Menu Close
Krisis perubahan iklim membutuhkan keterampilan baru, terutama keterampilan hijau. Yakobchu Viacheslav/shutterstock.

‘Green skills’ untuk hadapi ancaman perubahan iklim

Perubahan iklim adalah ancaman lingkungan yang semakin nyata. Terutama bagi kaum muda global, yang jumlahnya mewakili seperempat total penduduk dunia, dan 86% di antaranya berasal dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Perubahan iklim akan berdampak serius terhadap lapangan kerja, terutama angka pengangguran dan krisis biaya hidup, yang menempati urutan teratas dalam peringkat risiko global menurut temuan riset Global Risk Report tahun 2023 dari World Economic Forum, organisasi non-pemerintah dan lobi internasional yang berbasis di Cologny, Kanton Jenewa, Swiss.

Salah satu solusi alternatif untuk mengurangi risiko krisis biaya hidup dan pengangguran tenaga kerja adalah melalui peningkatan ‘keterampilan hijau’ (green skills).

Apa itu green skills?

Menurut United Nations Industrial Development Organization, badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas mempromosikan dan mempercepat pembangunan industri, green skills adalah sebuah pengetahuan, kemampuan, nilai, dan sikap yang diperlukan untuk hidup, berkembang, dan mendukung masyarakat yang bersumber daya cukup dan berkelanjutan.

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), organisasi kerja sama dan pembangunan ekonomi internasional, mengklasifikasikan green skills, menjadi:

  1. Cognitive competencies: kesadaran lingkungan dan kemauan untuk belajar tentang pembangunan berkelanjutan, keterampilan sistem dan analisis risiko, serta inovasi untuk menjawab tantangan hijau

  2. Interpersonal skills: koordinasi, keterampilan komunikasi dan negosiasi, lalu keterampilan pemasaran untuk mempromosikan produk dan jasa yang lebih hijau

  3. Intrapersonal competencies: kemampuan adaptif dalam menggunakan dan mempelajari alat teknologi baru, serta keterampilan wirausaha dalam menciptakan teknologi rendah karbon).

Mengapa green skills penting untuk mengurangi risiko perubahan iklim?

Green skills menurunkan biaya hidup

Green skills dapat menekan laju krisis finansial dan sumber daya alam. Biaya hidup tinggi terjadi akibat semakin langkanya sumber alam atau kekayaan lainnya dalam memenuhi kebutuhan manusia yang semakin besar populasinya.

Penelitian Lucas Bretschger profesor dari Centre of Economic Research, ETH Zurich, Swiss, tahun 2013, menyebutkan bahwa manusia seringkali bergantung pada sumber daya tidak terbarukan sementara pertumbuhan populasi terus naik. Hal ini mempercepat laju penggunaan sumber daya tersebut.

Untuk mengantisipasinya, kita membutuhkan tenaga kerja beremisi rendah dan pembangunan berbasis sertifikasi atau pengukuran berkelanjutan. Pengukuran berkelanjutan ini bisa diaplikasikan ke dalam gaya hidup kaum muda melalui kompetensi hijau, seperti yang ditunjukkan dalam studi kolaborasi antara Clement Cabral dari Université Internationale de Rabat, Maroko dan Rajib Lochan Dhar dari Indian Institute of Technology Roorkee, India, tahun 2020.

Kompetensi yang dimaksud merupakan gabungan dari:

  1. Pengetahuan hijau: pengetahuan yang berkaitan dengan lingkungan hidup seperti misalnya pengetahuan tentang praktik-praktik ramah lingkungan

  2. Keterampilan hijau: keterampilan terkait lingkungan semisal keterampilan mengelola sampah

  3. Sikap hijau: kecenderungan psikologis untuk mengevaluasi persepsi atau keyakinan mengenai lingkungan alam semisal sikap terhadap konservasi

  4. Perilaku hijau: perilaku untuk melestarikan sumber daya, mencegah orang lain terlibat dalam degradasi lingkungan, memulai tindakan untuk melindungi lingkungan dan menghentikan kerusakan lingkungan

  5. Kesadaran hijau: mengetahui dampak perilaku manusia terhadap lingkungan, contohnya kesadaran akan pembangunan berkelanjutan.

Dengan memiliki kompetensi tersebut, kaum muda dapat mengurangi ketergantungannya terhadap sumber daya yang tidak terbarukan sehingga mengurangi biaya hidup yang harus dikeluarkan. Salah satu contohnya adalah mengurangi biaya untuk membeli barang karena memiliki keterampilan daur ulang, penggunaan kembali (reuse), dan desain ramah lingkungan.

Green skills ciptakan green jobs

Keterampilan hijau dapat membantu terciptanya pekerjaan hijau yang berdampak minimum terhadap lingkungan. Mathia Coco/shutterstock.

Definisi green jobs masih diperdebatkan. Namun, organisasi buruh International Labour Organization (ILO), dan badan PBB yang mengurusi isu lingkungan yaitu UN Environment Programme (UNEP), di tahun 2008, membuat satu pengertian tentang green jobs yakni sebuah usaha atau seperangkat tanggung jawab seseorang (termasuk wirausaha) yang berdampak minimum terhadap lingkungan dan menjaga keberlangsungannya.

Green jobs memiliki dampak bagi pembangunan ekonomi bangsa, khususnya dalam meningkatkan produktivitas dan ketenagakerjaan pemuda. Bahkan, green jobs telah mengubah arah dan pemetaan bursa kerja dunia, yang tentunya semakin mendorong masyarakat dan komunitas global untuk beraksi bersama menurunkan emisi karbon atau aksi penyelamatan dari ancaman krisis iklim lainnya.

Lai Chee Sern,, dosen dari Universiti Tun Hussein Onn Malaysia, mengemukakan bahwa sepuluh green skills yang paling sering bersinggungan dengan green jobs, adalah keterampilan mendesain, kepemimpinan, keterampilan manajemen, keterampilan terkait energi, keterampilan perencanaan kota, keterampilan lansekap, keterampilan komunikasi, keterampilan pengelolaan limbah, keterampilan pengadaan barang dan jasa, dan keterampilan finansial.

Dalam pelaksanaannya, peran dan arah keterampilan hijau ini masih harus diselaraskan dengan kebutuhan industri. Untuk memastikan keselarasan ini, Lai Chee Sern juga menyarankan adanya perbaikan kurikulum yang memasukkan green skills dan ketersediaan dari pelatihan-pelatihan yang mengajarkan keterampilan tersebut.

Dengan semakin banyaknya inovasi, keterampilan, dan pelatihan hijau yang dilakukan untuk menjawab masalah krisis iklim, semakin tinggi pula peluang ketersediaan pekerjaan untuk mengurangi risiko pengangguran bagi kaum muda.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now