Menu Close
layar komputer yang menampilkan logo MySpace (tiga figur abstrak siluet)
Apa yang terjadi pada semua konten yang diunggah di platform media sosial dan blog — seperti MySpace dan LiveJournal — lebih dari dua dekade lalu? (Shutterstock)

Apa yang terjadi pada data pribadi kita ketika kita tidak lagi menggunakan media sosial?

Internet memiliki peran sentral dalam kehidupan kita. Saya — dan banyak orang seusia saya — tumbuh beriringan dengan perkembangan media sosial dan platform konten.

Bersama rekan-rekan saya, saya membuat situs web pribadi di GeoCities, membuat blog di LiveJournal, berteman di MySpace dan bergaul di Nexopia. Banyak dari platform dan ruang sosial sebelumnya menempati sebagian besar ingatan masa muda kita. Oleh karena itu, web telah menjadi keterikatan yang rumit yang menjadi dasar hubungan dan koneksi.

Penelitian doktoral saya melihat bagaimana kita telah menjadi “databound” — terikat pada data yang telah kita hasilkan sepanjang hidup kita, baik dengan cara yang dapat kita kendalikan maupun tidak.

Apa yang terjadi pada data kita saat kita meninggalkan platform? Apa yang seharusnya terjadi? Apakah Anda ingin mendapatkan jawabannya?

Data pribadi dalam jumlah yang sangat besar

Sebagai bagian dari pekerjaan, komunikasi, perbankan, perumahan, transportasi, dan kehidupan sosial kita, kita memproduksi data setiap hari. Kita sering tidak menyadari — dan oleh karena itu tidak dapat menghindarinya — berapa banyak data yang kita hasilkan. Kita juga jarang dapat menentukan cara penggunaan, penyimpanan, atau penyebarannya.

Kurangnya kendali ini berdampak negatif pada kita, dan efeknya tidak proporsional kaitannya dengan perbedaan ras, jenis kelamin, dan kelas. Informasi tentang identitas kita dapat digunakan dalam algoritme dan oleh orang lain untuk menindas, mendiskriminasi, melecehkan,menyebarluaskan data pribadi, dan merugikan kita.

Privasi data pribadi sering dipikirkan dengan adanya pelanggaran perusahaan, peretasan rekam medis, dan pencurian kartu kredit.

Penelitian saya tentang partisipasi kaum muda dan produksi data pada platform populer yang menjadi ciri akhir tahun 1990-an hingga 2000-an — seperti GeoCities, Nexopia, LiveJournal, dan MySpace — menunjukkan bahwa periode ini adalah era di mana privasi data jarang dipertimbangkan dalam konteks kontemporer.

Data seringkali bersifat pribadi dan dibuat dalam konteks partisipasi sosial dan digital yang khusus. Contohnya termasuk blog bergaya buku harian, penulisan kreatif, swafoto, dan ketika seseorang ikut dalam fandom. Konten buatan pengguna ini, kecuali memang ada tindakan untuk menghapusnya, dapat bertahan lama: ingat, internet bersifat abadi.


Read more: The real problem with posting about your kids online


Keputusan tentang apa yang akan terjadi pada jejak digital kita harus dipengaruhi oleh orang yang membuatnya. Penggunaannya mempengaruhi privasi, otonomi, dan anonimitas kita. Pada akhirnya, ini merupakan masalah kekuasaan.

Biasanya, saat situs web atau platform “mati,” atau “tidak melanjutkan operasinya (sunset),” keputusan tentang data dibuat oleh karyawan perusahaan pada dalam kurun waktu tertentu (ad-hoc).

Mengontrol data

Data milik pribadi — yang diproduksi di platform dan dipegang oleh perusahaan — dikuasai oleh perusahaan, bukan orang yang memproduksinya. Lebih sering, opsi yang diberikan platform kepada pengguna untuk menentukan privasi atau penghapusan mereka tidak menghapus semua jejak digital dari basis data internal. Meskipun beberapa data dapat dihapus secara teratur (seperti surel Yahoo), data lain dapat tetap bertahan secara online untuk waktu yang sangat lama.

