Menu Close
perang saudara di Amerika Serikat
Lebih dari 600.000 tentara tewas selama Perang Saudara Amerika. Keith Lance/Digital Vision Vectors via Getty Images

Apa sebenarnya penyebab Perang Saudara di AS?

Apa penyebab Perang Saudara di Amerika Serikat? – Abbey, usia 7, Stone Ridge, New York


Tes kewarganegaraan Amerika Serikat (AS) - yang harus dilalui oleh para imigran sebelum menjadi warga negara AS - akan menanyakan: “Sebutkan satu masalah yang menyebabkan terjadinya Perang Saudara.” Ada tiga kemungkinan jawaban yang benar untuk pertanyaan ini: “perbudakan,” “alasan ekonomi” dan “hak-hak negara bagian.”

Namun, sebagai sejarawan dan profesor yang mempelajari perbudakan, sejarah Selatan, dan Perang Saudara AS, saya tahu hanya ada satu jawaban yang benar: perbudakan.

Perbudakan di Amerika pada 1862
Orang-orang dan tentara yang diperbudak di perkebunan Carolina Selatan pada 1862. Henry P. Moore/LOC/Archive Photos via Getty Images

Orang kulit putih dari wilayah selatan meninggalkan Perserikatan untuk mendirikan republik yang memiliki budak; mereka memang berniat untuk melestarikan perbudakan.

Terlebih lagi, tidak seperti perbudakan di masa kuno, perbudakan di AS lebih didasarkan pada ras. Pada masa Perang Saudara, orang-orang yang diperbudak adalah kulit hitam adalah; sedangkan orang kulit putih tidak.

Setiap warga negara AS, baik yang lahir di negara itu maupun yang dinaturalisasi, harus memahami bahwa konflik perbudakan inilah yang menyebabkan terjadinya Perang Saudara.

Sejarah perbudakan di Amerika Serikat

Perbudakan di AS dimulai setidaknya sejak 1619, ketika sebuah kapal Portugis datang membawa sekitar 20 orang Afrika yang diperbudak ke wilayah yang sekarang bernama Virginia. Perbudakan berkembang dengan cepat sehingga pada saat para kolonis memperjuangkan kemerdekaan mereka dari Inggris pada 1775, perbudakan telah menjadi hal yang legal di seluruh 13 koloni.

Seiring berjalannya abad ke-19, negara-negara bagian Utara perlahan-lahan menghapuskan perbudakan; namun negara-negara bagian Selatan menjadikannya sebagai pusat perekonomian mereka. Pada tahun 1860, hampir empat juta orang yang diperbudak tinggal di Selatan.

Semakin lama, Utara dan Selatan semakin berselisih mengenai masa depan perbudakan. Orang kulit putih Selatan percaya bahwa perbudakan harus diperluas ke wilayah baru atau mereka akan mati. Pada tahun 1845, mereka menekan pemerintah federal untuk mengambil alih Texas, di mana perbudakan masih legal. Mereka juga mendukung upaya untuk membeli Kuba dan memasukannya dalam jajaran negara bagian perbudakan.

Di Utara, orang-orang pada umumnya menentang perluasan perbudakan, dan banyak yang mendukung emansipasi bertahap bagi orang-orang yang diperbudak. Sebuah kelompok yang lebih kecil, yang dikenal sebagai abolisionis, menuntut perbudakan segera diakhiri.

Namun, meskipun banyak orang Utara yang menentang perluasan perbudakan, mereka tidak mendukung persamaan hak bagi orang kulit hitam. Di sebagian besar negara bagian Utara, segregasi merajalela, orang kulit hitam dilarang memberikan suara dan kekerasan terhadap mereka sering terjadi.

Pada tahun 1850-an, semakin sulit bagi pemerintah federal untuk mengakomodir kemauan kedua belah pihak. Kompromi 1850, serangkaian rancangan undang-undang yang dibuat sebagai upaya menyelesaikan masalah, juga gagal memuaskan pihak mana pun.

