Menu Close
Foto udara Tim SAR gabungan bersama relawan dan warga membersihkan endapan lumpur saat pencarian korban akibat banjir bandang di Bulukerto, Kota Batu, Jawa Timur. Zabur Karuru/Antara

Bencana di Batu: Bagaimana perubahan iklim dan kerusakan kawasan hulu sungai memperparah risiko banjir bandang?

Pada awal November 2021, berbagai platform media sosial diramaikan dengan konten banjir bandang yang menerjang lima desa di Kota Batu dan sebagian wilayah di Kota Malang, Jawa Timur. Bencana tersebut merusak bangunan, hewan ternak, dan juga menimbulkan korban jiwa.

Terdapat dua faktor yang berkontribusi pada terjadinya banjir bandang, yaitu faktor meteorologi dan hidrologi. Dua elemen kunci dalam faktor meteorologi adalah intensitas hujan (volume hujan tiap satuan waktu) dan durasi. Sedangkan faktor hidrologi terkait dengan topografi (kemiringan lahan), kondisi tanah, dan tutupan lahan.

Identifikasi dua faktor ini sangat penting dalam proses perumusan solusi untuk meredam risiko terjadinya banjir bandang yang amat merusak. Sebab, seiring iklim yang berubah, bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, angin puting beliung, kebakaran lahan dan hutan diperkirakan akan semakin sering terjadi.

Anomali iklim meningkatkan risiko banjir bandang

Indonesia sebenarnya tidak asing dengan banjir bandang yang termasuk dalam bencana hidrometeorologi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, 98% bencana alam di Indonesia dalam satu dekade terakhir terkait dengan aspek meteorologi seperti curah hujan, kelembaban udara, temperatur, dan angin yang disertai kilat dan petir.

Anomali iklim global seperti fenomena La Nina yang diperkirakan terjadi pada periode Oktober 2021 hingga Februari 2022 mampu memicu peningkatan curah hujan antara 20-70%. Anomali ini – yang biasanya terjadi sekali setiap 2 dekade – diduga lebih sering terjadi akibat perubahan iklim.

Serupa dengan kejadian tahun lalu, La Nina akan meningkatkan curah hujan di daerah-daerah seperti Sumatra bagian selatan, Jawa, Bali, NTT, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi bagian selatan, dan berpotensi mengakibatkan banjir bandang.

Di Batu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melansir, saat banjir bandang menerjang, hujan kumulatif di Kota Batu sebesar 80,3 mm yang berlangsung selama dua jam. Jumlah ini satu setengah kali lipat lebih tinggi dari total curah hujan di kota Batu selama November 2019.

Kondisi daerah aliran sungai menjadi penentu

Ciri utama dari banjir bandang adalah meningkatnya debit sungai secara tiba-tiba dalam waktu yang relatif singkat. Kondisi ini berisiko cepat terjadi di kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) dengan bentuk lahan berbukit dan berlereng curam.

Adanya peristiwa lain seperti terbentuknya bendung alami (natural dam) akibat penumpukan berulang-ulang material (kayu, serasah, tanah, batu, dan sebagainya) juga menjadi faktor kunci terjadinya banjir bandang. Tumpukan material dapat disebabkan oleh longsor ataupun erosi di sepanjang lereng dan tebing sungai.

Seperti bom waktu, bendung alami ini dapat sewaktu-waktu runtuh jika sudah tidak mampu menahan debit air yang terakumulasi.

Jika kondisi ekologi bagian hulu DAS masih terjaga, maka potensi terjadinya banjir bandang seharusnya menjadi minimal. Idealnya, kawasan ini merupakan hutan alami ataupun sistem lain yang berbasis pepohonan.

Keberadaan pohon menjadi penting karena akar dan organisme tanah di sekitarnya menciptakan banyak rongga (ruang pori) di dalam tanah. Rongga berfungsi sebagai penyerap (infiltrasi) dan penampung air. Jika vegetasi pepohonan semakin berkurang, maka jumlah rongga akan terus menyusut.

Di atas permukaan tanah, tutupan tajuk/kanopi dan sisa-sisa daun (serasah) dari pohon turut berfungsi sebagai tameng yang melindungi pori-pori tanah dari hantaman butiran air saat hujan. Keberadaan serasah juga meningkatkan kekasaran permukaan tanah yang mampu memberikan waktu lebih lama bagi air hujan untuk meresap.

Pada lahan yang miring, keberadaan serasah juga mampu berfungsi sebagai penyaring air limpasan permukaan sehingga mampu mengurangi jumlah sedimen yang terbawa ke badan sungai.

Nah, lahan yang relatif terbuka tidak hanya mengurangi kemampuan tanah menyerap air, tapi juga menghilangkan kemampuan menahan sedimen ke sungai. Akibatnya, limpasan air hujan menyebabkan erosi dan meninggalkan endapan tanah dan material lainnya di dasar sungai.

