Menu Close
Lampu kamar di kamar-kamar hotel di Jakarta dinyalakan membentuk bentuk hati sebagai lambang dukungan dan cinta untuk pekerja medis yang berjuang di garis depan melawan COVID-19, 25 April 2020. Rifqi Riyanto/INA Photo Agency/Sipa USA/AAP

Coronavirus mingguan: Percayalah pada ahli kesehatan, rekatkan kerja sama pemerintah dan rakyat

Pandemi COVID-19 yang kini menyebabkan lebih dari 3 juta terinfeksi coronavirus di seluruh dunia memberikan dua pelajaran penting dan berharga soal kaitan antara riset kesehatan dan kebijakan publik.

Di tengah penularan virus yang begitu cepat, (1) kita membutuhkan pemimpin politik yang responsif dan percaya pada sains serta (2) kebijakan pemerintah perlu menarik publik untuk terlibat dalam upaya mengendalikan virus ini.

Di sebagian besar negara, belum ada tanda-tanda wabah ini mencapai puncaknya. Saat ini sepertiga kasus terjadi di Amerika Serikat. Walau mereka memiliki sistem kesehatan yang maju dan didukung oleh sains dan teknologi yang kuat serta anggaran yang besar negara super power itu kewalahan menghadapi serangan virus ini dengan indikasi makin banyaknya kasus positif dan meningkatnya jumlah kematian .

Kelemahan terbesar AS jatuh pada kepemimpinan Presiden Donald Trump yang cenderung anti-sains dan tidak responsif pada awal terjadinya wabah.

Dari pandemi COVID-19 ini kita belajar bahwa keberhasilan dan kegagalan menekan laju penularan virus ini, dari sisi jumlah orang yang terinfeksi dan jumlah kematian, tidak bergantung pada sistem politik negara. Saat menyerang, SARS-CoV-2 juga tidak melihat apakah sebuah negara memiliki pers yang bebas atau tidak. Variabel yang penting adalah kepemimpinan macam apa yang dikembangkan oleh para presiden dan para menteri kesehatan.

Negara non-demokrasi seperti Cina dan Singapura sejauh ini mampu mengendalikan penyebaran COVID dan memberikan perawatan yang relatif memadai bagi pasien yang terinfeksi parah sehingga jumlah kematiannya relatif kecil dibanding negara lain. Cina memiliki kasus positif sekitar 82.800 dengan kematian sekitar 4.600. Di Singapura, per 28 April dari kasus positif lebih 14.000, yang meninggal 14 orang.

Sebaliknya, di negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat, Italia, dan Spanyol, juga Indonesia, sampai sejauh ini gagal mengendalikan penularan virus dan jumlah kematian juga meningkat. Amerika kini memiliki sekitar 980 ribu kasus dengan kematian sekitar 55 ribu orang. Di Spanyol ada 266 ribu kasus dengan kematian 23 ribu. Dan di Italia ada sekitar 197 ribu kasus dengan kematian sekitar 26.000 dan Indonesia per 27 April memiliki sekitar 740 kematian dari sekitar 8800 kasus terkonfirmasi di laboratorium.

Tapi ada juga negara demokrasi yang relatif berhasil mengendalikan COVID seperti Korea Selatan, Taiwan, Jerman, Australia, dan Selandia Baru.

Pemimpin negara-negara tersebut cukup responsif dengan mengambil kebijakan yang cepat dan tepat untuk memperlambat laju penularan dan mencegah kematian. Mereka percaya pada saran dari ahli kesehatan masyarakat dan berhasil mengkomunikasi kebijakanya kepada rakyatnya dengan bahasa yang jelas dan menggerakkan. Kebijakan mereka, dengan disertai rasa empati, persuasi dan ancaman denda, dipatuhi oleh rakyatnya.


Ini adalah rangkuman informasi dari pakar mengenai coronavirus.
The Conversation, sekelompok organisasi nirlaba, berkolaborasi dengan pelbagai akademisi dalam jaringan global kami. Bersama, kami memproduksi analisis dan pengetahuan berbasis bukti. Semua artikel bebas untuk dibaca dan ditayangkan ulang-tidak ada paywall. Jangan ketinggalan riset terbaru dengan membaca newsletter kami.


Ini pekan kedelapan, kami, para editor kesehatan jaringan global The Conversation, menyarikan ringkasan artikel yang telah ditulis para ahli terkait dengan COVID-19.

Selamatkan kelompok rentan dari ancaman infeksi

Coronavirus menular melalui percikan dari mulut dan hidung yang terinfeksi dan karena kontak dekat. Orang-orang yang dikurung baik di tahanan maupun penjara dan tinggal di rumah sempit dengan banyak penghuni sangat berisiko terinfeksi karena kesulitan melakukan jarak sosial 1-2 meter.

Mengatasi masalah kesehatan mental

Isolasi mandiri, karantina wilayah, dan bekerja dari rumah selama berminggu-minggu akibat virus ini bisa berdampak kelelahan akut dan kesepian. Apalagi jika seseorang tinggal di rumah dengan keluarga kecil. Kita adalah makhluk sosial yang senang berkumpul dengan banyak orang baik untuk pekerjaan maupun sosial.

Ketimpangan akses tes dan kerentanan penyebaran virus

Walau coronavirus ini bisa menyerang semua kelompok sosial, kelompok miskin jauh lebih menderita sebab di negara-negara berkembang mereka kesulitan mengakses tes tersebut karena membayar. Karena itu pengetesan massal cepat berbasis antibodi seharusnya menjangkau semua orang yang berisiko terpapar virus, tanpa memandang kelas ekonomi.

Peran pemimpin politik

Presiden, perdana menteri dan menteri kesehatan punya peran besar untuk mengendalikan penyebaran COVID. Mereka punya kekuasaan, anggaran, daya paksa, dan polisi dan tentara untuk melaksanakan kebijakan perang melawan coronavirus.

  • Terus bersiap menghadapi infeksi kluster baru di Selandia Baru. Setelah empat minggu lockdown paling ketat di dunia, Selandia Baru kini mencatatkan jumlah orang yang pulih dari COVID lebih banyak dibanding infeksi baru. Tapi ancaman belum reda karena lockdown akan diperlonggar mulai 28 April. Arindam Basu dari University of Canterbury mengatakan pintu masuk dari luar negeri akan tetap ditutup dan kombinasi pengujian dan pelacakan kontak akan ditingkatkan untuk membasmi penyebaran COVID-19.

  • Langkah respons pemerintah Equador. Dibanding Brasil dan Venezuela, Ekuador lebih proaktif dalam merespons epidemi coronavirus. Dennis Altman dari La Trobe University dan Juan Carlos Valarezo dari Pontifical Catholic University of Ecuador menyatakan sebagian besar pemimpin Amerika Latin telah mengambil tindakan tegas: kebijakan perintah tetap tinggal di rumah merupakan satu-satunya cara untuk menghindari keruntuhan sistem kesehatan mereka yang rapuh dan kekurangan dana.

Sepanjang obat dan vaksinnya belum ditemukan, secara makro pengendalian COVID-19 akan bergantung pada pemimpin politik membuat kebijakan yang berbasis bukti dan kemampuan mereka membangun kepercayaan publik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now