Menu Close

Anies vs Jokowi? Risma vs Khofifah? Bagaimana pandemi memperburuk gesekan politik yang sudah ada

Sigid Kurniawan/Antara Foto

Ketegangan politik akhir-akhir ini meningkat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) Jakarta karena cara mereka yang berbeda dalam menangani pandemi COVID-19. Ini berujung pada kebingungan dan kekhawatiran akan strategi mitigasi krisis yang tidak jelas.

Awal bulan September, ketika rumah sakit rujukan COVID-19 Jakarta hampir penuh, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membuat keputusan penting dan beralasan kuat untuk melaksanakan kembali kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB).

Anies mengklaim bahwa pemerintah pusat mendukung keputusannya dengan sepenuhnya.

Esoknya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan bahwa ia khawatir dengan keputusan Anies untuk membatasi pergerakan masyarakat dan operasi bisnis di Jakarta bisa memperburuk kelesuan ekonomi.

Pernyataan Jokowi itu bertentangan dengan pernyataan ia sebelumnya yang mengingatkan bahwa mendahulukan ekonomi di atas kesehatan adalah sikap yang berbahaya

Mengapa konflik antar wilayah - dalam kasus di Indonesia, antara presiden dan gubernur Jakarta - terjadi ketika situasi yang krisis seperti ini?

Menurut kami, dan seperti yang bisa terlihat di tingkat global dan lokal (glocal), ketegangan politik yang sudah ada sebelumnya (baik terang-terangan atau tidak) sering kali menjadi semakin intens ketika krisis dan bencana melanda.


Read more: Para politikus Indonesia saling lempar kesalahan dalam penanganan COVID-19


Perbedaan semakin lebar

Anies – mantan Menteri Pendidikan di kabinet Jokowi yang kemudian menjadi rival politik - adalah calon potensial untuk pemilihan presiden pada 2024.

Pandemi dapat memperparah perpecahan politik. Perbedaan antar wilayah pemerintahan yang semakin intens kadang menunjukkan lapisan konflik yang lebih dalam.

Variabel ekonomi politik, seperti pemburuan rente dan kepentingan kekuasaan, mungkin bisa menjelaskan ketegangan di antara pemerintah pusat dan daerah.

Namun, kami berargumen bahwa konflik yang sesungguhnya (yang tidak terjadi karena pemburuan rente dan kepentingan kekuasaan) bisa juga timbul akibat perbedaan tujuan dan keyakinan dalam menangani krisis.

Setiap pemimpin, dalam tingkat pemerintahan yang berbeda-beda, memahami krisis dan meresponsnya dengan cara yang berbeda-beda pula menurut bias mereka masing-masing.

Paling tidak, terdapat tiga jenis bias yang bisa diamati ketika pandemi: bias batas wilayah, bias proyeksi, dan bias keadaan normal.

Bias batas wilayah adalah ilusi bahwa batas pemerintahan bisa membatasi penyebaran bencana secara fisik.

Pendekatan teritorialisme ini sering kali tidak memadai ketika menghadapi bencana dan krisis dalam skala besar yang melintasi batas-batas wilayah pemerintahan.

Bias proyeksi mendorong pemimpin untuk memproyeksikan pola pemikiran dan asumsi yang mereka miliki sekarang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.

Sebagai contoh, karena ingin meninggalkan warisan pencapaian ekonomi dalam masa jabatannya, Jokowi menjadi tidak tegas dalam menghadapi pandemi.

Jokowi enggan untuk memprioritaskan “manusia dulu, ekonomi kemudian”

Para pemimpin publik yang menghadapi kondisi bencana dan krisis sering kali mengadopsi bias keadaan normal, yaitu perilaku meremehkan kemungkinan akan gangguan yang akan terjadi.

Mereka cenderung menerima interpretasi yang lebih menguntungkan kepentingan dan bias mereka.

Keterkaitan antara bias-bias di atas mempengaruhi pembuatan keputusan dalam penanganan krisis COVID-19.

Perbedaan politik yang sudah ada sebelumnya menjadi lebih kuat selama bencana ketika melibatkan pemimpin publik dari partai yang berbeda pada jurisdiksi yang berbeda.

