Menu Close
Ilustrasi ganja medis untuk pengobatan. jcomp/Freepik, CC BY

Banyak negara sudah legalkan ganja medis, saatnya Indonesia mengubah aturan

Pelarangan penggunaan ganja untuk keperluan medis kembali mendapat sorotan. Pada 12 Februari 2024, Pipit Sri Hartanti dan Supardi, orang tua dari anak yang mengalami Cerebral palsy, mengajukan gugatan uji materi Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya.

Gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut meminta agar penggunaan ganja medis dapat dilegalkan di Indonesia.

Pengajuan gugatan semacam ini bukanlah yang pertama kali. Pada 2020, tiga orang ibu meminta uji materi UU Narkotika agar ganja medis tak lagi dilarang. Alasannya, mereka sangat membutuhkan tanaman tersebut untuk anaknya yang menderita Cerebral palsy. MK menolak permohonan gugatan tersebut.

Padahal, tanaman ganja memang memiliki manfaat medis sehingga pembatasannya berdampak pada sebagian orang yang memiliki penyakit tertentu dan membutuhkannya untuk berobat.

Pelarangan ganja untuk keperluan medis kontradiktif dengan jaminan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, hidup dalam lingkungan yang aman dan sehat, serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945.

Larangan ini bahkan bertentangan dari salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh UU Narkotika itu sendiri, yaitu menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di berbagai negara, pandangan tentang ganja telah mulai bergeser, dari yang awalnya negatif menjadi terbuka terhadap manfaat medisnya. Negara-negara maju sudah mulai melegalkan ganja untuk penggunaan medis. Dengan demikian, sudah saatnya pemerintah Indonesia mengevaluasi kembali larangan ini.

Pergeseran penggunaan ganja: dari negatif jadi efektif

Penentang penggunaan ganja medis secara global saat ini dipengaruhi oleh kebijakan obat-obatan Amerika Serikat (AS) pada masa lalu. Pada 1910, AS mengesahkan UU Makanan dan Obat Murni yang menandai upaya pertama pengendalian federal terhadap ganja. UU tersebut merupakan respons atas banyaknya imigran Meksiko yang mulai bermigrasi ke AS dengan membawa serta tradisi merokok ganja.

Pemusnahan barang bukti narkoba jenis ganja di Kantor BNNP Jateng, Semarang, Jawa Tengah. Makna Zaezar/Antara Foto

Ketika kecemasan masyarakat terhadap imigrasi Meksiko meningkat, tuduhan hiperbolik mengenai narkotika mulai beredar.

Namun, dalam konteks global saat ini, perdebatan mengenai ganja medis sudah bergeser ke pemahaman bahwa ganja adalah salah satu obat yang efektif. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), beberapa temuan penelitian menunjukkan efek terapeutik ganja untuk mual dan muntah pada pasien yang menderita penyakit lanjut seperti kanker dan AIDS.

Institute of Medicine (1982) melakukan penelitian terhadap potensi obat ganja untuk penggunaan medis. Dalam penelitian ini, ganja dan zat turunannya diuji untuk mengetahui glaukoma, asma, kecemasan, depresi, perilaku alkoholik, sindrom yang timbul pada seseorang akibat tidak lagi mengkonsumsi opium (opiatwithdrawal), tumor, kejang, gangguan nafsu makan, dan muntah.

Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa ganja dan zat turunannya cukup menjanjikan dalam menyembuhkan beberapa dari gangguan kesehatan tersebut, misalnya pada glaukoma, yang mana mekanisme kerja ganja berbeda dengan mekanisme kerja obat-obatan biasa; pada asma, yang mana ganja memiliki kadar efektivitas yang sama dengan isoproterenol yang biasa digunakan sebagai obat asma; dan pada perasaan mual (sifat antiemetik), yang mana ganja dinilai lebih efektif jika dibandingkan dengan phenotiaxines.

