Menu Close

AI dan disinformasi: bagaimana kecerdasan buatan dapat memperparah penyebaran hoaks jelang Pemilu 2024

Ilustrasi robot kecerdasan buatan (AI). Stokkete/Shutterstock

Artikel ini adalah bagian dari serial #LawanHoaks2024.

Fenomena disinformasi, alias suatu info yang diketahui salah lalu disebarkan dengan sengaja, sebenarnya sudah ada sejak peradaban Romawi Kuno.

Pada tahun 33 Sebelum Masehi (SM), Kaisar Octavianus Augustus, pewaris tahta dari pemimpin diktator Romawi, Gaius Julius Caesar, menggunakan disinformasi untuk merusak reputasi saingannya, Mark Antony, dan mendapatkan lebih banyak dukungan dari publik Romawi.

Bedanya, pada era digital ini, penyebaran disinformasi menjadi sangat cepat karena berkembangnya teknologi, diperkuat oleh algoritme kecerdasan digital (artificial intelligence/AI).

Era AI ini telah merevolusi segala lini industri dan kehidupan masyarakat, membawa kemajuan sekaligus tantangan. Salah satu dampak AI yang cukup mengkhawatirkan adalah memperburuk fenomena disinformasi, terutama menjelang tahun politik.

Meski demikian, perlu dipahami bahwa masalah ini bukan semata kesalahan teknologi; akarnya juga ada di psikologi manusia. Ini karena disinformasi terkait erat dengan bias kognitif (kesalahan dalam berpikir dan menilai secara alam bawah sadar) yang dimiliki oleh manusia.

Penelitian menunjukkan bahwa manusia tertarik pada narasi yang membentuk identitas, menguatkan keyakinan, dan sejalan dengan perspektif sosial dan politik mereka, meskipun narasi tersebut palsu.

Seperti yang diungkapkan oleh Cass R. Sunstein, profesor hukum dari Harvard Law School di Amerika Serikat (AS), bahwa daya tarik disinformasi terletak pada kemampuannya untuk membangkitkan emosi manusia, seperti rasa takut dan harapan, dan penyebarannya didorong oleh beragam motivasi, mulai dari kepentingan pribadi hingga niat jahat.

Kondisi penyebaran disinformasi ini punya potensi menjadi lebih marak dan parah, dengan adanya AI yang memiliki kemampuan menciptakan dan mengamplifikasi disinformasi sehingga dapat merusak tatanan demokrasi.

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu 2024), dampak AI kepada disinformasi ini dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan penyedia informasi seperti media massa, serta memperdalam polarisasi sosial.

Cara AI memperburuk disinformasi

Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap pemilihan global dicemari oleh aliran disinformasi yang didukung oleh AI.

Bagaimana cara AI melakukannya?

Ini bisa terjadi karena algoritme AI dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, yang kemudian turut mempromosikan konten informasi yang salah.

Oleh karena itu, algoritme memiliki kemampuan mengarahkan individu masuk ke echo chamber alias ruang gema yang sangat mungkin berisi disinformasi. Ruang gema adalah lingkungan di dunia maya yang membuat seseorang hanya menerima informasi, ide, dan gagasan yang homogen atau sesuai dengan pemikiran mereka secara terus menerus.

Pemilihan Presiden AS 2016 menjadi contoh nyata fenomena ini. Teori konspirasi daring “PizzaGate”, yang menyatakan ada kegiatan pedofilia di dalam tubuh pemerintah AS, dipropagandakan melalui unggahan yang mengklaim Hillary Clinton menjalankan jaringan seks anak-anak di sebuah gerai pizza Comet Ping Pong di Washington DC.

Tuduhan tak berdasar ini kemudian semakin disebarluaskan oleh algoritme AI di media sosial, yang pada akhirnya memanipulasi opini publik dan menyebarkan kebingungan.

Para pendukung teori konspirasi Phil Pasquini/Shutterstock

Dampak disinformasi daring juga terjadi pada pemilu Nigeria 2023. Laporan BBC mengungkap politikus membayar influencer untuk menyebarkan disinformasi.

Menjelang 2023, jumlah berita palsu meningkat pesat di media sosial di Nigeria, menargetkan kandidat presiden. Paradoksnya, media sosial di Nigeria, khususnya Twitter, berperan besar dalam penyebaran berita pemilu yang kredibel tapi sekaligus menjadi sumber utama disinformasi.

Di Indonesia, pada pemilu 2014 dan 2019 ada konten-konten disinformasi berupa teks dan foto yang digunakan untuk memengaruhi sentimen publik. Contohnya foto laki-laki mirip Jokowi hadir di kampanye D.N. Aidit yang menyebabkan Jokowi dituduh sebagai antek Partai Komunis Indonesia (PKI).

