Menu Close
Seorang pelajar menunjukkan karya air mancur dan lampu panel surya buatannya yang dipamerkan dalam gelar karya inovasi di SMA Negeri 14, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (22/1/2024). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/foc.

Apa yang bisa dilakukan institusi pendidikan untuk menyambut era ‘green jobs’?

Asosiasi Industri Fotovoltaik Eropa (EPIA) bersama Greenpeace International memprediksi green jobs akan menjadi tren global mulai tahun 2025. Namun, badan PBB untuk program pembangunan (UNDP) memperkirakan pada tahun 2030, 60% generasi muda di dunia belum memiliki green skills yang diperlukan untuk memasuki era green jobs.

Green jobs adalah jenis pekerjaan yang berkontribusi melestarikan dan memulihkan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan dan sektor ekonomi. Pekerjaan ini mencakup misalnya, pekerjaan yang dapat membantu melindungi ekosistem dan biodiversitas; mengurangi energi, materi, dan konsumsi air; dekarbonisasi perekonomian; serta mengurangi atau mencegah pembuatan segala bentuk limbah dan polusi. Salah satu bentuk green jobs saat ini misalnya pekerjaan teknisi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang bertanggung jawab mentransformasikan energi terbarukan agar berkelanjutan.

Untuk mendukung penciptaan green jobs, Higher Education Sustainability Initiative, kemitraan terbuka antara beberapa badan PBB dan komunitas pendidikan tinggi, mengkampanyekan “Education for Green Jobs” sebagai upaya untuk memfasilitasi tuntutan green jobs melalui pendidikan.

Bagaimana langkah-langkahnya?

Membangun green awareness

Green awareness atau kesadaran hijau merupakan sikap yang dianggap pro-lingkungan. Kesadaran ini memahamkan pentingnya mengurangi jejak ekologis untuk menjaga keberlanjutan Bumi, sebagai bentuk menghadapi tantangan kritis persoalan lingkungan.

Untuk mendukung green jobs di masa depan, institusi pendidikan perlu menyuburkan green awareness sehingga dapat mendorong siswa menerapkan praktik keberlanjutan, seperti pengurangan jejak karbon dalam kehidupan sehari-hari melalui aktivitas berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi umum.

Sekolah-sekolah di Indonesia juga dapat membangun green awareness dengan menguatkan literasi lingkungan dalam kegiatan pembelajaran. Menurut organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan_ (OECD), green awareness mencakup:

  1. Kesadaran terhadap isu-isu lingkungan: Diukur dari seberapa banyak siswa mendapat informasi tentang isu-isu lingkungan saat ini.
  2. Persepsi terhadap permasalahan lingkungan hidup: Diukur dari seberapa besar kepedulian siswa terhadap permasalahan lingkungan hidup.
  3. Optimisme lingkungan: Diukur dari keyakinan siswa bahwa tindakan mereka atau tindakan manusia dapat berkontribusi terhadap pelestarian dan perbaikan lingkungan.

Dalam membangun green awareness, para guru berperan sebagai fasilitator utama dalam menyampaikan pengetahuan dan pemahaman mengenai isu-isu lingkungan. Guru membentuk karakter dan nilai-nilai berkelanjutan, semisal dengan memberikan landasan konseptual yang kuat kepada siswa tentang pentingnya menjaga lingkungan.


Read more: 3 cara agar pendidikan bisa jadi solusi perubahan iklim


Kurikulum Merdeka yang saat ini digunakan oleh sekolah belum berhasil membuat kesadaran lingkungan menjadi sesuatu yang dekat dan relevan bagi siswa. Meskipun pembelajaran sudah terintegrasi, masih terdapat hambatan pengetahuan, keterampilan, dan infrastruktur yang perlu diatasi. Ini menunjukkan upaya membangun green awareness tidak hanya menjadi tanggung jawab guru, tapi juga sekolah dan pemerintah secara kolaboratif.

Revitalisasi pendidikan

Bentuk revitalisasi pendidikan untuk memenuhi tuntutan green jobs dapat dilakukan dengan fokus pada pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Dimulai dari pembuatan kebijakan pendidikan untuk membentuk standar kompetensi yang mengarah pada keahlian dan kesiapan menghadapi tantangan lingkungan di masa depan.

Kebijakan ini juga perlu memperhatikan unsur kesinambungan dan keberlanjutan di semua tingkatan. Pemerhati pendidikan Ina Liem dalam wawancara di VOA Indonesia menyebutkan bahwa, di sekolah dasar hingga menengah atas, sistem pendidikan seringkali memiliki proyek ramah lingkungan, tapi upaya ini tidak berlanjut ke perguruan tinggi.

Pelajar SMA Negeri 14, Semarang, Jawa Tengah, mengembangkan inovasi teknologi dengan sistem energi terbarukan yang ramah lingkungan. ANTARA FOTO/Makna Zaezar/foc.

Integrasi kurikulum green skills

Kurikulum green skills menjadi kebutuhan mendesak seiring maraknya tuntutan pertumbuhan ekonomi yang menganut prinsip ekologis dan kesejahteraan sosial. Integrasi kurikulum green skills ke dalam pendidikan berpeluang membuat siswa lebih siap untuk mengatasi persoalan lingkungan dan kesejahteraan sosial yang mendukung pembangunan ramah Bumi.

Keterampilan green skills menurut OECD terdiri dari cognitive competencies (kemampuan kognitif untuk pemahaman ekologi dan solusi lingkungan), interpersonal skills (keterampilan berkomunikasi dan bekerja sama dalam konteks lingkungan), dan intrapersonal competencies (kemampuan mengelola diri dan motivasi untuk tindakan pro-lingkungan).


Read more: 'Green skills' untuk hadapi ancaman perubahan iklim


Kegiatan belajar menanam tanaman untuk anak prasekolah. SUKJAI PHOTO/Shutterstock.

Kompetensi dasar dan inti dalam green skills perlu membantu siswa memahami konsep keberlanjutan secara menyeluruh. Mereka tidak hanya diajarkan untuk memahami dampak lingkungan dari tindakan manusia, tetapi juga merancang solusi berkelanjutan melalui pekerjaan mereka di masa depan. Siswa perlu bertindak sebagai motor penggerak transformasi yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik di tingkat pribadi maupun profesional.

Dalam praktiknya, kompetensi green skills tidak hanya mempelajari biologi, geografi, atau mata pelajaran ilmu lingkungan, melainkan juga perlu diperluas ke berbagai disiplin ilmu. Green skills perlu diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran yang bertujuan menciptakan kompetensi yang sesuai dengan tuntutan green jobs.

Pada mata pelajaran matematika, misalnya, integrasi green skills dapat dilakukan ketika mempelajari geometri — siswa tidak hanya diajak untuk memahami konsep dan rumus, tetapi juga diberi kesempatan untuk menggambarkan secara matematis desain taman berbasis ekologi atau merancang tata ruang kota yang ramah lingkungan.

Kemudian dalam mata pelajaran sosiologi, integrasi green skills dapat melibatkan kearifan lokal sehingga siswa paham keterkaitan perubahan iklim dengan dinamika sosial-budaya sesuai konteks lokal daerah masing-masing.

Green skills juga dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran teknologi informasi dengan menciptakan aplikasi atau solusi teknologi untuk memonitor dan mengelola konsumsi energi. Mata pelajaran ekonomi dapat mengintegrasikan praktik green skills untuk menciptakan eco entrepreneurship atau kegiatan bisnis ramah lingkungan.

Pada akhirnya, integrasi kurikulum green skills yang selaras sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi dapat mempersiapkan kebutuhan aktual pasar kerja di sektor green jobs.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now