Di Batu, menurut hasil pengamatan udara BNPB, terdapat sejumlah titik longsor di sepanjang alur sungai di bagian hulu DAS Brantas yang diduga menjadi penyebab terbentuknya bendung alami.

Berdasarkan kajian risiko bencana BNPB tahun 2015, sejumlah wilayah di Pulau Sumatra, Jawa, dan Sulawesi, rentan mengalami banjir bandang. Sebagian besar DAS di ketiga pulau tersebut termasuk dalam daftar 108 DAS kritis di Indonesia.

Kebakaran hutan turut menaikkan risiko banjir bandang

Kebakaran hutan berdampak negatif pada kondisi tanah seperti gangguan ekosistem organisme tanah, kerusakan struktur dan rongga tanah, mengurangi bahan organik tanah, serta membentuk tanah yang hidrofobik (menolak air).

Gangguan terhadap parameter-parameter tersebut berdampak pada rendahnya laju peresapan air, sehingga meningkatkan limpasan air permukaan dan erosi. Kapasitas sungai juga berkurang akibat endapan yang bertambah.

Selain itu, alih-alih berfungsi sebagai jangkar penahan tanah di lahan-lahan miring, akar dan tegakan pohon sisa kebakaran justru menambah beban bagi tanah dan meningkatkan resiko terjadinya longsor.

Terkait banjir bandang di Batu, sejumlah warga menyebutkan bendung alami yang menjadi faktor pemicu turut terbentuk akibat banyak pohon yang mati terbakar. Hal ini diduga terkait dengan kebakaran di Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo di Jawa Timur dua tahun silam. Namun, pengelola kawasan tersebut mengklaim saat ini kondisi vegetasi di Tahura masih baik.

Contoh kasus yang mirip pernah terjadi di Desa Sempol, Kecamatan Ijen, Kabupaten Bondowoso, Januari 2020 lalu. Curah hujan yang tinggi disertai kerusakan kawasan resapan air akibat kebakaran dan alih fungsi hutan di lereng Gunung Raung dan Gunung Suket di Jawa Timur diperkirakan menjadi penyebab banjir bandang tersebut.

Upaya yang harus dilakukan

Upaya mendesak dan sangat penting untuk dilakukan adalah penelusuran badan sungai di bagian hulu DAS, guna mengetahui penyebab banjir bandang dan mengidentifikasi potensi terbentuknya bendung alami baru.

Upaya penelusuran alur sungai telah dilakukan oleh perusahaan pelat merah Perum Jasa Tirta I pada 5 - 9 November lalu. Melalui upaya ini, pembersihan material-material penyumbat seperti kayu, ranting dan tanah di bendung alami tersebut dapat segera dilakukan.

Langkah berikutnya adalah penanaman pohon kembali pada area-area yang sebelumnya mengalami konversi ataupun degradasi di seluruh wilayah hulu DAS, baik di kawasan hutan lindung, hutan produksi yang dikelola perusahaan, ataupun lahan masyarakat.

Lokasi pemulihan hulu DAS yang paling menantang adalah di lahan pertanian. Pemilihan pohon yang tepat (secara ekologi dan ekonomi) akan sangat membantu dalam upaya penghijauan ini.

Untuk lahan yang curam, kombinasi pohon yang memiliki perakaran dalam (fungsi seperti jangkar) dan perakaran dangkal fungsi mencengkeram) untuk mengurangi potensi erosi dan longsor merupakan sebuah keharusan. Studi menyatakan, karakter akar pohon nangka, sengon, alpukat, maupun kopi memiliki kedua fungsi tersebut.

Dalam praktiknya, pohon-pohon tersebut banyak dikombinasikan dengan tanaman budi daya pertanian lainnya dalam bentuk sistem agroforestry (wanatani) yang menguntungkan petani sekaligus mencegah perambahan hutan. Pemberlakuan insentif berupa imbal jasa lingkungan bagi petani yang berhasil mengurangi laju erosi dan potensi longsor di lahan pertaniannya juga penting untuk dipertimbangkan.

Langkah lainnya, pemerintah harus menerapkan kebijakan tata ruang yang ketat untuk melarang pemanfaatan lahan yang memicu kerusakan hulu DAS. Proses penyusunannya harus melibatkan masyarakat secara aktif.

Upaya pemulihan fungsi resapan air DAS tidak instan. Butuh waktu hingga puluhan tahun agar hasilnya dapat dirasakan. Karena itu, konsistensi dan komitmen kuat dari semua pihak yang berkepentingan diperlukan untuk melestarikan alam sekaligus mencegah terjadinya banjir bandang.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now