Menu Close
Expo pendidikan sains dan teknologi di Ciamis, Jawa Barat. Adeng Bustomi/Antara Foto

Cek Fakta: Jokowi klaim UU Cipta Kerja jadi faktor utama meningkatnya daya saing Indonesia. Benarkah demikian?

“Karena UU Ciptaker (Cipta Kerja) kita mengalami peningkatan 8 level. Di sisi efisiensi bisnis kita melihat ketersediaan ketenagakerjaan dengan jumlah dan scale yang memadai menyebabkan kita di level kedua. Serta efektivitas manajemen perusahaan ini urusan dunia usaha, juga masyarakat memberikan dukungan lewat perilaku dan budaya masyarakat terhadap daya saing tersebut.”

Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakannya dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, pada 24 Juni 2024.

Presiden Joko Hafidz Mubarak A/Antara Foto

Berdasarkan laporan Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Ranking 2024, peringkat daya saing Indonesia memang meningkat ke posisi 27 dari sebelumnya posisi 34. Jokowi meyakini bahwa peningkatan peringkat daya saing tersebut merupakan hasil dari diterapkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Sebab, menurutnya, kenaikan utama daya saing Indonesia ditopang oleh kestabilan kondisi ekonomi, dunia usaha dan pemerintahan.

The Conversation Indonesia berdiskusi dengan Nabiyla Risfa Izzati, Assistant Profesor bidang Hukum Ketenagakerjaan di Universitas Gadjah Mada yang juga tengah menempuh studi doktoralnya di Queen Mary University of London, Inggris, untuk menganalisis klaim Jokowi tersebut.

Tidak ada bukti UU Cipta Kerja menjadi faktor utama

Benar bahwa berdasarkan World Competitiveness Ranking, ada kenaikan cukup signifikan bagi Indonesia dari ranking 34 (2023) ke ranking 27 (2024). Namun, agak sulit untuk membuktikan bahwa UUCK adalah alasan dari kenaikan ini.

Pasalnya, terdapat banyak faktor yang memengaruhi competitiveness index. Faktor-faktor ini dapat dikelompokkan menjadi empat, yakni economic performance, government efficiency, business efficiency, dan infrastruktur.

Kalau Jokowi mengatakan bahwa UUCK menyumbang kenaikan di faktor government efficiency, mengapa indeks “business legislation” dan “societal framework” Indonesia menurut dokumen tersebut justru masih rendah, yakni di peringkat 42 untuk Business Legislation dan peringkat 39 untuk Societal Framework?

Faktor yang menyumbang peringkat/nilai tertinggi justru adalah “labor market”, yakni peringkat ke-2. Ini menunjukkan bahwa potensi pasar tenaga kerja di Indonesia memang sangat besar. Sayangnya, potensi pasar kerja ini dikhawatirkan justru tidak bisa perform dengan maksimal di tengah iklim UUCK yang cenderung tidak protektif terhadap pekerja, utamanya pekerja muda.

Nabiyla mengingatkan bahwa UUCK sudah banyak dikritik dalam konteks perlindungan pekerja. Sebagai contoh, UUCK secara tidak langsung telah memperbesar potensi pekerja untuk di-PHK secara sepihak.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat bahwa ada lebih dari 17 ribu pekerja yang di-PHK sejak UUCK disahkan, mayoritas diputus secara sepihak. PHK secara sepihak ini bisa terjadi karena adanya perubahan ketentuan terkait prosedur PHK dalam UUCK. Revisi Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dalam UUCK memungkinkan pengusaha untuk melakukan PHK hanya melalui pemberitahuan kepada pekerja/buruh.

Kemudian, batas waktu Pejanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dihapuskan, sehingga menyebabkan makin banyak pekerja yang harus bertahan dengan status kontrak. Formula baru untuk menentukan upah minimum juga berujung pada kenaikan upah buruh terendah sepanjang sejarah, yakni pada penentuan upah 2022.

Penting juga untuk disorot bahwa dalam laporan indeks tersebut, unemployment rate (tingkat pengangguran) kita cenderung tinggi. Ini patut dikhawatirkan, karena tingkat pengangguran bisa jadi akan makin tinggi pascaturbulensi ekonomi belakangan ini, dan juga kemudahan PHK yang ditawarkan oleh UUCK.

Dengan demikian, klaim Jokowi tersebut jangan sampai menjadi pembenaran dan pembelaan terhadap UUCK. Bagaimana pun juga UUCK terbukti berdampak negatif bagi para pekerja.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 186,100 academics and researchers from 4,986 institutions.

Register now