Menu Close
ANDREY-SHA74/Shutterstock.

Apa yang salah dalam penggunaan istilah inklusif di sekolah-sekolah Indonesia?

Survei Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang apa saja isu yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Artikel ini merupakan kolaborasi The Conversation Indonesia dan New Naratif untuk menanggapi hasil survei tersebut.


Survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang 2023 menghasilkan beberapa isu yang dianggap paling mendesak. Di antara isu-isu yang mencuri perhatian warga adalah terkait pendidikan yang beragam, setara, inklusif serta mampu menghapus kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok rentan.

Pendidikan inklusif berkaitan dengan akses dan partisipasi semua siswa terhadap pendidikan yang berkualitas, di sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya, bersama teman-teman sebaya mereka, tanpa mesti takut akan diskriminasi dan marginalisasi terhadap identitas diri yang berkaitan dengan gender, agama, disabilitas, latar belakang budaya, dan etnis.

Konsep inklusi dalam pendidikan muncul dari Salamanca Statement dan telah menjadi bagian dari konvensi dan pernyataan internasional. Inklusi adalah sebuah proses yang membantu mengatasi hambatan yang membatasi kehadiran, partisipasi, dan prestasi peserta didik.

Dalam konteks pendidikan anak dengan disabilitas, negara-negara penandatangan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) termasuk Indonesia, telah berkomitmen untuk menegakkan kewajiban hukum mereka untuk memfasilitasi pendidikan berkualitas bagi siswa penyandang disabilitas melalui pendidikan inklusif. Indonesia meratifikasi konvensi CRPD yang disahkan melalui Undang-Undang No 19 tahun 2011.

Sayangnya, beberapa inisiatif yang dilakukan di sekolah-sekolah malah bertolak belakang dengan nilai inklusivitas itu sendiri. Berikut salah kaprah praktik pendidikan inklusif di sekolah-sekolah di Indonesia:

1. Pemisahan reguler dan khusus

Pendidikan inklusif dalam konteks Indonesia umumnya diterjemahkan sebagai pemisahan antara “reguler” dan “khusus”. Praktik ini lazim ditemukan bahkan di sekolah umum. Hal ini mencakup sekolah yang menerapkan dua kurikulum yang berbeda, yaitu kurikulum nasional untuk siswa reguler dan kurikulum khusus untuk siswa penyandang disabilitas; keterikatan guru pembimbing/pendamping khusus yang secara khusus ditugaskan untuk membantu siswa berkebutuhan khusus; dan penyediaan fasilitas ruang belajar, ruang praktik, dan ruang konsultasi yang diperuntukkan hanya bagi siswa penyandang disabilitas.

Praktik terpisah ini sering kali menghalangi siswa penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam pembelajaran bersama teman-teman mereka yang bukan penyandang disabilitas. Praktik ini juga menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan manfaat sosial dan akademis. Akibatnya, harapan terhadap siswa penyandang disabilitas untuk bisa sejajar dengan siswa nondisabilitas semakin rendah.

Seharusnya, pendidik memilih pendekatan yang dapat mengembangkan komunitas belajar. Ini misalnya dengan menyediakan kesempatan belajar yang memadai bagi semua siswa di kelas seperti menggunakan pendekatan Universal Design for Learning (UDL).

UDL adalah sebuah kerangka kerja yang mengubah pandangan dari “membuat desain lingkungan dan pembelajaran yang berpotensi menghambat” menjadi mendesain pembelajaran “bebas hambatan, kaya, dan dapat diakses semua peserta didik.”

2. Diskriminasi

Pendidikan inklusif sering digunakan sebagai “samaran” atas praktik dan kebijakan diskriminatif yang sudah ada, seperti pembedaan kurikulum antara siswa disabilitas dan nondisabilitas, pemisahan ruang pembelajaran, bahkan pembedaan aturan kelas. Misalnya, siswa dengan disabilitas boleh tidak menyelesaikan tugas sementara siswa nondisabilitas tidak boleh dan dikenai hukuman jika melanggar.

Akibatnya, promosi pendidikan inklusif telah menjadi praktik yang merugikan baik bagi siswa penyandang disabilitas maupun siswa nondisabilitas. Janji-janji mengenai inklusi tampaknya “mereproduksi” kesenjangan yang ingin diatasi dalam bentuk lain

Hal ini terlihat pada struktur yang berbeda-beda di seluruh Indonesia. Misalnya, di sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusi (SPPI), inklusi hanyalah cara lain untuk menyatakan disabilitas atau kebutuhan khusus. Sebagai contoh, penyebutan inklusi pada sekolah inklusi berarti sekolah yang menerima penyandang disabilitas, siswa penyandang disabilitas di sekolah reguler sering disebut sebagai “siswa/anak inklusi”, dan guru mereka disebut sebagai “guru inklusi”.

