Menu Close
Banyak cara menghindari pelanggaran akademis. Salah satunya dengan asesmen mandiri. Stockjob/shutterstock.

Agar terhindar dari pelanggaran, begini cara menilai perilaku akademis secara mandiri

Pelanggaran integritas akademis yang ramai diberitakan akhir-akhir ini, dan cara-cara mengatasinya bukanlah fenomena baru. Penelitian tahun 1992, yang melibatkan lebih dari 6.000 mahasiswa dari 31 perguruan tinggi, memicu minat global terkait pengembangan budaya integritas akademis. Hal ini ditandai dengan pendirian International Center for Academic Integrity (ICAI), organisasi internasional yang mempromosikan integritas akademis demi mendorong terwujudnya institusi dan masyarakat beretika di seluruh dunia.

Kabar baiknya, selama 30 tahun terakhir, penelitian menunjukkan bahwa kecurangan dapat dicegah dan dikurangi dengan langkah-langkah yang tepat.

Di Indonesia, upaya menghapus kesalahpahaman bahwa pelanggaran akademis hanya terbatas pada plagiarisme telah diupayakan dengan penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor 31 tahun 2021. Peraturan ini memperkenalkan enam ragam pelanggaran integritas akademik: plagiarisme,fabrikasi, falsifikasi, kepengarangan tidak sah (pencantuman nama yang tidak berkontribusi dan penghilangan nama yang seharusnya diakui), konflik kepentingan yang tidak diungkapkan, dan publikasi ganda.


Read more: Kenali dan hindari: ini 5 jenis pelanggaran akademis yang kamu perlu tahu


Sayangnya, peraturan menteri tersebut belum mewadahi sejumlah perilaku pelanggaran akademis. Sebut saja, manipulasi sitasi (self-citation, coercive citation, dan cross-citation), publikasi salami (satu penelitian dipecah menjadi beberapa publikasi demi menghasilkan lebih banyak publikasi); HARKing (Hypothesising After the Results are Known atau perumusan hipotesis setelah mengetahui hasil penelitian), tidak adanya sertifikat kelayakan etik dalam penelitian yang melibatkan manusia dan hewan, serta pelanggaran hak cipta.

Penyebabnya, terdapat kekhawatiran bahwa penyebutan jenis-jenis pelanggaran akademis tersebut justru dapat menginspirasi individu yang tidak bertanggung jawab.

Kondisi-kondisi di atas menunjukkan bahwa masih ada celah dalam peraturan yang berlaku. Mengingat keterbatasan peraturan dalam mengkategorisasikan perilaku akademis, penting bagi individu untuk melakukan penilaian mandiri (swaasesmen) agar terhindar dari praktik pelanggaran akademis.

Swaasesmen pelanggaran akademis

Swaasesmen adalah proses melakukan penilaian mandiri, baik dalam hal kinerja maupun dalam mempertimbangkan alternatif perilaku atau pilihan yang akan dilakukan.

Untuk melakukan swaasesmen dengan baik pada konteks integritas akademis, penting bagi kita untuk mempertimbangkan empat taksonomi perilaku akademis, yaitu:

  1. Appropriate conduct: Praktik ilmiah yang secara luas diterima sebagai praktik yang baik, contohnya mengutip sumber dengan benar dan menjaga kerahasiaan data,

  2. Questionable conduct: Tindakan yang belum memiliki aturan yang jelas, seperti perumusan hipotesis setelah data diketahui dan penggunaan hasil pengolahan data berbasis AI tanpa verifikasi. Dalam praktik ini, pelaku biasanya merasa malu atau enggan terbongkar,

  3. Inappropriate conduct: perilaku kurang pantas, ketika telah ada aturan yang membolehkan, namun hanya terbatas pada situasi dan kondisi tertentu, seperti pencantuman ribuan nama sebagai pengarang (kilo-author) di bidang fisika atau memecah satu studi menjadi beberapa publikasi,

  4. Blatant misconduct: pelanggaran yang mencolok, melibatkan pelanggaran terhadap aturan yang jelas dan berlaku luas, termasuk plagiarisme dan pemalsuan (fabrikasi atau falsifikasi) data penelitian.

Cara kerja swaasesmen

Dalam konteks integritas akademis, proses swaasesmen melibatkan penilaian menggunakan tiga kriteria utama: (1) potensi pelanggaran kebenaran, (2) potensi pelanggaran integritas, dan (3) potensi risiko.

Pelanggaran kebenaran dapat terjadi ketika ada ketidaksesuaian antara informasi yang dilaporkan dengan kejadian sebenarnya.

Pelanggaran integritas dapat terjadi ketika terjadi pelanggaran nilai-nilai fundamental integritas akademis. Keenam nilai fundamental tersebut diringkas menjadi “TRACEY,” yang mewakili trust (kepercayaan), respect (penghargaan), fairness (keadilan), courage (keberanian), responsibility (tanggung jawab), dan honesty (kejujuran).

Kriteria ketiga, yaitu potensi risiko, mencakup adanya ancaman keamanan terkait dengan penggunaan barang atau layanan yang digunakan atau dihasilkan.

Saat melakukan swaasesmen, individu menilai apakah perilaku memenuhi kriteria terkait pelanggaran kebenaran, integritas, atau risiko. Perilaku dianggap aman ketika tidak ada pelanggaran atau risiko. Sebaliknya, perilaku dianggap tidak aman jika terdapat pelanggaran atau risiko. Jika penilaian tergolong meragukan (bisa jadi ada pelanggaran atau risiko), maka perilaku tersebut menjadi dipertanyakan atau tidak sepenuhnya layak dilakukan.

Tabel di atas menggambarkan simulasi penilaian terhadap 3 perilaku dalam konteks swaasesmen di lingkungan akademis.

Perilaku “Memaksa Sitasi” tidak melanggar kebenaran karena telah mengutip sumber yang senyatanya ada, namun melanggar integritas dan memiliki risiko, sehingga dianggap pelanggaran. Perilaku “Mengakui penggunaan AI dan bertanggung jawab penuh”, tidak melanggar kebenaran, integritas, maupun menimbulkan risiko, sehingga bukan pelanggaran. Di sisi lain, perilaku “Menulis abstrak menggunakan AI” memunculkan kemungkinan pelanggaran pada kebenaran, integritas, dan risiko, sehingga statusnya menjadi dipertanyakan.

Pesatnya kemajuan teknologi, khususnya di bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) memang telah memudahkan individu dalam menghasilkan karya ilmiah, mulai dari tahap mencari ide, mengumpulkan literatur, hingga menulis naskah. AI terbukti mampu menerjemahkan dokumen, menyusun data, dan bahkan membantu analisis data yang rumit dengan cepat dan akurat. Meski bermanfaat, penggunaan AI ini juga menimbulkan perdebatan etis tentang batasan penggunaannya dalam penelitian.

Melalui swaasesmen, setiap individu dapat mengevaluasi apakah pilihan perilaku yang mereka ambil memiliki potensi pelanggaran atau risiko. Jika aman, perilaku dapat dilakukan walau belum banyak yang mengenal. Jika tidak aman, perilaku harus dihindari, walau sudah banyak yang melakukannya. Apabila dilakukan dengan serius, swaasesmen dapat membantu dalam upaya-upaya untuk menjaga kualitas karya ilmiah dan memelihara integritas akademis.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 186,300 academics and researchers from 4,989 institutions.

Register now