Manfaat medis lainnya yang telah diakui dan divalidasi secara luas oleh beberapa penelitian ilmiah lainnya adalah kandungan Cannabidiol (CBD) dalam tanaman ganja untuk pengobatan penderita epilepsi. Studi menunjukkan bahwa pasien dengan sindrom Dravet yang menerima CBD mengalami penurunan frekuensi kejang.

Ganja juga telah digunakan dalam pengobatan tradisional di Indonesia sepanjang sejarah.Di Aceh, selama periode 1764-1794, ganja telah dipraktikkan selama bertahun-tahun dan lazim digunakan sebagai salah satu obat herbal di kalangan masyarakat. Fakta ini tidak banyak dibicarakan karena dianggap masih tabu.

Pada akhir abad ke-19, iklan ganja kerap kali muncul di beberapa surat kabar berbahasa Belanda di Hindia Belanda, yang sebagian besarnya mempromosikan rokok ganja sebagai obat untuk berbagai penyakit, mulai dari asma, batuk, penyakit tenggorokan, kesulitan bernapas, dan sulit tidur.

Banyak negara mulai mengubah aturan

Beberapa negara telah mengubah pendekatan mereka terhadap ganja medis. California, salah satu negara bagian di AS, memberlakukan aturan the Health and Safety Code (HSC) yang memberikan akses bagi individu yang mengalami penyakit serius untuk mendapatkan manfaat ganja medis dalam rangka pengobatan, dengan syarat adanya asesmen dan keputusan dari dokter yang menanganinya.

Penggunaan ganja untuk tujuan medis juga diatur di Belanda. Sejak Januari 2001, Belanda telah mendirikan Office for Medicinale Cannabis/OMC (Medical Marijuana Department) sebagai bagian dari Kementerian Kesehatan, Kesejahteraan, dan Olahraga, yang bertugas menyediakan ganja untuk tujuan pengobatan dan melakukan penelitian ilmiah.

Saat ini, setidaknya ada 20 negara yang sudah meregulasi penggunaan ganja medis. Sementara, beberapa negara lainnya juga tengah melakukan penelitian untuk mengetahui manfaat ganja bagi kesehatan masyarakat.

Petani memegang tanaman ganja yang ia tanam di kebunnya. jcomp/Freepik, CC BY

Di sisi lain, perlu ditekankan juga bahwa aturan dalam distribusi dan peredaran ganja medis perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Thailand, misalnya, bukan contoh yang ideal dalam hal pelegalan ganja. Peraturan ganja di Thailand belum komprehensif, sehingga menciptakan wilayah hukum yang abu-abu dengan pembatasan terbatas pada penggunaan, penjualan, dan produksi produk ganja.

Sejak Juni 2022, akibat kurangnya pembatasan dan kendala yang diterapkan pada ganja rekreasional, terdapat banyak sekali toko di Thailand yang menjual produk-produk yang mengandung ganja, mulai dari makanan dan minuman hingga kebersihan. Gulma dengan tingkat tetrahydrocannabinol (THC), kandungan lain ganja, hingga 35% dijual secara terbuka dan dimakan dalam ganja toko. Ini seratus kali lebih tinggi dari ambang batas THC legal.

Peluang perubahan aturan

Setelah mempertimbangkan semua informasi dari konteks tataran global, kita dapat menyimpulkan bahwa ganja menawarkan berbagai manfaat medis, sehingga sebaiknya tidak serta merta dilarang sepenuhnya.

Langkah pertama yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah melakukan penelitian mengenai penggunaan ganja medis di Indonesia. MK melalui putusannya pada 2020 pun telah mengamanatkan pemerintah untuk segera melakukan kajian mengenai hal ini. Hasil penelitian tersebut nantinya diharapkan bisa menjadi rujukan untuk merumuskan kebijakan.

Artinya, masih terbuka kemungkinan bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengarah pada pemberian akses ganja untuk keperluan medis kepada orang-orang yang membutuhkannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now