Penerbitan novel Uncle Tom’s Cabin pada tahun 1852 - yang bercerita tentang penderitaan dan ketidakadilan yang menimpa seorang laki-laki yang diperbudak - membuat orang Utara semakin menentang perbudakan. Dalam keputusan Dred Scott 1857, Mahkamah Agung memutuskan bahwa orang yang diperbudak bukanlah warga negara AS, dan Kongres juga tidak dapat melarang perbudakan di wilayah federal. Dua tahun kemudian, tokoh abolisionis John Brown menyerang gudang senjata federal di Harpers Ferry, Virginia, sebagai upaya memasok senjata kepada orang-orang yang diperbudak – tetapi ia gagal.

Abraham Lincoln
Foto Presiden Abraham Lincoln yang telah direstorasi secara digital, yang diambil pada masa Perang Saudara AS. National Archives/Stocktrek Images via Getty Images

Lincoln menjadi presiden, berbuntut pada pemisahan diri

Pemilihan presiden AS tahun 1860 berlangsung di tengah pusaran masalah ini. Sebuah partai politik baru, Partai Republik, menentang penyebaran perbudakan di seluruh wilayah barat. Dari empat kandidat utama yang mencalonkan diri sebagai presiden, Abraham Lincoln memenangkan suara elektoral - tetapi hanya 40% dari total suara populer.

Terpilihnya seorang presiden dari partai yang menentang perbudakan menyentak warga kulit putih di Selatan untuk bertindak. Kurang dari dua bulan setelah Lincoln menang, delegasi Carolina Selatan, yang bertemu di Charleston, memutuskan untuk memisahkan diri dari Perserikatan dan secara resmi menarik keanggotaannya di AS.

Negara-negara bagian Selatan lainnya mengikuti dan mengatakan bahwa perbudakan adalah alasan utama untuk memisahkan diri. Delegasi Texas menulis bahwa penghapusan perbudakan “akan membawa bencana yang tak terelakkan bagi kedua ras dan kehancuran” di negara-negara bagian yang memiliki budak. Dokumen pemisahan diri Mississippi menyatakan “posisi kami sepenuhnya diidentikkan dengan institusi perbudakan - yang merupakan kepentingan material terbesar di dunia.”

Ratusan pertempuran brutal dan berdarah dalam Perang Saudara membawa dampak buruk bagi negara ini.

Para pendukung Konfederasi menegaskan posisi mereka

Wakil presiden Konfederasi, Alexander Stephens, juga mengatakan bahwa perbudakan menjadi alasan pemisahan diri, dan bahwa kata-kata Thomas Jefferson dalam Deklarasi Kemerdekaan - bahwa semua orang diciptakan sama - adalah salah.

“Pemerintahan baru kita berdiri di atas ide yang berlawanan,” kata Stephens kepada orang banyak. “Fondasi kita jelas, landasan yang bertumpu pada kebenaran besar bahwa orang negro tidak setara dengan orang kulit putih; bahwa perbudakan di bawah ras yang lebih unggul adalah kondisi alamiah dan normal.”

Meskipun bukti-bukti menunjukkan bahwa perbudakan adalah penyebab Perang Saudara, beberapa orang Selatan menciptakan mitos - “Penyebab yang Hilang” - yang mengubah para jenderal Konfederasi menjadi pahlawan yang membela kebebasan. Sayangnya, mitos tersebut telah menjadi kenyataan. Beberapa sekolah masih dinamai dengan nama para jenderal Konfederasi; begitu pula beberapa pangkalan militer, meskipun hal ini perlahan berubah.

Penting untuk mengetahui alasan sebenarnya dari Perang Saudara agar AS tidak lagi merayakan tokoh-tokoh bersejarah yang berjuang untuk mendirikan republik yang membelenggu para budak.

Artikel ini telah diperbarui untuk memperjelas bahwa koloni-koloni yang disebutkan telah menjadi negara bagian di Amerika Serikat.


Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now