Terlebih lagi, praktik pengajaran dan praktik pedagogi para guru sebagian besar berfokus pada disabilitas bukan pada pedagogi inklusif. Guru masih menerapkan strategi pengajaran yang dirasa cocok untuk sebagian siswa dan “menambah” atau “membedakan” untuk beberapa siswa yang memiliki disabilitas.

Dalam pedagogi inklusi, guru seharusnya memikirkan strategi pembelajaran yang bisa berlaku untuk semua peserta didik bukan hanya memikirkan sebagian besar atau sebagian kecil kelompok tertentu.

Selain itu, masih ada pemahaman yang keliru tentang inklusi sebagai sekadar penempatan siswa penyandang disabilitas dalam kelas reguler tanpa memperhatikan kebutuhan mereka secara individual. Padahal, inklusi seharusnya mencakup pemberian dukungan dan adaptasi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan semua siswa. Salah satu contohnya adalah dengan memberikan materi audio tidak hanya untuk siswa dengan hambatan penglihatan tapi juga untuk siswa yang gaya belajarnya auditif atau lambat dalam membaca.

Contoh lainnya adalah pengaturan kuota jumlah siswa penyandang disabilitas di sekolah reguler. Beberapa sekolah memaksakan seleksi yang tidak adil di mana siswa dengan disabilitas lebih berat memiliki risiko lebih tinggi untuk tidak diterima. Bahkan, terdapat sekolah yang menetapkan kuota 3-10% dan proses seleksi yang ketat untuk siswa penyandang disabilitas, sehingga mereka harus saling berkompetisi.

3. Pemahaman yang salah

Pengalaman saya dalam mendampingi SPPI menunjukkan, masih banyak guru yang beranggapan bahwa sekolah inklusif dan sekolah reguler adalah dua hal yang berbeda. Jika sekolah mereka tidak ditunjuk sebagai SPPI oleh pemerintah, mereka mudah menolak siswa dengan disabilitas. Mereka meyakini bahwa siswa penyandang disabilitas harus dididik di “sekolah inklusif” bukan di sekolah reguler.

Selain itu, guru sering merujuk siswa penyandang disabilitas untuk menerima pelajaran di “ruang inklusi”, terpisah dari teman temannya yang nondisabilitas, atau mengalokasikan guru pembimbing khusus (GPK) kepada siswa penyandang disabilitas untuk belajar secara individu dengan guru tersebut, bahkan seringkali dengan biaya GPK yang ditanggung orang tua.

Dalam beberapa kasus, sekolah bahkan mengharuskan orang tua siswa penyandang disabilitas untuk duduk bersama anaknya di kelas dan memberikan bantuan yang diperlukan oleh anak tersebut.

Permasalahan ini berakar pada kesalahpahaman sekolah dan guru tentang pendidikan inklusif. Sekolah menerjemahkan pendidikan inklusif sebagai sekadar ada atau tidak adanya siswa penyandang disabilitas dan GPK dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan siswa penyandang disabilitas.

Harapan penyandang disabilitas

Dalam studi kasus di salah satu SPPI di Yogyakarta, siswa penyandang disabilitas menyuarakan pentingnya bermain, harapan untuk naik kelas, perlunya persahabatan, perlindungan dari perundungan dan isolasi, serta penolakan terhadap praktik pelabelan.

Pesan utama yang digarisbawahi dari suara siswa penyandang disabilitas tersebut adalah penggunaan label “inklusi” untuk mengidentifikasi dan menangani siswa penyandang disabilitas. Label ini berdampak pada citra dan identitas siswa penyandang disabilitas yang dianggap memiliki status lebih rendah dari anggota komunitas sekolah yang lain. Menurut mereka, label tersebut juga berimplikasi pada marginalisasi baik secara akademik maupun sosial.

Selama ini, SPPI lebih memperhatikan pembedaan kurikulum dan kurang fokus pada area sosial. Sementara siswa penyandang disabilitas justru menginginkan sekolah yang juga mengedepankan keterampilan sosial yang memungkinkan mereka memulai atau terlibat dalam interaksi dan bermain dengan teman-teman nondisabilitas yang ada di sekolah mereka. Mereka juga ingin diterima dan menjadi bagian dari komunitas yang lebih luas dari berbagai latar belakang.

Siswa penyandang disabilitas merasa, mereka memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada teman-teman mereka dalam hal penerimaan dan persahabatan. Persahabatan, dari sudut pandang mereka, harus bersifat inklusif bagi seluruh anggota komunitas sekolah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now