Di Amerika Serikat, konflik serupa muncul di antara Presiden Donald Trump (politikus Partai Republik) dan Gubernur Negara Bagian New York Andrew M. Cuomo (politikus Partai Demokrat) terkait isu karantina

Di Australia, Perdana Menteri Negara Bagian Victoria, Daniel Andrews (politikus Partai Buruh Australia), mengadopsi kebijakan lockdown yang ketat.

Kebijakan tersebut bertentangan kebijakan Perdana Menteri Australia, Scott Morrison (politikus Partai Liberal), yang memprioritaskan “membuka ekonomi lebih cepat dengan meningkatkan pelacakan kontak COVID-19”.

Perdebatan terkait pemerintahan mana yang bertanggung jawab atas tingkat kematian yang tinggi di tempat perawatan lansia membuat pemerintah federal Australia berseteru dengan negara bagian Victoria.

Di Australia, pandemi juga memicu rivalitas negara bagian dan parokialisme.

Konflik serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia, dari Eropa sampai Amerika Latin, dengan berbagai kompleksitas dan intensitas.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (kiri) dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Ketegangan politik antar keduanya sudah ada sejak sebelum pandemi. Moch Asim/Antara Foto

Di Indonesia, kita bisa juga melihat ketegangan serupa di antara tingkat pemerintahan yang lebih kecil.

Di provinsi Nusa Tenggara Timur, pemerintah Kota Kupang baru-baru ini memutuskan untuk membatasi pergerakan karena khawatir daerahnya tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menghadapi kasus COVID-19 yang terus meningkat.

Dalam hitungan jam, pemerintah provinsi membatalkan kebijakan tersebut. Pemerintah provinsi memperbolehkan kumpulan massa dan pesta selama masyarakat melakukannya dengan memperhatikan protokol kesehatan COVID-19, dengan argumen bahwa aktivitas ekonomi harus tetap berjalan.

Di Jawa Timur, pemerintah provinsi dan pemerintah Kota Surabaya berbeda pendapat terkait masalah penanganan COVID-19, seperti alokasi uji laboratorium keliling, jangka waktu PSBB, kapasitas rumah sakit, dan transparansi informasi terkait kluster-kluster baru.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berasal dari partai politik yang berbeda. Walaupun mereka adalah bagian dari koalisi nasional yang sama, mereka memiliki kepentingan berbeda dalam pemilihan kepala daerah yang akan datang.


Read more: Rumah sakit rujukan COVID-19 Jakarta hampir penuh: ini 3 strategi cegah fasilitas kesehatan lumpuh


Apa yang bisa dilakukan publik

Tidak ada satu pendekatan yang cocok untuk semua dalam menangani penyebaran virus. Meski demikian, kita bisa meraih keberhasilan dalam tingkat tertentu dengan melakukan beberapa tindakan seperti menjaga jarak yang aman, tingkat pengetesan yang tinggi, pelacakan kontak yang memadai, dan karantina; mendengarkan para pakar; dan pengendalian batas wilayah secara strategis.

Apa pun partai politik atau ideologi yang sedang berkuasa, publik harus menekan pemerintah mereka masing-masing untuk mengadopsi upaya-upaya tersebut.

Publik harus mengawasi kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah yang telah dipilih secara demokratis.

Bagaimana suatu kebijakan dibuat (apakah kebijakan itu berbasis ilmu pengetahuan) dan tujuannya (untuk menahan, untuk menekan, atau untuk “hidup bersama” virus) adalah hal lebih penting ketimbang siapa dan dari partai mana yang membuat kebijakan tersebut.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa pendekatan ini efektif di tingkat komunitas.

Penduduk desa Panggungharjo di Bantul, Yogyakarta, menyusun model respons kolaboratif yang memungkinkan mereka menetapkan sendiri upaya-upaya mereka untuk melindungi diri mereka dari pandemi.

Hal ini termasuk mengawasi pergerakan orang-orang yang masuk dan keluar dari desa dan mengalokasikan ruangan untuk melakukan karantina di tingkat desa. Mereka juga mendorong agar masyarakat melakukan perdagangan melalui platform e-commerce atau online.

Tantangannya adalah memperbesar kesadaran dan solidaritas kolektif ini ke tingkat kota, provinsi, dan tingkat pemerintah yang lebih tinggi.


Ignatius Raditya Nugraha menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now