Menu Close
Presiden terpilih periode 2024-2029 sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kedua kanan) dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (kanan) berangkulan usai pertemuan di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (25/4/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

Cek Fakta: Benarkah hak angket sudah tidak relevan lagi setelah MK mengeluarkan putusan hasil Pemilu?

Progres perjalanan waktu sejujurnya membuat hak angket sudah tidak up to date lagi. Satu proses perjalanan minute by minute, jam by jam, waktu ke waktu, hari ke hari, saya ini mengira esensi dari pada keberadaan hak angket sudah jauh dari pada harapan kita bersama.

Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, saat menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) kepada awak media di Nasdem Tower, Jakarta, pada 22 April 2024.

Surya Paloh menyampaikan bahwa harapan soal hak angket yang sempat digulirkan, sudah padam, karena MK telah memutus perkara hasil Pemilu 2024 dan intinya menegaskan bahwa kemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sah secara hukum.

Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (kiri) saat bertemu dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto (kanan). Aditya Pradana Putra/Antara Foto

Untuk memeriksa kebenaran pernyataan Surya Paloh tersebut, The Conversation Indonesia menghubungi Jamaludin Ghafur, dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Pernyataan tersebut tidak benar

Menurut Jamaludin, pernyataan bahwa hak angket DPR pascapembacaan putusan MK tentang perselisihan hasil pemilu sudah tidak lagi relevan, tidak benar. Sebab, masing-masing lembaga negara memiliki fungsi dan tugas yang berbeda.

Dalam konteks pemilu misalnya, terdapat beberapa lembaga yang terlibat di dalamnya dalam menyelesaikan sengketa pemilu seperti Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang terdiri dari Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk menangani perkara tindak pidana pemilu, dan MK untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu.

Memang, muara akhir dari sengketa pemilu berada di MK, sehingga ketika MK selesai membacakan putusan dengan amar putusan menolak permohonan para pemohon terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), maka sejak saat itu pemenang pemilu sudah permanen atau definitif.

Namun, terkait pelanggaran hukum terutama yang melibatkan kekuasaan eksekutif—termasuk pelanggaran hukum pemilu—tidak hanya lembaga yudisial (pengadilan) saja yang berwenang memeriksa dan mengadili.

Dalam kondisi tertentu, pengawasan dapat pula dilakukan oleh DPR melalui sejumlah kewenangan yang ia miliki, termasuk hak angket—hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah.

Bukan untuk membatalkan hasil pemilu, tapi untuk mengungkap kecurangan

Salah satu yang dipersoalkan oleh pemohon 1 dan pemohon 2 dalam sengketa hasil pemilu di MK kemarin adalah soal dugaan adanya intervensi Presiden Joko “Jokowi” Widodo melalui kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan cara-cara melanggar hukum. Misalnya dengan pengerahan aparatur pemerintahan dan penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan elektoral paslon tersebut.

Walaupun lima hakim MK menyatakan dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum karena tidak ada bukti yang kuat dan meyakinkan, faktanya ada tiga hakim MK menyatakan pendapat berbeda (dissenting) yang justru berkeyakinan bahwa pengerahan aparatur pemerintahan dan penyalahgunaan bansos adalah terbukti sehingga memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang di beberapa daerah.

Artinya, putusan MK mengenai penyalahgunaan bansos dan netralitas aparatur pemerintahan masih diperdebatkan.

Oleh sebab itu, DPR dengan hak angketnya dapat menjadikan putusan MK—terutama pendapat hakim yang berbeda pendapat—tersebut sebagai pintu masuk untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai kebenaran atas dugaan intervensi presiden menyalahgunakan kewenangannya guna memenangkan paslon tertentu.

Jikalau hak angket DPR tersebut pada akhirnya menemukan bukti yang kuat adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh Jokowi dalam pelaksanaan pemilu kemarin, memang tidak akan membatalkan hasil Pilpres. Prabowo-Gibran tetap menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang sah sesuai putusan MK.

Namun, hasil angket DPR tersebut dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan Jokowi di tengah masa jabatannya dengan mekanisme pemakzulan (impeachment).

Termasuk, jika pelanggaran hukum presiden tersebut terbukti menguntungkan Prabowo-Gibran, maka sekalipun keduanya telah dilantik sebagai presiden-wakil presiden, dapat saja dimakzulkan juga oleh DPR dengan alasan kemenangannya dalam pilpres cacat secara hukum.

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,700 academics and researchers from 4,959 institutions.

Register now