘berkelana’ hingga radius puluhan km.

Nah, keruhnya perairan akan menghalangi sinar matahari sehingga menghambat proses fotosintesis tumbuhan di ekosistem lamun ataupun mangrove. Hewan karang yang memadati terumbu juga terancam ‘sesak napas’ karena mereka membutuhkan sinar matahari yang cukup untuk mendapatkan oksigen. Saya memprediksi biaya rehabilitasi ekosistem pesisir akan lebih besar dari pada penjualan pasir itu sendiri.

Material yang terbawa ke pesisir, selain akan mengganggu pertumbuhan ekosistem, juga berisiko membawa logam berbahaya.

2. Terangkatnya endapan limbah di pesisir

Selain menjadi tempat mendaratnya pasir dan sedimen, dasar laut juga menjadi lokasi berlabuhnya macam-macam limbah. Misalnya, air limbah rumah tangga dari rumah-rumah warga ataupun dari air lindi di tempat pembuangan sampah. Ada juga limbah sisa pertambangan yang memang sengaja dibuang ke laut.


Read more: Indonesia perlu lebih banyak penelitian dampak sampah plastik di laut


Limbah ini akan terperangkap di dasar laut–terutama yang berdekatan dengan muara sungai. Pengendapan ini sudah berlangsung lama akibat tidak adanya pengolahan limbah di darat.

Pengisapan dan atau pengerukan dapat membuat limbah yang tadi terendap menjadi naik kembali ke badan air. Naiknya limbah bisa berdampak fatal bagi biota laut bahkan ke manusia melalui rantai makanan.

3. Mengganggu ekosistem dasar laut

Dasar laut, meski tak terlihat secara kasat mata, bukanlah kawasan tak berpenghuni. Kawasan ini juga menjadi habitat bagi organisme seperti fitoplankton, cacing-cacing, ataupun jenis mikroalga lainnya.

Dasar laut juga memiliki fungsi ekologis yang saling mendukung dengan perairan dangkal maupun pesisir. Misalnya, sedimen dari kawasan ini mengandung zat besi yang menjadi makanan fitoplankton–organisme yang menjadi sumber makanan bagi berbagai jenis makhluk laut.

Pengisapan pasir dan sedimen akan mengganggu siklus alam yang terjadi di dasar laut. Pada akhirnya, gangguan ini dapat berdampak pada siklus ekologis perairan yang dekat dengan permukaan.


Read more: Indonesia kekurangan ilmuwan untuk menyibak misteri laut dalam: bagaimana cara mengatasinya?


4. Ancaman kawasan konservasi laut

PP No. 26 Tahun 2023 mengecualikan pengisapan pasir di kawasan konservasi perairan, tapi hanya di zona inti. Pengecualian ini dapat memungkinkan pengisapan terjadi di zona lainnya di kawasan konservasi seperti zona pemanfaatan lainnya atau bahkan zona pemanfaatan terbatas.

Patut dicatat bahwa dampak pengisapan pasir bisa menjangkau puluhan km. Walaupun kapal isap beroperasi di zona lainnya, atau di luar kawasan konservasi sekalipun, dampaknya bisa saja mencapai ke zona inti.

Kawasan konservasi semestinya menjadi tempat berlindung terakhir bagi ekosistem laut ataupun penghuninya dari gangguan manusia. Perluasan kawasan konservasi laut juga menjadi kesepakatan global dalam Konferensi Biodiversitas Perserikatan Bangsa Bangsa tahun lalu.

Perambahan kawasan konservasi bukan hanya dapat mencederai ekosistem laut dan penghuninya, tapi juga aktivitas ekonomi biru di dalamnya. Contohnya adalah perikanan skala kecil dan pariwisata.

5. Abrasi dan tenggelamnya pulau kecil

Berdasarkan pengamatan dan informasi yang saya dapatkan di lapangan, kapal-kapal isap yang beroperasi biasanya akan menyedot pasir di perairan dangkal dengan kedalaman 50 meter.

Jika lebih dari itu, penyedotan akan menyulitkan karena pipa akan terombang-ambing terbawa arus. Kebutuhan pipa yang panjang juga menambah biaya sehingga bisnis ini berisiko tidak ekonomis.

Penyedotan pasir di dasar laut kedalaman itu biasanya terletak di perairan dekat daratan atau pulau-pulau kecil. Imbasnya, pasir yang terangkut menyebabkan material di area yang lebih tinggi (termasuk dari pesisir) luruh ke dasar laut.

Film dokumenter “Lussa Lalang Tinro (Gelisah dalam tidur)” memaparkan kondisi abrasi di Galesong yang diduga terjadi karena pengisapan pasir.

Inilah yang menjadi salah satu sebab tergerusnya material di pesisir atau abrasi. Pengisapan pasir untuk kebutuhan reklamasi pesisir Makassar, misalnya, dituding menjadi biang keladi abrasi di pesisir Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Risiko abrasi juga membuat pulau kecil semakin rawan tenggelam, selain karena kenaikan muka air laut. Penelitian saya sejak 2011 merekam pulau-pulau kecil terluar Indonesia semakin mengecil dan nyaris hilang dari peta.

6. Eksploitasi warga pesisir dan nelayan kecil

Nelayan dan masyarakat pesisir menjadi pihak yang paling berpotensi terdampak pengisapan pasir laut.

Masyarakat pesisir Pulau Pemping di Kepulauan Riau, misalnya, masih merasakan efek pengisapan pasir yang terjadi 20 tahun silam. Sebagaimana dilansir KOMPAS, nelayan harus melaut lebih jauh karena musnahnya terumbu karang hingga radius 5 mil dari pantai. Belum lagi abrasi yang membuat rumah-rumah warga merosot ke laut.

Di Bangka, kemalangan warga sudah terekam sejak puluhan tahun silam. Keruhnya perairan akibat pertambangan timah di laut membuat hasil tangkapan mereka jauh menurun.

Kapal nelayan mengambil pasir laut.
Foto satelit kapal nelayan yang turut menambang pasir laut di sebuah perairan di Indonesia. (Author provided)

Hingga saat ini, nelayan yang berjuang menghentikan pengisapan pasir di Bangka rentan mengalami kekerasan bahkan kriminalisasi. Pengisapan pasir juga menciptakan konflik antarmasyarakat.

Nelayan yang tak sanggup bertahan terpaksa beralih pekerjaan menjadi penambang pasir karena lebih menguntungkan. Bermodal kapal kecil, mereka mengeruk pasir dan endapan langsung ke dasar laut dengan menggunakan alat sederhana seperti karung beras. Hasil tambang mereka lalu dijual ke perusahaan pengisap.

Itulah enam bahaya yang berpotensi terjadi dari aturan yang diterbitkan pemerintah. Pemerintah perlu mengkaji ulang aturan pengisapan pasir laut ini, paling tidak melakukan uji publik untuk mendapatkan pandangan dari berbagai sisi. Jika dibiarkan, aktivitas tersebut justru menjadi bumerang bagi program pelestarian pemulihan ekosistem mangrove dan karang yang dirintis sejak beberapa tahun silam. Upaya meredam perubahan iklim juga bisa terganggu.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now