Menu Close

Bagaimana jurnalis perempuan memperjuangkan kesetaraan gender: antara jurnalisme dan advokasi

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Komite Perjuangan Perempuan (KPP) Yogyakarta melakukan aksi di kawasan Tugu Pal Putih, Yogyakarta. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/aww/16.

Perjuangan menghadapi ketidaksetaraan gender di ranah digital - yang disebut sebagai ‘aktivisme gender digital’ - adalah isu kontroversial di Indonesia.

Para aktivis, misalnya, menganggap tantangan ini disebabkan oleh meningkatnya paham konservatisme, yang melihat gerakan kesetaraan gender sebagai paham sekuler dan bertentangan dengan norma di Indonesia.

Berbagai serangan terhadap mahasiswa, aktivis, dan jurnalis yang terjadi di media sosial menggambarkan bagaimana aktivis pejuang kesetaraan gender selama ini masih menjadi target pelecehan. Banyak situs diretas, informasi pribadi jurnalis dibocorkan di internet, dan para aktivis diancam dengan kekerasan.

Organisasi hak asasi manusia (HAM) Amnesty Internasional pun menyatakan kekhawatirannya terhadap tren tersebut. Pada tahun ini, mereka melaporkan total 29 serangan hanya dari April hingga Juni.

Meski menghadapi banyak tantangan, penulis dan jurnalis perempuan Indonesia tetap berkomitmen untuk melaporkan berbagai isu terkait perjuangan terhadap kesetaraan gender.

Penelitian etnografi kami selama dua tahun mencoba memahami bagaimana mereka menggunakan platform daring untuk aktivisme gender, serta menghadapi tantangan maupun peluang dari media digital.

Kami mewawancarai 10 penulis, jurnalis, dan kontributor. Di antaranya adalah pendiri dua media - Magdalene dan Konde - yang fokus pada hak perempuan dan minoritas.

Riset kami menemukan bahwa mereka menerapkan beberapa strategi untuk terlibat dalam aktivisme gender digital.

Menjelajahi garis batas antara jurnalisme dan aktivisme

Riset terdahulu menggambarkan bagaimana perempuan menggunakan media sosial sebagai tempat untuk berkumpul, serta mengekspresikan dan mempertanyakan berbagai ide.

Studi tersebut mengatakan platform daring memfasilitasi gerakan sosial dan telah berperan besar dalam menyukseskan aktivisme gender dalam berbagai momen bersejarah.

Penelitian kami sendiri membantu memahami kreativitas perempuan dalam menggunakan teknologi digital untuk mendorong aktivisme gender di Indonesia - sebuah negera berkembang yang masih bergulat dengan banyak isu HAM.

Kami mendefinisikan aktivis sebagai mereka yang berjuang dalam mempengaruhi perdebatan yang ada. Ini berbeda dengan jurnalis yang bekerja menciptakan perdebatan publik yang berkualitas melalui informasi, data, dan sudut pandang baru.

Jurnalis perempuan yang kami wawancarai memiliki keinginan kuat untuk mengarahkan perubahan sosial melalui metode jurnalistik - termasuk meliput berbagai pihak yang termarjinalkan dan tertindas karena gender mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa garis di antara jurnalisme dan aktivisme seringkali beririsan dalam pekerjaan mereka.

Kisah dari dua partisipan penelitian kami menyoroti peran ganda ini.

1. Jurnalisme dengan misi perubahan ala Hera

Hera Diani adalah salah satu pendiri dan editor media daring Magdalene, yang mempublikasikan berbagai tulisan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.

Hera melihat bahwa peran utamanya adalah sebagai jurnalis. Magdalene sendiri dijalankan oleh jurnalis dan tidak beroperasi layaknya lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Namun, Hera menganggap pekerjaannya sebagai “jurnalisme dengan misi perubahan”. Ia bekerja dengan berbagai macam organisasi untuk melakukan kampanye hingga memulai diskusi terkait isu gender.

Salah satu bentuk kolaborasi Magdalane yang paling awal, misalnya, adalah survei daring terkait kekerasan seksual pada 2016. Survei ini bagian dari kampanye #MulaiBicara yang bertujuan memantik diskusi terkait Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) - yang saat ini tertahan di parlemen Indonesia.

Sejak 2018, Magdalene juga berkampanye via media sosial dengan nama #WTFMedia. Kampanye ini berupaya menyoroti media di Indonesia yang mempublikasikan artikel atau reportase yang misoginis, seksis, dan merendahkan perempuan - terutama kasus kekerasan terhadap perempuan maupun kelompok monoritas.

Hera mengatakan kampanye ini telah berdampak positif. Beberapa media, misalnya, meminta maaf dan menarik kembali reportase mereka, serta melayangkan sanksi kepada reporter dan editor mereka yang terlibat.

2. Luviana, jurnalis sekaligus aktivis

Sementara itu, Luviana merupakan seorang jurnalis dan sudah lama menjadi aktivis. Bersama rekan-rekan aktivisnya, dia mendirikan dan kemudian menjadi editor Konde pada tahun 2016 setelah mengalami diskriminasi gender di tempat kerjanya sebelumnya di sebuah stasiun TV nasional.

Konde juga merupakan media yang mempublikasikan konten terkait isu perempuan dan minoritas. Konde aktif menerbitkan tulisan terkait perjuangan buruh pabrik dan petani perempuan serta perempuan yang berada dalam kondisi kerja rentan yang jarang ditulis media. Artikel yang dipublikasikan Konde bertujuan untuk menjembatani publik, LSM, dan akademisi.

Selain itu, aktivisme Konde di berbagai platform digital di antaranya mengunggah artikel mereka di Facebook, seperti pada Kelompok Diskusi Feminis Jakarta (JFDG). Magdalane dan Konde juga berpartisipasi dalam demonstrasi tahunan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) yang diprakarsai oleh grup diskusi tersebut.

Hera saat menghadiri stan Magdalene di acara demonstrasi untuk Hari Perempuan Internasional 2019. Gavin Height

Acara terakhir yang dilakukan pada Maret 2020 lalu juga menampilkan spanduk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) - Luviana adalah anggota AJI - yang menyerukan pentingnya tempat kerja yang lebih setara dan aman supaya jurnalis perempuan dan anggota kelompok minoritas bisa terbebas dari diskriminasi.

Beberapa pelajaran dan strategi

Luviana dan Hera menyepakati bahwa bias gender dan diskriminasi merupakan tantangan utama bagi banyak perempuan dari generasi ke generasi, terutama dalam lingkungan media tradisional.

Platfrom mereka, Magdalane dan Konde, membahas berbagai isu tersebut dengan menyediakan media yang khusus menyoroti mereka yang termajinalkan oleh media arus utama. Kreativitas mereka dalam menggunakan kedua platform tersebut untuk mendorong isu kesetaraan gender membedakan mereka dari media daring lain.

Pengalaman mereka mencerminkan berbagai penemuan dalam riset-riset ilmu sosial yang menunjukkan bahwa platform media yang ingin menyuarakan suara minoritas dengan efektif harus meningkatkan kapasitas mereka dalam jurnalisme dan berbagai teknik bercerita di ruang digital.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now