Terkadang, data ini dikumpulkan oleh Internet Archive, sebuah perpustakaan digital online. Setelah diarsipkan, data tersebut menjadi bagian dari warisan budaya kolektif kita. Namun, tidak ada konsensus atau standar tentang bagaimana data ini harus diperlakukan.

Para pengguna harus diikusertakan untuk mempertimbangkan bagaimana data pada platform mereka dikumpulkan, disimpan, dipertahankan, disebarkan, atau dihapuskan, dan dalam konteks apa. Apa yang seharusnya terjadi pada data kita?

Dalam penelitian saya, saya mewawancarai para pengguna tentang pendapat mereka mengenai pengarsipan dan penghapusan data. Tanggapan yang diberikan sangat bervariasi: beberapa dari mereka kecewa ketika mereka menemukan blog mereka dari tahun 2000 telah lenyap, sementara yang lain merasa takut bahwa konten mereka masih ada hingga sekarang.

Perbedaan pendapat ini umumnya berada dalam konteks produksi seperti: ukuran asli audiens yang mereka lihat, kepekaan materi, dan apakah kontennya terdiri dari foto atau teks, menggunakan bahasa yang tidak jelas atau eksplisit, atau berisi tautan ke informasi yang dapat diidentifikasi seperti profil Facebook saat ini.

Perlindungan privasi

Para peneliti sering berdebat apakah konten buatan pengguna harus digunakan untuk penelitian, dan dalam kondisi apa konten tersebut dapat digunakan.

Di Kanada, Tri-Council Policy Statement guidelines (pedoman Pernyataan Kebijakan Tri-Dewan) untuk penelitian etis menegaskan bahwa informasi yang dapat diakses publik tidak memiliki ekspektasi privasi yang wajar. Namun, terdapat interpretasi yang menyertakan persyaratan khusus media sosial untuk penggunaan secara etis. Hanya saja, pembedaan konteks publik dan konteks privat tidak mudah dibuat dalam konteks digital.

Regulasi Perlindungan Data Umum (GDPR) Uni Eropa telah membantu mengubah standar penanganan data pribadi oleh perusahaan dan lainnya. Hal ini memperluas hak untuk mempertimbangkan pembatasan untuk mengakses, mengubah, menghapus, dan memindahkan data pribadi.

Pasal 17 dan 19 GDPR tentang hak untuk menghapus (hak untuk melupakan data) merupakan langkah signifikan menuju hak privasi digital individu. Jika dapat berujung pada cedera pribadi, bahaya, atau memberikan informasi yang tidak akurat, para anggota UE dapat menghapus jejak digital mereka secara hukum.

dua remaja perempuan yang memakai kacamata hitam mengambil swafoto
Kita sering membuat dan mengunggah konten tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. (Shutterstock)

Hak atas keamanan online

Namun, banyak yang berpendapat bahwa fokus pada privasi individu melalui informed consent (persetujuan yang diinformasikan) tidak ditempatkan dengan baik dalam konteks digital di mana privasi sering dialami secara kolektif. Model informed consent juga menegaskan harapan bahwa individu dapat mempertahankan batasan akan data mereka dan harus mampu mengantisipasi penggunaan data tersebut di masa mendatang.

Pengguna platform media sosial didorong untuk “mengambil alih” kehidupan digital mereka, sehingga penggunaan data diri sendiri dapat selalu diawasi dan jejak digital dapat dibatasi. Sebagian besar produksi data berada di luar kendali pengguna, hanya karena metadata dihasilkan dengan berpindah melalui ruang online.

Jika web akan menjadi ruang belajar, bermain, eksplorasi, dan koneksi, maka terus-menerus mengurangi risiko di masa depan dengan mengantisipasi bagaimana dan kapan informasi pribadi digunakan dapat secara aktif menghambat terwujudnya tujuan tersebut.


Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now