Beredar pula narasi-narasi palsu dibuat untuk mengangkat dan menghancurkan kandidat-kandidat yang bersaing di pemilihan, menyebabkan ketidakpercayaan dan kebingungan di antara pemilih.

Sebagai contoh, narasi palsu bahwa mantan perwira tinggi militer Prabowo Subianto, yang kini ketua Partai Gerindra sekaligus bakal calon kandidat presiden untuk Pemilu 2024, diberhentikan “secara tidak hormat” dari institusi TNI. Padahal kenyataannya Prabowo diberhentikan dengan hormat. Keterangan yang diubah hanya perihal hormat dan tidak hormat, tetapi ini akan sangat memengaruhi sentimen publik terhadap Prabowo.

Ada pula survey palsu yang muncul jelang Pemilu 2014 yang menyatakan Prabowo akan memenangkan pilpres. Lalu pada Pemilu 2019, beredar narasi palsu berupa data yang diklaim berasal dari intelijen TNI yang menyebutkan Prabowo telah memenangkan Pilpres.

Menjelang pemilu 2024 ini, apa yang harus kita persiapkan, mengingat teknologi Generative AI sudah berkembang? Ditambah lagi, disinformasi yang menyebar di pemilu 2024 nanti tidak hanya teks tetapi juga audio dan video.

Melacak disinformasi di media sosial berbasis video seperti TikTok juga menjadi semakin sulit karena menggunakan format audiovisual, bahasa ‘gaul’, dan fitur pencarian yang terbatas.

Langkah melawan disinformasi

Ancaman AI semakin diperparah oleh kemampuannya untuk memanipulasi struktur dan presentasi teks. Generative AI seperti ChatGPT, misalnya, bisa membuat konten disinformasi dengan cepat. Algoritme AI lainnya juga bisa membuat foto, video, dan suara artifisial tampak sangat meyakinkan (deepfake).

Penelitian menunjukkan bahwa orang lebih sulit mendeteksi konten palsu yang dihasilkan AI dibandingkan dengan yang dibuat oleh manusia. Ini karena sifat terstruktur dan ringkas dari konten yang dihasilkan AI, membuatnya lebih mudah dipahami dan meyakinkan.

Menangani bahaya disinformasi dari AI memerlukan pendekatan teknologi dan partisipasi masyarakat. Ironisnya, dari perspektif teknis, AI bisa digunakan untuk menyebarkan disinformasi, tapi juga dapat menjadi alat untuk melawan disinformasi dan mengembalikan kepercayaan.

Salah satu contoh dampak positif AI adalah penggunaan teknik Pemrosesan Bahasa Alami (NLP) untuk membedakan narasi yang asli dan yang palsu. Inisatif awal sudah dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan perusahan start-up Prosa.ai. Mereka meluncurkan chatbot antihoaks berbasis NLP di Telegram.

Algoritme tersebut tentunya perlu terus dikembangkan dan diperbarui agar tetap akurat dalam menghadapi konten AI yang semakin kompleks.

Pemerintah Indonesia juga bisa belajar dari Uni Eropa yang telah mengoperasikan European Union’s Disinformation Lab dengan menyebarkan berbagai materi yang dibuat melalui bantuan AI guna mendidik masyarakat dalam melawan disinformasi di era digital.

Selain aspek teknologi, komitmen publik dalam melawan disinformasi yang dihasilkan oleh AI juga tak kalah pentingnya. Ini dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun kelompok organisasi sipil dengan melatih literasi digital masyarakat, agar mereka bisa lebih kritis, hati-hati, dan lebih berdaya dalam berinteraksi dengan konten digital.

Pentingnya cek fakta

Tindakan berbagi informasi yang bertanggung jawab dan inisiatif verifikasi fakta bisa menjadi benteng melawan penyebaran disinformasi.

Di Indonesia, komunitas dan media arus utama telah memberikan kesempatan bagi individu untuk memverifikasi fakta. Jurnalis juga semakin didorong untuk melakukan jurnalisme pemeriksaan fakta. Meskipun masih menghadapi kendala sumber daya dan kecepatan, setidaknya ini telah membantu meredam laju penyebaran disinformasi.

Dengan menggabungkan teknologi AI dan partisipasi masyarakat, perjuangan melawan disinformasi bisa menjadi lebih terkoordinasi dan efisien. Kolaborasi antara pengembang AI, ahli, dan pemeriksa fakta menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan tepat dalam melawan disinformasi.

Intinya, meskipun AI sangat berpotensi menjadi alat penyebar disinformasi, teknologi ini juga mampu mendeteksi dan menangkalnya. Ini tergantung sejauh mana kita bijak menggunakannya dan bagaimana terbangun kerja sama sinergis antara upaya meningkatkan literasi media dan keterampilan kritis masyarakat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now