Menu Close

Bagaimana perilaku FoMO bisa membuat investor rugi besar dari investasi saham sampai ke robot trading

antarafoto ihsg pekan kedua september ditutup menguat app.

Mengikuti perasaan Fear of Missing Out (FoMO) atau takut ketinggalan bisa menimbulkan kerugian, terutama jika perasaan ini yang mendorong pilihan-pilihan dalam kegiatan investasi.

Baru-baru ini misalnya kita menyaksikan berbagai fenomena investasi yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Mulai dari investor yang mengalami kerugian karena membeli saham perusahaan seperti Bukalapak yang baru go public, sampai ke masyarakat yang berpartisipasi dalam investasi ilegal robot trading.

FoMO adalah sebuah fenomena konsumsi kolektif, di mana orang mengikuti atau meniru aktivitas konsumsi orang di sekitarnya. Istilah ini dipopulerkan oleh penulis asal Amerika Serikat, Patrick McGinnis pada tahun 2004 melalui artikelnya di The Harbus.

Petugas Sat Reskrim Polres Bogor memperlihatkan barang bukti kejahatan investasi bodong saat rilis kasus di Polres Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (23/9/2021). Antara Foto

Didorong alasan yang tidak rasional

Riset yang dilakukan oleh sekelompok peneliti Kyung Hee University di Korea Selatan menyimpulkan ada beberapa faktor yang membentuk FoMO.

Beberapa faktor tersebut misalnya gengsi yang dapat ditunjukkan ke orang lain, rasa terhubung dengan kelompok mainstream, mendapat pujian dari orang lain, dan rasa takut akan terasing, diabaikan, dan tertinggal tren.

Teori seputar FoMO yang biasanya menjelaskan fenomena perilaku konsumsi juga dapat diterapkan dalam investasi. Investasi adalah aksi menunda konsumsi dan mengalokasikan uang agar dapat memperoleh pengembalian di masa depan.

FoMO merupakan sebuah wujud perilaku tidak rasional. Jika terus menerus dilakukan, maka investasi yang seharusnya produktif, dapat menjadi destruktif.

Belum lagi FoMo semakin merembas dikarenakan oleh derasnya arus informasi daring, khususnya melalui media sosial.

Misalnya saja, seorang investor pemula yang terjebak dalam produk robot trading yang ilegal karena terdorong banyaknya unggahan di media sosial yang memamerkan keuntungan, bahkan janji memperoleh untung melalui investasi tersebut.

Lantas apa yang perlu dilakukan?

Ada beberapa hal mendasar yang perlu dipahami dan dilatih agar kita bisa semakin bijaksana dalam keputusan keuangan pribadi:

1. Keuntungan tinggi maka risiko juga tinggi

Hal pertama yang seluruh investor harus ketahui ialah aset yang menawarkan potensi pengembalian tertinggi juga memiliki risiko tertinggi (High risk, high return). Prinsip ini telah populer sejak 1970an. Diversifikasi atau sebar portofolio investasi di berbagai instrumen untuk mengurangi risiko kerugian.

Konsekuen terhadap pilihan Anda, janganlah mengeluh jika mengalami kerugian karena berinvestasi di instrumen berisiko tinggi.

2. Apakah imbal hasil yang ditawarkan wajar?

Jika terlalu indah untuk dikatakan nyata, maka kemungkinan besar itu tidak nyata. Logika keuangan kita perlu diaktifkan dalam berinvestasi. Pertanyaannya ialah dari mana datangnya sumber keuntungan tersebut?

Misalnya sumber pendapatan utama bisnis perbankan ialah bunga atas pinjaman yang diberikan ke debitur, sedangkan sumber beban utamanya ialah bunga yang diberikan kepada nasabah. Jika bank mengenakan bunga pinjaman 9% dan memberikan nasabah bunga atas tabungan 3%, maka keuntungan yang dialami bank ialah 6%.

Contoh lain ialah produsen makanan seperti emiten ini yang memperoleh gross margin tahun 2020 sebesar 24,79%, yaitu keuntungan murni dari penjualan dan produksi produk mereka saja, belum termasuk operasional dan lainnya. Sebagai acuan lain, obligasi ritel seri ke-20 menawarkan bunga 4,95% per tahun, sedikit lebih tinggi dari deposito yang ada di sekitar 3% per tahun saat ini.

Banyak investasi bodong menawarkan imbal hasil yang bombastis, seperti robot trading yang menawarkan keuntungan 10% per bulan namun ternyata investasi tersebut hanya merupakan skema Ponzi.

Mengetahui figur seperti ini membantu kita dalam membuat penilaian kewajaran suatu investasi.

3. Bagaimana aspek legalitasnya?

Investor harus selalu mencari tahu apakah produk investasi yang digunakan resmi dan diizinkan oleh otoritas yang berwenang, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ataupun Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI).

Untuk itu para investor harus selalu melakukan background check atau pengecekan terhadap latar belakang perusahaan yang menawarkan investasi.

Contohnya saja kasus “penasihat keuangan” Jouska beberapa waktu lalu yang merugikan investor dan ternyata tidak memiliki izin yang diperlukan sebagai manajer investasi.

4. Waspada mereka yang berkepentingan

Mengikuti rekomendasi investasi tanpa berpikir sungguh nyaman. Namun, perlu dievaluasi secara baik-baik apa kepentingan dibalik rekomendasi ini.

Financial Influencer atau selebriti media sosial yang mempromosikan bisa jadi memperoleh uang untuk mempromosikan suatu produk investasi. Jika tidak, attention atau perhatian yang diberikan oleh follower, sebagai bentuk social media engagement juga merupakan kompensasi atau keuntungan bagi influencer.

Sederhananya, harga suatu saham ditentukan oleh kekuatan permintaan investor dan ketersediaan saham di pasar.

Jika seseorang secara eksplisit memberikan rekomendasi pembelian saham tertentu, maka kemungkinan besar ini juga akan menguntungkan dirinya. Jumlah saham di pasar terbatas. Jika semakin diminati khalayak, maka akan semakin meningkat pula harganya.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah benar rekomendasi ini berdasarkan analisis berbasis data atau datang dari motif insentif ataupun transaksional?

Menyadari fakta di lapangan, berinvestasi menggunakan nurani mungkin merupakan pilihan terbaik: tetap berhati-hati meski mengambil risiko, terus belajar meski telah mengalami keuntungan, dan jangan bertindak yang dapat merugikan pihak lain.

Kita hanya bisa mengendalikan apa yang bisa kita kendalikan, yaitu diri sendiri. Untuk itu kita terus meningkatkan literasi keuangan agar dapat mencapai ketangguhan finansial yang dicita-citakan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now