Menu Close

‘Cuan’ berlipat agroforestri kakao: pulihnya lingkungan dan tambahan pendapatan petani

Sistem agroforestri (wanatani) kakao di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Danny Dwi Saputra, Author provided

Indonesia, bersama Pantai Gading dan Ghana, merupakan produsen kakao yang dominan di dunia. Ketiga negara tersebut menyumbang 70% pasokan biji kakao global, dengan permintaan yang terus meningkat rata-rata 3% per tahun sejak tahun 2008.

Di Indonensia, tren tersebut berkorelasi dengan perluasan lahan produksi, khususnya di kawasan sentra produksi utama seperti Sulawesi dan Sumatra. Selama 2010-2019, lebih dari 90% luasan lahan produksi kakao di Indonesia adalah milik petani kecil (smallholder), sementara sisanya berasal dari perkebunan negara dan swasta.

Sayangnya, perluasan lahan kerap merambah ke hutan-hutan. Komisi Eropa dalam laporannya tahun 2013 menyebutkan bahwa aktivitas produksi kakao antara tahun 1988-2007 menyumbang sekitar 9% dari keseluruhan deforestasi terkait produksi tanaman di Indonesia.

Deforestasi terkait produksi kakao dipicu beraneka persoalan, seperti dinamika harga biji kakao dan penurunan produktivitas lahan, terutama akibat tanaman yang tua serta pengelolaan lahan yang kurang tepat.

Perubahan iklim juga menjadi salah satu pemicu deforestasi, mengingat kakao adalah komoditas yang sensitif terhadap perubahan suhu udara dan kekeringan.

Ketiga faktor di atas memaksa petani untuk membuka lahan kakao baru dengan membabat hutan (deforestasi) yang pada akhirnya melahirkan lingkaran setan deforestasi-perubahan iklim.

Perkebunan kakao yang berbatasan langsung dengan hutan. Danny Dwi Saputra

Laju deforestasi terkait budidaya kakao bisa ditekan – bahkan dihentikan. Salah satunya dengan menjaga keberlangsungan produksi dengan melakukan regenerasi kakao yang tua dan menerapkan sistem wanatani (agroforestri).

Agroforestri adalah usaha budi daya yang mengkombinasikan elemen pertanian (termasuk di dalamnya perikanan dan peternakan) dengan elemen kehutanan (seperti pohon, semak, dan bambu) baik secara bersamaan maupun secara rotasi (sekuensial).

Selain berpotensi memberikan keuntungan ekonomi bagi petani, agroforestri juga bisa memperbaiki ekosistem yang rusak akibat deforestasi dan sistem perkebunan monokultur (sejenis).

Agroforestri kakao di Konawe: menguntungkan petani dan memperbaiki lingkungan

Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, merupakan salah satu sentra produksi kakao di Indonesia. Petani kakao di kawasan ini menerapkan agroforestri lahan kakao dengan buah-buahan (pisang, kelapa, durian, langsat, mangga, jambu mete, dan rambutan), kayu-kayuan (gamal, tembusu, jati, dan jabon), serta tanaman lain seperti nilam, cabai, dan lada.

Keberagaman pohon dalam sistem agroforestri menambah variasi sumber pendapatan bagi petani. Jika kakao gagal memberikan keuntungan finansial (misalnya akibat serangan hama dan penyakit atau harga komoditas yang anjlok), maka komoditas lainnya dapat menjadi sumber pendapatan alternatif. Manfaat ini tidak dimiliki oleh sistem perkebunan monokultur.

Tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi, pohon sebagai bagian integral sistem agroforestri mampu menyerap karbon dioksida serta menyimpannya dalam tegakan pohon (biomassa) dan di dalam tanah (bahan organik tanah).

Riset kami menunjukkan bahwa sistem agroforestri memiliki kapasitas penyerapan karbon sebesar 82 ton per hektare (ha). Angka tersebut 46% lebih tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur (56 ton per ha).

Agroforestri tergolong praktik pembentukan tegakan pohon (aforestasi) sehingga berpotensi dimasukkan dalam skema perdagangan karbon REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Skema ini memungkinkan petani mendapatkan tambahan dari perdagangan karbon.

