Menu Close
Sebelum reformasi, hukuman penjara bagi pelaku penghinaan hanya diatur dalam [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). www.shutterstock.com

Bagaimana mereformasi UU ITE dan hukum pidana penghinaan yang lain di Indonesia

Artikel ini adalah bagian kedua dari rangkaian artikel yang membahas Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah satu dari tujuh aturan hukum Indonesia yang memberikan hukuman penjara pada pelaku penghinaan atau pencemaran nama baik.

Sebelum reformasi, hukuman penjara bagi pelaku penghinaan hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310-321.

Tapi setelah reformasi, penelitian lembaga riset hukum independen Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tahun 2016 menemukan setidaknya ada tujuh produk hukum yang memuat pasal-pasal pidana penghinaan, termasuk UU ITE.

Mereka adalah UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, UU No 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota, dan Bupati, dan UU ITE.

Pemerintah membuat aturan-aturan baru ini karena menganggap pasal yang terdapat dalam KUHP sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Namun, keberadaaan UU yang semakin banyak ini sangat berbahaya karena rentan disalahgunakan. Salah satunya untuk membungkam kritik terhadap penguasa.

Contoh penyalahgunaan hukum pidana penghinaan terjadi akhir-akhir ini ketika politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Dewi Tanjung melaporkan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Bawesdan karena dianggap merekayasa serangan yang menimpa dirinya sehingga satu matanya buta. Pelaporan ini menggunakan UU ITE.

Sudah dua tahun, kasus penyerangan Novel belum juga selesai. Lambatnya penanganan kasus Novel menjadi kritik buat Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang pencalonannya didukung oleh PDIP.

Pelaporan-pelaporan semacam ini yang akan mengancam kebebasan berekspresi rakyat. Dan korban terus berjatuhan. Kasus pidana penghinaan terkait UU ITE naik lebih dari tiga kali lipat di bawah pemerintahan Jokowi, dibanding pemerintahan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Namun penelitian ICJR menunjukkan bahwa ada terobosan-terobosan kunci dari pengadilan-pengadilan daerah yang memutus bebas terdakwa pasal penghinaan UU ITE.

Saya melihat terobosan-terobosan ini bisa dipelajari untuk mereformasi hukum pidana penghinaan di Indonesia, khususnya UU ITE.

Belajar dari pengadilan daerah

Penelitian kami menganalisis putusan-putusan bebas pada perkara pidana penghinaan terkait Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Pasal itu berbunyi bahwa individu yang menyebarkan informasi yang menghina atau mencemarkan nama baik orang lain secara online akan diancam hukum pidana paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Salah satunya adalah Pengadilan Negeri (PN) Bantul di Yogyakarta. Hakim di PN Bantul membebaskan Ervani Emy Handayani.

Ervani mengungkap kekesalannya di Facebook karena suaminya yang bekerja di toko perhiasan Joely Jogja Jewellery dipecat. Status Ervani di Facebook dianggap mencemarkan nama staf lain Dias “Ayas” Sarastuti. Ayas melaporkan Ervani karena dianggap mencemarkan nama baiknya.

Namun, majelis hakim membebaskan Ervani karena melihat bahwa ada unsur ketidaksengajaan dari Ervani, yang menulis statusnya ketika saat emosi. PN Bantul melihat ada ketidaktahuan dari pelaku bahwa keluh kesahnya dan kritiknya kemungkinan akan menyinggung orang lain.

Dalam kasus yang lain, PN Bima, Nusa Tenggara Barat membebaskan Khairudin M. Ali, Koordinator Bidang Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di Bima. Khairudin didakwa melanggar UU ITE atas dugaan pencemaran nama baik juga karena postingannya di Facebook.

Namun hakim memutus bebas Khairudin karena melihat tulisan-tulisannya di Facebook tidak pernah menyebut nama orang. Hakim berpendapat penyebutan nama yang dibarengi dengan tuduhan adalah unsur terpenting dalam pidana penghinaan, namun hal tersebut tidak ditemukan dalam kasus Khairudin.

Dari kedua putusan ini, setidaknya publik dan aparat bisa mengerti bahwa UU ITE bukanlah segalanya dan ada cara-cara untuk mengakalinya.

Perbanyak alasan pembenar

Tersangka kasus pidana penghinaan tidak harus maju ke pengadilan jika dia terbukti menghina dalam keadaan terpaksa dan demi kepentingan umum. Alasan pembenar ini diatur dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP.

Selain dua alasan pembenar itu, setiap kasus pidana penghinaan harus diproses secara hukum.

Padahal kasus pidana penghinaan spektrumnya sangat luas. Jadi sudah sepatutnya pasal pengecualian juga diperbanyak.

Belajar dari pengadilan-pengadilan daerah, sudah sepatutnya pemerintah juga mempertimbangkan keberadaan alasan pembenar yang lain.

Berbagai pengadilan di Indonesia sudah mengadopsi berbagai alasan pembenar lain, misalnya pernyataan yang disebabkan oleh emosi karena suatu keadaan seperti kasus Ervani.

Alasan pembenar lainnya bisa diberikan pada pernyataan yang diberikan rangka menjalankan perintah undang–undang atau pernyataan yang tidak menyerang perseorangan seperti kasus Khairudin di atas.

Dengan alasan-alasan pembenar lainnya, riset ICJR pada 2012 menunjukkan bahwa dari 205 kasus pidana penghinaan yang dituntut penjara, PN hanya mengabulkan 126 kasus saja.

Belajar dari pengadilan-pengadilan daerah, sudah sepatutnya pemerintah juga mempertimbangkan keberadaan alasan pembenar yang lain. Atau jika tidak, pemerintah bisa mempertimbangkan pemberian hukuman nonpenjara pada terdakwa kasus pidana penghinaan.

Menghapus pidana penjara

Pemberian vonis pidana penjara untuk terpidana hukum pidana penghinaan tidak hanya melukai kebebasan berekspresi warga tapi juga membebani keuangan negara.

Hasil riset ICJR di 2012 menunjukkan rata-rata hukuman penjara yang dijatuhkan di Indonesia adalah 112 hari atau 3,7 bulan.

Melihat kondisi ini, ICJR merekomendasikan pemberian hukuman non-penjara pada terdakwa yang dinyatakan bersalah. Pasal 14 A hingga 14 F KUHP menjelaskan bahwa pengadilan dapat menjatuhkan hukuman nonpenjara asal memenuhi beberapa syarat-syarat, misalnya lama hukuman hanya satu tahun.

Jumlah tahanan yang melebihi kapasitas penjara (overcrowding) juga menjadi alasan untuk mendorong pemberian hukuman nonpenjara. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan jumlah penjara yang overcrowding naik dari 400 pada November 2018 menjadi 420 November tahun ini.

Riset ICJR yang terbaru mengidentifikasi setidaknya ada empat jenis hukuman nonpenjara yang bisa diaplikasikan: pidana pengawasan (percobaan bersyarat), pidana denda, pidana kerja sosial, dan pidana angsuran. Pidana angsuran diberikan pada terdakwa dengan masa tahanan kurang dari lima tahun untuk mengangsur masa tahanannya.

Dengan mengaplikasikan bentuk pidana nonpenjara, negara bisa mendapat keuntungan dalam bentuk tidak menambah beban anggaran penghuni penjara dan pemasukan negara dari terpidana yang dapat terus bekerja dan membayar pajak.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now