Menu Close
file d n m.

Apakah cerita Frankenstein terinspirasi dari letusan Gunung Tambora?

Frankenstein meninggalkan monster ciptaannya. Frontispiece to Mary Shelley's 1831 edition of Frankenstein

Kisah Frankenstein karya Mary Shelley menceritakan terciptanya monster oleh seorang ilmuwan obsesif. Sejak cerita ini dipublikasikan pada tahun 1816, kisah ini terus menjadi peringatan bagi para ilmuwan terkait bahaya dari coba-coba ilmiah dan ego akan teknologi yang berlebihan.

Salah satu cara yang dilakukan oleh komunitas ilmiah abad 21 untuk menyelamatkan muka mereka dari kritik keras Mary Shelley adalah menyebarkan sebuah mitos baru tentang Frankenstein; bahwa lahirnya cerita Frankenstein terinspirasi dari letusan gunung api Tambora di Indonesia.

Dewasa ini, letusan Tambora banyak diceritakan untuk menjadi contoh dampak dari krisis iklim.

Saya mengkaji mitos Tambora-Frankenstein berikut peran, tujuan, dan arti dari cerita ini dari banyak ahli dan jurnalis.

Menurut pandangan saya, terlalu jauh untuk menyalahkan letusan Tambora sebagai penyebab cuaca buruk dan kemiskinan di Eropa pada tahun 1816. Apalagi menghubungkan dengan terciptanya novel Frankenstein.

Juga, sebuah peristiwa pendinginan iklim jangka pendek karena letusan Tambora tidak bisa kita tempatkan sebagai analogi sesuai untuk pemanasan global, karena efek dari pemanasan global terjadi di seluruh bumi dalam skala kerusakan yang lebih substansial.

Mitos yang berkembang

Menurut mitos ini, debu dan abu yang dimuntahkan letusan Tamboran ke atmosfer pada tahun 1815 – yang berlokasi di pulau yang sekarang kita kenal sebagai Sumba – tersebar ke seluruh penjuru dunia, bahkan menghalau sinar matahari di Eropa di tahun 1816. Karena peristiwa tersebut, suhu udara turun, terjadi badai, udara membeku, banjir, dan secara umum menciptakan keadaan kelam di penjuru Eropa.

Cuaca ekstrem ini pada akhirnya juga menyebabkan gagal panen bahan makanan, yang menghasilkan kelaparan, kemiskinan, dan perpindahan penduduk.

Lukisan tentang letusan itu yang dibuat pada abad ke 19. Raden Saleh

Mary Shelley menjadi salah satu saksi peristiwa menyedihkan itu, saat ia sedang berkeliling Eropa bersama calon suaminya, seorang penyair radikal bernama Percy Bysshe Shelley. Mereka melakukan perjalanan menuju sebuah vila di Swiss milik seorang penyair Inggris, Lord Byron.

Tiga orang tersebut kemudian tidak bisa keluar rumah karena cuaca buruk yang ada di luar. Kesempatan tersebut menjadi sebuah waktu yang sangat baik bagi Marry Shelley untuk merefleksikan kejadian baru yang sedang ia alami dan menuangkannya dalam sebuah tulisan. Sambil menulis, Marry Shelley menggambarkan pemandangan memilukan serta penderitaan masyarakat ke dalam novel horor yang ia tulis.

Villa Lord Byron di Swiss (sebuah ukiran dari Edward Finden berdasarkan lukisan William Purser tahun 1832) British Library

Sumber inspirasi yang lebih tepat

Mitos Tambora-Frankenstein secara reguler muncul kembali ke ruang publik, terutama dari penulis ilmiah saat terjadi letusan gunung berapi atau adanya film Frankenstein baru di bioskop.

Contohnya ada di media-media berikut: CNN, The New York Times, New York Post, Forbes, The Paris Review, The Guardian, The Smithsonian Magazine, Slate, The Independent, The Daily Beast, Vice, juga di The Conversation. Peristiwa meletusnya gunung Taal di Filipina juga memicu munculnya kembali mitos ini di sana.

Tetapi, mitos ini dipenuhi banyak masalah. Pertama, jika pada tahun 1816 terjadi cuaca dengan hujan yang lebih deras, udara yang lebih dingin dan membekukan, dibandingkan tahun sebelumnya, saya tidak yakin bahwa letusan Tambora adalah penyebabnya.

Sebuah laporan dari Swiss, tempat Mary Shelley menulis kisah Frankenstein, meragukan tingkat dampak letusan Tambora di Eropa, dan memperkirakan bahwa dampak letusan itu hanya berpengaruh kecil dalam menciptakan peristiwa iklim ekstrem, atau kelaparan lebih luas, dan kemiskinan.

Penyebab kesengsaraan masyarakat pada masa-masa itu yang lebih masuk akal adalah Perang Napoleon (1803-1815), yang sudah banyak merugikan kegiatan perdagangan di Eropa serta menghancurkan lahan pertanian dan kota-kota.

Jika Mary Shelley mencoba menggambarkan akan kesengsaraan masyarakat serta migrasi yang terjadi dalam karakter monster yang ia ciptakan, maka perang yang saat itu terjadi adalah sumber inspirasi yang lebih tepat dibanding erupsi gunung berapi.

