Menu Close
A worker in hard had peers over the top of newly produced cement blocks
Memproduksi balok beton dengan karbon yang ditangkap, seperti yang dilakukan di Brooklyn, NY, memiliki manfaat ekonomi dan iklim. (AP Photo/John Minchillo)

Apa manfaat penangkapan karbon bagi Bumi? Kami memetakan pihak yang untung dan rugi karena praktik ini

Menangkap karbon dioksida (CO2) dari udara atau industri lalu menggunakannya kembali mungkin terdengar seperti solusi perubahan iklim yang saling menguntungkan. Gas rumah kaca yang dapat memanaskan Bumi dapat menjauh dari atmosfer. Proyek ini pun mampu mencegah kenaikan penggunaan bahan bakar fosil.

Namun, tidak semua proyek penangkapan karbon menawarkan manfaat ekonomi dan lingkungan yang sama. Faktanya, beberapa hal justru dapat memperburuk perubahan iklim.

Saya memimpin Inisiatif CO2 Global untuk mempelajari cara memanfaatkan CO2 yang ditangkap supaya bisa digunakan dengan cara-cara ramah iklim. Inisiatif ini saya lakukan bersama rekan-rekan di Universitas Michigan di Amerika Serikat.

Untuk membantu mengetahui proyek mana yang akan memberikan hasil dan mempermudah pilihan, kami memetakan pro dan kontra mengenai sumber dan penggunaan karbon hasil penangkapan yang paling umum.

Mengganti bahan bakar fosil dengan karbon yang ditangkap

Karbon berperan penting di banyak bagian kehidupan kita. Bahan-bahan seperti pupuk, bahan bakar penerbangan, tekstil, deterjen, dan masih banyak lagi turut bergantung pada karbon.

Namun, penelitian bertahun-tahun dan perubahan iklim yang dialami dunia telah sangat jelas: umat manusia harus segera mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil dan menghilangkan kelebihan CO2 dari atmosfer dan lautan.

Ilustrasi lanskap menunjukkan bagaimana gas rumah kaca dilepaskan, ditangkap, dan disimpan dalam berbagai cara, termasuk lautan, tanah, hutan, dan aktivitas manusia.
Menyeimbangkan anggaran karbon lingkungan adalah hal yang rumit, dan pengelolaan karbon aktif diperlukan untuk menstabilkan iklim. University of Michigan, CC BY-ND

Beberapa bahan karbon dapat diganti dengan bahan alternatif bebas karbon, seperti penggunaan energi terbarukan untuk menghasilkan listrik. Namun, untuk penggunaan lain, seperti bahan bakar penerbangan atau plastik, karbon akan lebih sulit tergantikan. Teknologi penangkapan dan daur ulang karbon dari kebutuhan tersebut sedang dikembangkan.

Usaha menangkap kelebihan CO2—dari lautan, atmosfer, atau industri—dan menggunakannya untuk tujuan baru disebut penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (carbon capture, utilisation, and storage atau CCUS). Dari semua opsi untuk mengatasi CO2 yang tertangkap, saya dan kolega saya lebih suka menggunakan karbon untuk membuat produk.

Mari kita periksa semuanya.

CCUS terbaik dan terburuk

Dalam setiap metode, kombinasi sumber CO2 dan penggunaan akhir, (disposisi) memiliki dampak lingkungan dan ekonomi yang berbeda.

Dalam kasus terbaik, CCUS akan menghasilkan lebih sedikit CO2 di lingkungan dibandingkan sebelumnya. Contoh nyata dari hal ini adalah penggunaan CO2 yang ditangkap untuk memproduksi bahan konstruksi, seperti beton. Proses ini menyegel karbon yang ditangkap kemudian memanfaatkannya dalam produk yang bernilai ekonomi.

Beberapa metode bersifat netral karbon, artinya tidak menambahkan CO2 baru ke lingkungan. Misalnya, ketika menggunakan CO2 yang ditangkap dari udara atau lautan dan mengubahnya menjadi bahan bakar atau makanan, karbon tersebut akan kembali ke atmosfer. Namun, penggunaan karbon yang ditangkap tersebut menghindari kebutuhan karbon baru dari bahan bakar fosil.

Adapun metode lainnya justru berbahaya karena meningkatkan jumlah CO2 di lingkungan kita. Metode penyimpanan karbon bawah tanah yang paling umum—misalnya untuk menyedot lebih banyak minyak bumi—adalah contoh utamanya.

Pro dan kontra penyimpanan karbon bawah tanah

Selama bertahun-tahun, beberapa proyek sudah menangkap kelebihan CO₂ dan menyimpannya di bawah tanah dalam struktur alami dari batuan berpori seperti batuan basal, seperti reservoir air asin, maupun sumur minyak atau gas habis pakai.

