Pandemi COVID-19 yang kini menyebabkan lebih dari 3 juta terinfeksi coronavirus di seluruh dunia memberikan dua pelajaran penting dan berharga soal kaitan antara riset kesehatan dan kebijakan publik.
Di tengah penularan virus yang begitu cepat, (1) kita membutuhkan pemimpin politik yang responsif dan percaya pada sains serta (2) kebijakan pemerintah perlu menarik publik untuk terlibat dalam upaya mengendalikan virus ini.
Di sebagian besar negara, belum ada tanda-tanda wabah ini mencapai puncaknya. Saat ini sepertiga kasus terjadi di Amerika Serikat. Walau mereka memiliki sistem kesehatan yang maju dan didukung oleh sains dan teknologi yang kuat serta anggaran yang besar negara super power itu kewalahan menghadapi serangan virus ini dengan indikasi makin banyaknya kasus positif dan meningkatnya jumlah kematian .
Kelemahan terbesar AS jatuh pada kepemimpinan Presiden Donald Trump yang cenderung anti-sains dan tidak responsif pada awal terjadinya wabah.
Dari pandemi COVID-19 ini kita belajar bahwa keberhasilan dan kegagalan menekan laju penularan virus ini, dari sisi jumlah orang yang terinfeksi dan jumlah kematian, tidak bergantung pada sistem politik negara. Saat menyerang, SARS-CoV-2 juga tidak melihat apakah sebuah negara memiliki pers yang bebas atau tidak. Variabel yang penting adalah kepemimpinan macam apa yang dikembangkan oleh para presiden dan para menteri kesehatan.
Negara non-demokrasi seperti Cina dan Singapura sejauh ini mampu mengendalikan penyebaran COVID dan memberikan perawatan yang relatif memadai bagi pasien yang terinfeksi parah sehingga jumlah kematiannya relatif kecil dibanding negara lain. Cina memiliki kasus positif sekitar 82.800 dengan kematian sekitar 4.600. Di Singapura, per 28 April dari kasus positif lebih 14.000, yang meninggal 14 orang.
Sebaliknya, di negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat, Italia, dan Spanyol, juga Indonesia, sampai sejauh ini gagal mengendalikan penularan virus dan jumlah kematian juga meningkat. Amerika kini memiliki sekitar 980 ribu kasus dengan kematian sekitar 55 ribu orang. Di Spanyol ada 266 ribu kasus dengan kematian 23 ribu. Dan di Italia ada sekitar 197 ribu kasus dengan kematian sekitar 26.000 dan Indonesia per 27 April memiliki sekitar 740 kematian dari sekitar 8800 kasus terkonfirmasi di laboratorium.
Tapi ada juga negara demokrasi yang relatif berhasil mengendalikan COVID seperti Korea Selatan, Taiwan, Jerman, Australia, dan Selandia Baru.
Pemimpin negara-negara tersebut cukup responsif dengan mengambil kebijakan yang cepat dan tepat untuk memperlambat laju penularan dan mencegah kematian. Mereka percaya pada saran dari ahli kesehatan masyarakat dan berhasil mengkomunikasi kebijakanya kepada rakyatnya dengan bahasa yang jelas dan menggerakkan. Kebijakan mereka, dengan disertai rasa empati, persuasi dan ancaman denda, dipatuhi oleh rakyatnya.
Ini adalah rangkuman informasi dari pakar mengenai coronavirus.
The Conversation, sekelompok organisasi nirlaba, berkolaborasi dengan pelbagai akademisi dalam jaringan global kami. Bersama, kami memproduksi analisis dan pengetahuan berbasis bukti. Semua artikel bebas untuk dibaca dan ditayangkan ulang-tidak ada paywall. Jangan ketinggalan riset terbaru dengan membaca newsletter kami.
Ini pekan kedelapan, kami, para editor kesehatan jaringan global The Conversation, menyarikan ringkasan artikel yang telah ditulis para ahli terkait dengan COVID-19.
Selamatkan kelompok rentan dari ancaman infeksi
Coronavirus menular melalui percikan dari mulut dan hidung yang terinfeksi dan karena kontak dekat. Orang-orang yang dikurung baik di tahanan maupun penjara dan tinggal di rumah sempit dengan banyak penghuni sangat berisiko terinfeksi karena kesulitan melakukan jarak sosial 1-2 meter.
Lindungi para pengungsi dari infeksi di Australia. Pemerintah harus mencari solusi agar para tahanan pengungsi, kini berjumlah 1.400 orang, di tahanan Imigrasi Australia untuk mengurangi risiko terinfeksi corononavirus. Claire Loughnan dan koleganya dari University of Melbourne menunjukan sejumlah yang strategi bisa dilakukan oleh pemerintah mulai alternatif penahanan, mekanisme jarak sosial di tahanan, hingga skrinning orang yang ditahan dan staf tahanan.
