Menu Close

CEO perempuan menegosiasikan pesangon lebih baik daripada CEO laki-laki – tapi karena alasan yang salah

Ketika CEO perempuan menghadapi jalan yang lebih menantang dibanding rekan laki-lakinya. Mereka akan dinilai secara sepihak dan akan lebih mudah diberhentikan. (Shutterstock)

Selama 20 tahun terakhir, jumlah CEO perempuan di perusahaan-perusahaan di daftar S&P500 yang berisi perusahaan-perusahaan terbesar di Amerika Serikat meningkat lima kali lipat. Namun itu adalah statistik yang menyesatkan: di antara perusahaan-perusahaan terbuka besar, hanya enam persen dari posisi CEO tersebut diisi oleh perempuan.

Salah satu alasannya adalah banyak perempuan yang memiliki kualifikasi tidak tertarik untuk diangkat menjadi CEO. Sebuah survei menemukan bahwa 64 persen laki-laki ingin menempati posisi eksekutif sementara hanya 36% perempuan yang menginginkannya.

Mengapa tidak banyak perempuan yang menginginkannya? Beberapa pakar manajemen mengatakan kandidat CEO perempuan merasa persaingan yang ada tidak adil, dan mereka kemungkinan lebih besar diberhentikan dari posisinya dibandingkan kolega laki-laki mereka.

Sah-sah saja jika mereka merasa berada dalam posisi rentan. Menurut sebuah kajian terbaru, kemungkinan CEO perempuan diberhentikan 45% lebih tinggi daripada CEO laki-laki.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa laki-laki kerap diasumsikan berkompetensi di posisi pemimpin sementara kompetensi perempuan sebagai pemimpin justru dipertanyakan. Selain itu, CEO perempuan juga lebih sering disalahkan jika perusahaan mereka menghadapi masalah, dan lebih ditarget oleh “aktivis” pemegang saham – pemegang saham yang memanfaatkan kekuasaannya untuk menekan manajemen perusahaan bersangkutan.

Jalan yang lebih terjal

CEO perempuan menyadari bahwa mereka memiliki tantangan yang lebih sulit daripada CEO laki-laki. Hal ini terlihat saat jajaran direksi melakukan perekrutan untuk posisi eksekutif. Penelitian yang saya lakukan bersama Felice Klein (Boise State University) dan Cynthia Devers (Texas A&M University) mencari tahu apakah perjanjian pesangon yang dibuat sebelum masa kerja menunjukkan kekhawatiran yang lebih tinggi yang dihadapi calon CEO perempuan bahwa mereka lebih rentan diberhentikan.

Perjanjian pesangon menjabarkan jumlah uang yang dibayarkan kepada CEO jika dia diberhentikan, dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perjanjian tersebut digunakan sebagai jaminan bagi CEO atas risiko diberhentikan. Dengan demikian, perjanjian ini adalah alat ukur yang baik terhadap persepsi risiko pemberhentian.

Mengingat jelasnya isu kesenjangan upah antargender, banyak orang menduga perjanjian pesangon bagi CEO laki-laki bernilai lebih besar daripada bagi CEO perempuan. Namun kami menemukan bahwa, dalam hal ini, [kesenjangan yang terjadi bersifat terbalik](https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0149206319887421]. Calon CEO perempuan cenderung jauh lebih baik dalam menegosiasikan perjanjian pesangon dibandingkan calon CEO laki-laki, tapi karena alasan-alasan yang salah.


Read more: Can pay reporting help reduce the gender pay gap?


Kajian kami meneliti perjanjian pesangon antara perusahaan dan CEO yang baru dilantik. Semua 870 perjanjian yang kami teliti berasal dari CEO baru di perusahaan-perusahaan terbuka Amerika Serikat dari 2007 hingga 2014.

Kami menemukan bahwa CEO perempuan cenderung mendapat perjanjian pesangon yang lebih tinggi daripada CEO laki-laki. Rata-rata kontrak pembayaran pesangon bagi CEO perempuan yang baru diterima kerja sebesar US$6,6 juta sementara CEO laki-laki hanya sebesar US$4,2 juta. Setelah mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berdampak pada nilai tetap pembayaran pesangon, “kesenjangan gender” ini tetap besar.

CEO perempuan mendapatkan penilaian yang lebih ketat daripada kolega laki-laki, tapi mampu menegosiasikan pesangon lebih baik. (Shutterstock)

Jika Anda menduga perempuan cenderung lebih berhati-hati memimpin perusahaan terkemuka yang sedang bermasalah, Anda benar. Kesenjangan perjanjian pesangon lebih besar pada perusahaan-perusahaan dengan kinerja yang melemah atau di mana CEO sebelumnya diberhentikan sebelum kontraknya berakhir.

Melebarnya kesenjangan gender pada perusahaan-perusahaan tersebut disebabkan oleh lebih besarnya perjanjian pesangon bagi CEO perempuan; perjanjian pesangon bagi CEO laki-laki tidak banyak berbeda jika mereka ditempatkan di perusahaan-perusahaan yang mengalami masalah.

Lebih banyak perempuan, lebih sedikit risiko

Sisi positifnya, perempuan yang mempertimbangkan untuk mengambil posisi CEO lebih diyakinkan oleh keberadaan eksekutif perempuan lainnya. Kami menemukan kesenjangan dalam perjanjian pesangon cenderung lebih kecil di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sektor yang ada lebih banyak perempuan CEO atau setidaknya memiliki satu pejabat eksekutif wanita. Dalam kasus tersebut, mereka merasa risiko bias saat evaluasi kinerja mereka lebih rendah.

Semakin banyak perempuan di jajaran eksekutif meyakinkan calon CEO wanita bahwa semakin kecil risiko mereka akan diberhentikan. Christina Wocintechchat/Unsplash

Ada pesan baik bagi jajaran direksi perusahaan dan perempuan yang sedang mempertimbangkan posisi eksekutif senior.

Pesan bagi jajaran direksi adalah jika mereka benar-benar ingin menempatkan perempuan pada posisi eksekutif, mereka dapat menggunakan perjanjian pesangon sebagai alat rekrutmen sebagai kompensasi bagi perempuan atas tantangan yang pasti akan mereka hadapi.

Lingkungan kerja berperan kritis

Seperti temukan kajian kami, tidak cukup hanya memiliki calon CEO perempuan yang berkualifikasi – lingkungan perusahaan yang kinerja pejabat eksekutif perempuan akan dihargai juga berperan penting dalam meyakinkan mereka.

Bagi para perempuan, penelitian kami menunjukkan bahwa kalian memiliki daya tawar yang lebih besar saat proses negosiasi pekerjaan daripada yang kalian kira. Kami menemukan bahwa perempuan mampu mendapatkan jaminan pesangon yang lebih besar tanpa perlu mengorbankan upah – atau bonus berdasarkan insentif. Mereka mengidentifikasi adanya risiko tambahan dan mengharapkan adanya kompensasi yang sepadan.

Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa CEO perempuan baik untuk bisnis. Menurut satu kajian, perusahaan terbuka dengan CEO perempuan biasanya memiliki laba yang lebih besar dan menghasilkan kinerja indeks saham yang lebih baik daripada perusahaan yang dipimpin oleh laki-laki.

Sayangnya, bagi perempuan, kinerja tersebut tampaknya tidak membuat jabatan mereka lebih aman.

Bram Adimas Wasito menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now