Bagaimanapun, letusan gunung Tambora telah menciptakan penderitaan masyarakat. Kemungkinan ada 50,000 orang lebih yang tewas di pulau Sumbawa, Lombok, Bali, dan Jawa, sebagian karena letusan di tahun 1815, sementara sebagian lain akibat kelaparan dan penyakit. Juga terdapat 50,000 orang di penjuru dunia yang kemungkinan besar mengalami bencana kelaparan dan penyakit, mengingat terhalangnya sinar matahari akibat letusan yang menyebabkan gagal panen.

Namun sebagai pembanding, patut diingat bahwa Perang Napoleon sudah memakan korban hingga 5 juta orang pada tahun 1815. Tidak lama setelahnya, Perang Jawa melawan Pemerintahan Hindia Belanda juga berujung pada meninggalnya 200.000 jiwa.

Di tengah penderitaan masyarakat yang terjadi pada masa hidup Mary Shelley, peristiwa perang layak ditempatkan sebagai sumber permasalahan lebih besar dibanding kejadian letusan gunung berapi.

Hari terakhir Perang Napoleon, 1815. The Battle of Waterloo by William Sadler (1839)
Hari Terakhir Perang Jawa, 1830. Nicolaas Pieneman's 1830 painting

Inspirasi-inspirasi lain?

Pelajaran tentang perubahan iklim yang berkaitan dengan mitos Frankenstein dan Tambora bisa seperti ini: Jika aktivitas manusia menyebabkan dampak yang sama seperti Tambora, yaitu dengan menyebar polutan ke atmosfer, maka kita akan menyebabkan kengerian seperti di tahun 1816: langit gelap, banjir dan badai, kegagalan panen, keterbatasan ekonomi, ditambah penderitaan masyarakat, kemiskinan, dan migrasi massal penduduk.

Namun, letusan Tambora hanya menghasilkan pendinginan iklim dalam waktu terbatas - sekitar satu tahun - di sebagian lokasi di dunia. Sebaliknya, krisis iklim akibat pemanasan global yang ada di depan kita memiliki efek permanen, dan mengarahkan suhu bumi ke arah yang lebih panas.

Ada pula perbedaan jelas di penyebab dua peristiwa ini (letusan gunung yang alami dengan polusi industri akibat aktivitas manusia), sehingga kita membutuhkan bentuk respon yang berbeda juga. Menyelesaikan masalah karena letusan gunung api, walau memiliki kepentingan yang sama, tidak sama dengan menyelesaikan masalah krisis iklim.

Di samping itu, terdapat lebih banyak dampak-dampak buruk dari krisis iklim sehingga kita tidak bisa menyamakan kejadian ini dengan peristiwa letusan gunung berapi.

Sebuah masalah lain dari mitos Tambora-Frankenstein adalah pengaburan terhadap inspirasi novel Frankenstein yang sebenarnya.

Kembali, Napoleon layak kita sebut – bersama kejadian Revolusi Perancis. Napoleon sangat menjunjung tinggi nilai ideal Revolusi Perancis dan menerjemahkannya dalam berbagai penaklukan militer. Senada dengan Napoleon, Dr Frankenstein juga mengamini nilai ideal Revolusi Ilmiah dan menuangkannya dalam bentuk proyek yang tak etis.

Napoleon’s 1815 return to France by Baron von Steuben (1818) Brown University Library

Frankenstein juga dipengaruhi oleh kebangkitan organisasi Luddite. Luddite merupakan kelompok pekerja industri tekstil Inggris. Pada masa itu mereka memberontak karena munculnya mesin-mesin, yang bisa mengancam pekerjaan dan menghantar mereka pada jurang kemiskinan.

Tahun 1811-1816, kaum Luddite merusak dan menghancurkan mesin-mesin tersebut. Sebagai respon, parlemen Inggris mengenalkan hukuman mati bagi tindakan anarkis tersebut. Lord Byron, sebelum berpindah ke Swiss, sangat mengkritik hukuman kejam itu dalam sebuah pidato di British House of Lords, lembaga perlemen di Inggris setingkat Senat di AS atau MPR di Indonesia.

Pemberontakan dan revolusi, serta pengalaman Marry Shelley dalam berbagai situasi seperti kelahiran, menjadi ibu, dan berkeluarga, juga menjadi bagian tak terpisahkan dari inspirasi kisah Frankenstein. Termasuk, pengalaman berkelana di penjuru Eropa, buku-buku yang dibaca selama tinggal di villa Lord Byron di Swiss, serta ketertarikan akan sains anak terkait listrik dalam binatang.

Mungkin Mary Shelley tidak membutuhkan Tambora sebagai inspirasi, namun jelas ia membutuhkan pengalaman-pengalaman di atas untuk melahirkan kisah Frankenstein.

Satu-satunya alasan mitos Tambora-Frankenstein bisa ada dan menjadi populer bukanlah karena peristiwa letusan tersebut yang menjadi inspirasi kisah Frankenstein. Mitos ini adalah sebuah usaha mengalihkan kritik keras Marry Shelly terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Stefanus Agustino Sitor menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now