Lindungi pekerja migran di Kanada. Sekitar 60 ribu pekerja migran di Kanada yang bekerja di sektor pertanian tinggal di rumah-rumah kecil dengan banyak penghuni yang menyulitkan mereka untuk jaga jarak dan mereka juga punya masalah kesehatan mental. Tanpa mereka pasokan makanan akan terhenti di seluruh negeri. Tanya Basok dan Glynis George dari University of Windsor mengatakan pengaturan perumahan mereka harus dipikirkan ulang.
Lindungi orang lanjut usia dari penularan COVID. Di Afrika Selatan, orang lanjut usia memiliki peran penting dalam pengasuhan dan ekonomi sehingga jika mereka terinfeksi akan memiliki dampak berantai bagi keluarganya. Riset Alexandra Parker dan Julia de Kadt dari Gauteng City-Region Observatory di sebuah kota di negara itu menunjukkan karena mayoritas orang berusia 60 tahun adalah kepala rumah tangga, maka intervensi ekonomi dan sosial dari pemerintah harus cepat dan tepat sasaran.
Mengatasi masalah kesehatan mental
Isolasi mandiri, karantina wilayah, dan bekerja dari rumah selama berminggu-minggu akibat virus ini bisa berdampak kelelahan akut dan kesepian. Apalagi jika seseorang tinggal di rumah dengan keluarga kecil. Kita adalah makhluk sosial yang senang berkumpul dengan banyak orang baik untuk pekerjaan maupun sosial.
Atasi kecemasan dengan sikap optimistik. Walau angka COVID masih meningkat di berbagi belahan dunia termasuk di Inggris, kita telah mengetahui cara mengendalikannya dan mencegah penularan berdampak mematikan di kelompok rentan. Profesor Biologi Ian Boyd dari University of St Andrews menawarkan lima alasan mengapa kita perlu bersikap optimistik menghadapi pandemi saat ini.
Persiapan kota setelah pembatasan dicabut. Roger Patulny dan koleganya dari University of Wollongong dan University of Sydney mengajukan empat strategi untuk membangun kembali konektivitas sosial dan kesejahteraan emosional di kota-kota setelah pembatasan dicabut.
Ketimpangan akses tes dan kerentanan penyebaran virus
Walau coronavirus ini bisa menyerang semua kelompok sosial, kelompok miskin jauh lebih menderita sebab di negara-negara berkembang mereka kesulitan mengakses tes tersebut karena membayar. Karena itu pengetesan massal cepat berbasis antibodi seharusnya menjangkau semua orang yang berisiko terpapar virus, tanpa memandang kelas ekonomi.
Tes untuk semua di Indonesia. I Nyoman Sutarsa dari Australian National University dan Atin Prabandari dari Universitas Gadjah Mada menyatakan diskriminasi tes COVID, yang mengutamakan kelas menengah atas dan pejabat di Indonesia, harus diakhiri. Untuk meningkatkan efektivitas tes skala besar, pemerintah harus memastikan bahwa pelaksanaan tes bisa menyentuh semua lapisan masyarakat, dan bukan hanya untuk mereka yang memiliki uang.
Penduduk desa di bagian selatan Amerika Serikat makin rentan Di tengah rencana membuka kembali ekonomi Amerika, penduduk pedesaan yang pulang-pergi ke pekerjaan di kota dan pusat transportasi, makin rentan terpapar virus dan membawanya pulang ke populasi yang sudah berisiko. Anne Cafer dan Meagen Rosenthal dari University of Mississippi mengatakan dalam jangka pendek, negara-negara bagian di Selatan perlu meningkatkan pengujian mereka untuk kasus coronavirus, untuk mencegah penularan yang lebih besar.
Peran pemimpin politik
Presiden, perdana menteri dan menteri kesehatan punya peran besar untuk mengendalikan penyebaran COVID. Mereka punya kekuasaan, anggaran, daya paksa, dan polisi dan tentara untuk melaksanakan kebijakan perang melawan coronavirus.
Terus bersiap menghadapi infeksi kluster baru di Selandia Baru. Setelah empat minggu lockdown paling ketat di dunia, Selandia Baru kini mencatatkan jumlah orang yang pulih dari COVID lebih banyak dibanding infeksi baru. Tapi ancaman belum reda karena lockdown akan diperlonggar mulai 28 April. Arindam Basu dari University of Canterbury mengatakan pintu masuk dari luar negeri akan tetap ditutup dan kombinasi pengujian dan pelacakan kontak akan ditingkatkan untuk membasmi penyebaran COVID-19.
Langkah respons pemerintah Equador. Dibanding Brasil dan Venezuela, Ekuador lebih proaktif dalam merespons epidemi coronavirus. Dennis Altman dari La Trobe University dan Juan Carlos Valarezo dari Pontifical Catholic University of Ecuador menyatakan sebagian besar pemimpin Amerika Latin telah mengambil tindakan tegas: kebijakan perintah tetap tinggal di rumah merupakan satu-satunya cara untuk menghindari keruntuhan sistem kesehatan mereka yang rapuh dan kekurangan dana.
Sepanjang obat dan vaksinnya belum ditemukan, secara makro pengendalian COVID-19 akan bergantung pada pemimpin politik membuat kebijakan yang berbasis bukti dan kemampuan mereka membangun kepercayaan publik.