Metode ini disebut penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS). Jika dilakukan dengan benar, penyimpanan CO2 secara geologis ini dapat menghilangkan sejumlah besar CO2 dari atmosfer dalam waktu lama.

CO2 yang ditangkap dari udara, air, ataupun biomassa menciptakan proses karbon negatif atau mengurangi kandungan karbon di udara setelahnya.

Namun, jika CO2 berasal dari emisi bahan bakar fosil baru, seperti pembangkit listrik tenaga batu bara atau gas, maka netralitas karbon tidak mungkin terjadi. Tidak ada teknologi penangkapan karbon yang bekerja dengan efisiensi 100%. Akan selalu ada CO2 yang terlepas ke udara.

Penangkapan CO2 juga mahal. Jika tidak ada produk untuk dijual, penyimpanan karbon bawah tanah dapat menjadi layanan yang berat di ongkos. Ujung-ujungnya biaya ini dapat tercakup ke pajak atau pungutan kita, serupa dengan iuran pembuangan sampah.

Salah satu cara menurunkan biaya adalah dengan menjual CO₂ untuk pengurasan minyak bumi (enhanced oil recovery). Melalui metode ini, CO2 yang ditangkap akan dipompa ke dalam sumur untuk mendorong lebih banyak minyak keluar dari dalam tanah.

Meskipun sebagian besar CO2 dalam proses ini dapat tertanam di dalam tanah, proses pengurasan minyak justru memicu lebih banyak produksi bahan bakar fosil. Pada akhirnya, praktik ini justru melepaskan lebih banyak CO2 ke atmosfer. Manfaat lingkungan penangkapan karbon justru akhirnya sirna.

Memanfaatkan karbon yang ditangkap untuk makanan dan bahan bakar

Ada bahan berumur pendek yang terbuat dari CO2 seperti bahan bakar penerbangan, makanan, obat-obatan dan working fluids untuk mesin berbahan logam.

Barang-barang ini tidak terlalu tahan lama dan akan segera terurai sehingga melepaskan CO2 lagi. Namun, produk ini cukup bernilai ekonomi sehingga membuat penangkapan karbon semakin murah.

CO₂ yang terlepas dari barang-barang tersebut dapat ditangkap kembali dari udara dan digunakan untuk membuat produk generasi masa depan. Pada dasarnya proses ini akan menciptakan ekonomi karbon sirkular yang berkelanjutan.

Namun, praktik ini hanya berhasil jika CO2 ditangkap dari udara atau lautan. Jika CO2 berasal dari sumber bahan bakar fosil, maka ini adalah CO2 baru yang akan dilepaskan ke lingkungan ketika produk tersebut terurai. Jadi, kalaupun ditangkap lagi, penangkapan karbon semacam ini malah memperburuk perubahan iklim.

Menyimpan karbon dalam material, seperti beton

Beberapa mineral dan bahan limbah dapat mengubah CO2 menjadi batu kapur atau bahan batuan lainnya. Masa pakai material ini bisa sangat tahan lama, lebih dari seratus tahun.

Contohnya adalah beton. Partikel beton menyebabkan CO2 termineralisasi sehingga lebih keras. Beton semacam ini dapat menjadi produk yang bisa dijual daripada disimpan di bawah tanah.

Produk tahan lama lainnya mencakup produk agregat untuk pembangunan jalan, serat karbon yang digunakan dalam industri otomotif, ruang angkasa dan pertahanan, serta beberapa polimer.

Volker Sick, direktur Global CO₂ Initiative di Universitas Michigan dan penulis artikel ini, membahas mengapa penangkapan karbon dan penggunaannya lambat mendapatkan perhatian.

Bahan-bahan ini menciptakan kombinasi terbaik antara manfaat lingkungan dan ekonomi jika dibuat dengan CO₂ yang ditangkap dari atmosfer, bukan emisi bahan bakar fosil baru.

Proyek karbon yang bijak

Teknologi CCUS dapat menjadi solusi yang berguna. Pemerintah Amerika Serikat pun mulai menggelontorkan miliaran dolar untuk mengembangkan teknologi ini. Pengawasan harus ketat untuk memastikan bahwa teknologi penangkapan karbon tidak akan menunda penghentian penggunaan bahan bakar fosil.

Perlu ada upaya menyeluruh untuk memanfaatkan kombinasi terbaik antara sumber dan pembuangan CO₂ untuk mencapai skala yang cepat dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat.

Karena perubahan iklim merupakan masalah kompleks yang merugikan manusia di seluruh dunia serta generasi mendatang, saya meyakini bahwa tindakan harus dilakukan tidak hanya dengan cepat, tapi juga dipikirkan dengan matang dan berbasis bukti.

Fred Mason, Gerry Stokes, Susan Fancy, dan Stephen McCord dari Global CO₂ Initiative berkontribusi pada artikel ini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now