Menu Close

Apakah veganisme hanya soal menghindari daging dan susu?

Veganisme bukan hanya tentang apa yang dimakan. Photographee.eu via Shutterstock

“Veganisme etis” telah diputuskan sebagai keyakinan filosofis di Inggris dalam pengadilan ketenagakerjaan.

Dalam sebuah kasus yang dibawa oleh seorang vegan, Jordi Casamitjana, yang mengklaim dia dipecat oleh League Against Cruel Sports karena veganisme etisnya, hakim Robin Postle memutuskan dia “sangat puas dalam menyatakan bahwa veganisme etis memang merupakan keyakinan filosofis”.

Putusan Postle tidak mempengaruhi hasil dari kasus itu sendiri – yang masih berlanjut – tapi itu berarti bahwa veganisme etis diakui sebagai karakteristik yang dilindungi sesuai dengan Undang-Undang Kesetaraan 2010, yang berarti mendiskriminasi seorang vegan etis adalah sebuah pelanggaran hukum di sana.

Kata “vegan” ditemukan pada 1944 di Leicester, Inggris, oleh Donald Watson dan calon istrinya, Dorothy Morgan. Pada tahun tersebut, Watson dan yang lainnya mendirikan The Vegan Society. Penelitian terhadap publikasi awal kelompok tersebut menunjukkan bahwa fokus utama mereka adalah untuk mengakhiri eksploitasi hewan.

Pelopor: Donald Watson, pendiri the Vegan Society pada 1944. The Vegan Society

Veganisme mendasarkan pada perspektif etis sejak kemunculannya. Pada 1946, Watson menulis: “Keberadaan manusia tidak bergantung pada tirani yang tak terbayangkan yang kini terjadi terhadap hewan.”

Pada 1950, The Vegan Society mengadopsi definisi resmi pertama veganisme, disepakati pada pertemuan umum tahunan mereka dan diterbitkan dalam Peraturan The Vegan Society, sebagai “doktrin bahwa manusia harus hidup tanpa mengeksploitasi hewan”.

Pada 1954 Leslie Cross, tokoh utama lain pada tahun-tahun awal kelompok itu, merenungkan bahwa “jarang ada sembilan kata-kata pendek yang mampu mengabadikan reformasi yang begitu masif, pencapaian ini akan membawa dunia baru dan manusia baru untuk menghuninya.”

Ketika veganisme dipahami dalam sudut pandang ini, putusan Postle jelas masuk akal. UU Kesetaraan 2010 dalam hukum Inggris menyatakan bahwa untuk menjadi keyakinan yang terlindungi, keyakinan itu harus benar-benar dipegang, lebih dari sekadar pendapat, dan berlaku untuk aspek penting dari kehidupan atau perilaku seseorang.

Namun, putusan tersebut menggunakan istilah “veganisme etis” daripada sekadar “veganisme” untuk menetapkan kondisi ini. Para vegan awal merasa tidak perlu menambahkan awalan etis pada definisi mereka tentang veganisme – jadi, mengapa menambahkannya?

Salah satu alasannya adalah veganisme sebagian besar telah mendapat perhatian publik dalam beberapa tahun terakhir dalam kaitannya dengan diet saja. Hanya sedikit perhatian media diberikan pada akar etisnya, atau potensi transformatif bagi individu dan masyarakat yang dijunjung oleh Cross.

Tentu saja, veganisme telah mengalami peningkatan tajam dalam kedudukan dan popularitasnya dalam beberapa tahun terakhir – jumlah vegan di Britania Raya empat kali lipat antara tahun 2014 dan 2019.

Banyak pasar swalayan dan restoran yang meluncurkan produk vegan – atau “berbasis nabati” dengan sangat cepat.

Peningkatan besar-besaran dalam jumlah (dan popularitas) produk tanpa bahan-bahan hewani, yang sering digambarkan sebagai “vegan”, tidak serta merta mencerminkan etika gerakan yang menciptakan kata tersebut.

‘Demam hijau’ baru

Hal ini sangat jelas terlihat pada “demam hijau” yang dilakukan oleh korporasi makanan cepat saji saat ini demi uang dari vegan. Burgen vegan baru KFC sedang dipromosikan dengan adaptasi dari slogan terkenalnya: “finger lickin’ vegan”.

Dalam promosi produk tersebut, juru bicara KFC Britania Raya dan Irlandia (UK) menyatakan bahwa:

Sang Kolonel menyambut semua orang di mejanya - sekarang vegan, flexitarian, dan penggemar ayam goreng dapat menikmati rasa Resep Asli kami bersama.

Di permukaan, “demam hijau” adalah tentang kesetaraan. Raksasa makanan cepat saji membuka pintu mereka untuk vegan dan menghentikan pengecualian vegan dari kebanyakan makanan umumnya.

Namun, melalui komodifikasi semacam ini, veganisme ditempatkan bersama jenis-jenis produk yang diperangi oleh para pendiri gerakan. Veganisme menjadi terkooptasi hanya sebagai pilihan menu.

Dalam situasi ini, orang yang mengikuti pola makan vegan atau nabati dapat menghabiskan uang mereka di gerai makanan cepat saji. Tentu ini memiliki efek ironis dari membuat eksploitasi hewan menjadi tersembunyi, dan pada saat yang sama versi veganisme komersial dan tidak etis muncul.

Para vegan etis mungkin melihat raksasa makanan cepat saji sebagai pelaku kontemporer “tirani yang tak terbayangkan” atas hewan yang ditulis oleh Watson pada 1946.

Komodifikasi veganisme baru-baru ini tampaknya membuat visi Cross tentang “dunia baru” tampak sangat jauh – sebuah konsekuensi bisnis yang masuk akal bagi perusahaan yang bergantung pada eksploitasi hewan untuk sebagian besar keuntungan mereka.

Fokus pada etika

Putusan Postle lebih penting dalam konteks ini. Putusan tersebut menyoroti bagaimana veganisme telah dipisahkan dari etika dalam penggunaan umum dan pemasaran “demam hijau”. Dengan demikian, ini adalah peringatan lain tentang bagaimana kapitalisme sangat mahir dalam mengkooptasi gerakan sosial yang menantang praktik kapitalisme.

Namun, putusan tersebut juga memberi gerakan vegan sebuah legitimasi arus utama untuk landasan etisnya yang belum dinikmati sebelumnya di Inggris.

Hal terpenting, ini berarti bahwa keberatan dalam perspektif etis terhadap eksploitasi hewan kini terpusat kembali pada diskusi kita tentang veganisme.

Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,400 academics and researchers from 4,911 institutions.

Register now