Menu Close
Ilustrasi tindakan korupsi. Andrey_Popov/Shutterstock

Cek Fakta: benarkah jika suami tersandung korupsi itu karena belanja istrinya?

“Perempuannya baik, maka negaranya baik. Begitu sebaliknya. Ibu-ibu punya peran penting membangun negara. Gajinya (suami) Rp20 juta, belanjanya (istri) Rp50 juta. Terpaksa ngutip sana, ngutip sini. Ibu-ibu bertugas memajukan negara dan bangsa menjadi ibu dan istri yang baik”.

Mahfud MD, calon wakil presiden nomor urut 3, saat menghadiri acara Halaqoh Kebangsaan dan Pelantikan Majelis Dzikir Al Wasilah di Asrama Haji Padang, Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, 17 Desember 2023.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, yang juga calon wakil presiden Pemilu 2024, memberikan pemaparan saat acara Halaqoh dan Dialog Kebangsaan di Pondok Pesantren An Nur Ngrukem, Bantul, D.I Yogyakarta, Rabu 24 Januari 2024. Andreas Fitri Atmoko/Antara Foto

The Conversation Indonesia menghubungi Januari Pratama Nurratri Trisnaningtyas, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, dan Kanti Pertiwi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Indonesia, untuk menganalisis pendapat Mahfud MD tersebut.

Analisis 1: Penyebab korupsi bukan hanya tekanan ekonomi

Pernyataan Mahfud MD menunjukkan pemikiran yang masih terjebak dalam konsep ibuisme negara masa Orde Baru. Konsep ini berasumsi bahwa perempuan memiliki peran di belakang laki-laki.

Apalagi kemudian mengaitkan korupsi dengan faktor kebutuhan rumah tangga yang datang “hanya” dari perempuan, seolah memunculkan citra perempuan yang tidak berdikari dan bergantung sepenuhnya pada laki-laki. Padahal, penyebab korupsi bukan hanya datang dari faktor tekanan ekonomi, tapi juga dapat berasal dari faktor lainnya, seperti adanya kesempatan dan rasionalisasi.

Potensi korupsi pun tidak hanya berlaku bagi laki-laki. Banyak juga pejabat perempuan yang terjerat korupsi, terutama mereka yang memegang jabatan tinggi, meskipun jumlahnya memang tidak sebanyak kasus korupsi yang menjerat laki-laki. Contohnya Angelina Sondakh yang terjerat kasus pembangunan Wisma Atlet, Ratu Atut Chosiyah dalam perkara pengadaan alat kesehatan di Banten, dan Dewie Yasin Limpo dalam perkara proyek pembangkit listrik di Papua.

Namun, benar bahwa peran perempuan dalam pembangunan nasional memang sangat diperlukan, terutama dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM), percepatan ekonomi, hingga pelestarian lingkungan.

Peran pengasuhan yang sebagian besar masih dipegang perempuan menjadikan mereka tonggak perbaikan kualitas SDM Indonesia. Meski demikian, ini perlu diartikan bahwa perempuan memiliki peran penting yang setara dengan laki-laki, terutama dalam pertumbuhan ekonomi.

Hasil analisis 1

Klaim Mahfud bahwa jika suami tersandung korupsi itu karena istrinya tidak baik itu tidak tepat. Pernyataan tersebut justru memperkuat citra bahwa perempuan tidak bisa berdikari dan memosisikan perempuan sebagai inferior. Dan yang pasti, tidak semua korupsi dilakukan oleh laki-laki.

Analisis 2: terjebak konsep Ibuisme negara

Saya melakukan riset dengan kolega saya dari Universitas Surabaya, mengkaji lebih dari 500 artikel media yang membicarakan tentang potret perempuan dan korupsi di Indonesia. Menurut hasil riset kami tersebut, pemberitaan-pemberitaan korupsi kerap menggambarkan perempuan sebagai sosok yang materialistis.

Misalnya ketika ada politikus laki laki tersandung kasus korupsi, yang ditonjolkan adalah uang yang dia terima itu dipakai untuk apa. Jadi, perempuan selalu dipotret sebagai sumber masalah, bahwa dia yang menerima uang hasil korupsi, bahwa dia yang menggoda dan membuat suami-suami ini melakukan perbuatan kotor.

Potret tersebut tidak terlepas dari wacana ibuisme negara, konsep yang ditanamkan selama masa Orde Baru bahwa perempuan itu punya tugas utama sebagai pendamping suami dan pengasuh anak serta bertanggung jawab untuk urusan domestik. Ini merupakan Ibuisme negara yang gencar dipromosikan selama Orde Baru.

Pola pikir Ibuisme tersebut ternyata sampai sekarang masih berlanjut. Ketika ada isu-isu sosial, kita masing sering menyalahkan perempuan, entah disadari atau tidak tanpa mau melihat persoalan sosial itu secara lebih kompleks dan struktural.

Pernyataan Mahfud ini menunjukkan bahwa ia memandang perempuan sebagai moral guardian of the nation (penjaga moral bangsa), bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab membuat laki-laki berkelakuan baik. Dan pandangan tersebut sangat bias gender.

Hasil analisis 2

Pernyataan Mahfud itu tidak benar. Korupsi adalah sebuah fenomena yang sangat kompleks. Tidak bisa sesederhana menyebut bahwa perempuan harus mengingatkan laki-laki agar berbuat yang benar. Ini akan menjadi beban tersendiri buat perempuan.

Penyebab korupsi juga sangat kompleks, bisa jadi karena lingkungan sosialnya dan institusinya. Kalau kita selalu menyeret peran perempuan dalam kasus korupsi, ini artinya ada bias gender dalam cara berpikir Mahfud.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now