Besarnya cadangan karbon juga didukung oleh tingginya diversitas pohon. Kami menjumpai setidaknya ada total 18 spesies pohon yang dibudidayakan pada berbagai tipe agroforestri kakao di Konawe, jumlah yang besar apabila dibandingkan dengan sistem monokultur (2 spesies). Tingginya keragaman jenis pohon dalam suatu lanskap umumnya akan diikuti oleh peningkatan keberagaman hewan yang tinggal di dalamnya.

Sebuah riset di Afrika Barat menyebutkan bahwa tingginya diversitas pohon pada sistem agroforestri kakao dapat meningkatkan diversitas dan populasi semut, lebah dan laba-laba yang merupakan musuh alami hama tanaman kakao.

Sistem agroforestri juga memiliki akumulasi serasah (sisa-sisa organik tanaman) 47% lebih banyak dibandingkan dengan sistem kakao monokultur. Keberadaan serasah di permukaan tanah sangatlah penting. Tidak hanya melindungi permukaan tanah dari erosi hujan, serasah juga menjadi sumber unsur hara bagi tanaman kakao.

Serasah yang telah terurai akan meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah. Hal ini secara langsung dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik beserta menekan potensi emisi gas rumah kaca.

Lapisan serasah melindungi permukaan tanah dari erosi, mensuplai unsur hara bagi tanaman, serta sumber makanan bagi organisme tanah. Danny Dwi Saputra

Melimpahnya serasah dalam sistem agroforestri akan memicu aktivitas organisme tanah (misalnya cacing tanah, rayap, dan semut). Aktivitas makro organisme tanah akan menciptakan ruang pori tanah yang akan memudahkan air hujan untuk meresap dalam tanah sehingga dapat mengurangi limpasan permukaan dan erosi.

Riset kami mengungkap bahwa agroforestri memiliki laju penyerapan air ke dalam tanah (infiltrasi) 23% lebih cepat dari sistem kakao monokultur dan tanaman semusim. Cepatnya laju resapan air akan meningkatkan kapasitas penyerapan dan penyediaan air tanah untuk pohon kakao terutama pada musim kemarau. Fungsi ini sangat penting untuk mendukung adaptasi perkebunan kakao terhadap perubahan iklim.

Sistem kakao monokultur (kiri) dan kakao agroforestri (kanan) di Konawe, Sulawesi Tenggara. Danny Dwi Saputra

Sejalan dengan penelitian kami, sebuah meta-analisis mengungkap bahwa meskipun produksi kakao di sistem agroforestri 25% lebih rendah dari sistem monokultur, namun produksi total sistem agroforestri (produksi kakao ditambah dengan produksi tanaman lainnya) mencapai 10 kali lebih besar. Manfaat ini berkontribusi pada ketahanan pangan dan diversifikasi pendapatan petani agroforestri.

Studi ini juga menyebutkan bahwa sistem agroforestri mampu menyimpan karbon 2,5 kali lebih tinggi dari sistem monokultur, serta menurunkan rata-rata suhu udara dan menjadi penyangga (buffer) dari suhu ekstrim. Akan tetapi, dalam studi ini tidak ditemukan perbaikan kualitas tanah yang signifikan dari penerapan sistem agroforestri.

Dampak-dampak positif dari penerapan sistem agroforestri berpotensi dapat menjaga produktivitas lahan dan mampu menjamin keberlangsungan produksi kakao petani. Dengan pendapatan yang terjamin, keinginan petani untuk membuka lahan kakao baru dengan merambah hutan dapat ditekan sehingga meminimalkan terjadinya lingkaran setan deforestasi-perubahan iklim.

Studi agroforestri masih perlu diperbanyak

Penelitian tentang manfaat sistem agroforestri saat ini masih terbatas pada wilayah-wilayah tertentu saja. Sedangkan, kesuksesan sistem agroforestri di wilayah tertentu tidak selalu dapat direplikasi di tempat lain.

Tantangannya tidak hanya yang bersifat praktis (misalnya penentuan pohon kombinasi apa yang sesuai dengan kondisi biofisik lahan, berapa jumlah dan jarak tanamnya), tapi juga terkait dengan kondisi kultural (kebiasaan petani setempat) dan kebijakan (dukungan konkret pemerintah dalam penerapan sistem agroforestri).

Karena itu, Indonesia masih memerlukan lebih banyak penelitian untuk memecahkan permasalahan dan tantangan penerapan agroforestri dibidang-bidang kajian tersebut. Harapannya, hasil riset dapat disosialisasikan untuk menambah minat petani dan memperkuat dukungan kebijakan dari pemerintah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now