Menu Close

Cuma formalitas: Riset temukan penghargaan lingkungan Nirwasita Tantra pemerintah hanya berdasarkan dokumen, bukan kenyataan

Protes masyarakat di kantor Gubernur Jawa Tengah menolak proyek tambang andesit di Wadas. (Wadas Melawan)

Raut muka Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, terlihat bahagia ketika menerima penghargaan tahunan Nirwasita Tantra atau Green Leadership Award (GLA) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta pada pertengahan 2022.

Nirwasita Tantra atau GLA adalah penghargaan kepada provinsi atau kabupaten kota yang dinilai berhasil menjaga keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam lewat inovasi kebijakan.

Penghargaan ini membingungkan. Sebab, Jawa Tengah memiliki konflik besar terkait pengelolaan lingkungan: masalah pabrik semen di Kendeng yang membahayakan kawasan karst. Ada juga proyek tambang andesit untuk pembangunan bendungan di Wadas, Purworejo, yang mengancam kehidupan warga setempat.

Riset terbaru kami yang terbit di Environmental Governance in Indonesia mencoba memeriksa proses penilaian dalam Penghargaan Nirwasita. Hasilnya, kami menemukan Kementerian Lingkungan hanya menilai kinerja lingkungan pemerintah daerah berdasarkan pendekatan administratif alias sebatas pemeriksaan dokumen.

Itulah mengapa daerah yang mempunyai persoalan lingkungan dan tata kelola SDA bisa mendapat penghargaan.

Memeriksa komponen penilaian Nirwasita Tantra

Kementerian Lingkungan menunjuk tim independen untuk menilai kinerja lingkungan daerah berdasarkan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (DIKPLHD). Penghargaan Nirwasita diberikan kepada daerah dengan ranking tertinggi.

Penghargaan Ganjar
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat menerima penghargaan Nirwasita Tantra dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022. (Humas Jawa Tengah)

DIKPLHD harus mencantumkan minimal tiga isu lingkungan prioritas. Kategori prioritas ini berdasarkan dua syarat: 1) berdampak signifikan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan kualitas lingkungan hidup, serta 2) mendapatkan perhatian publik yang luas dan perlu segera diselesaikan.

Pemilihan dan penyaringan isu ini harus melibatkan pemangku kepentingan terkait termasuk masyarakat.

Namun, karena penyusun DIKPLHD adalah pihak-pihak yang ditunjuk pemerintah daerah, tidak ada jaminan mereka bisa independen.

Inilah mengapa cukup sulit bagi kami mendapati analisis yang kritis mengenai persoalan lingkungan dalam DIKPLHD. Apalagi, dokumen tersebut akan menjadi dasar penilaian untuk mendapatkan penghargaan Nirwasita Tantra. Tentu pemerintah daerah menginginkan dokumen ini memuat penilaian positif.

Kami mencoba membandingkan DIKLPHD dengan penelitian kami di lapangan. Hasilnya, banyak perkara lingkungan yang kami rasa genting tapi tidak termuat dalam DIKPLHD.

DIKPLHD Banyuwangi, yang memenangkan Nirwasita Tantra 2020, tidak mencantumkan kasus kriminalisasi aktivis lingkungan dalam konflik tambang Tumpang Pitu pada 2019. Dokumen juga tak memuat persoalan kurangnya jumlah laboratorium untuk mengukur kerusakan lingkungan.

Absennya dua hal di atas amat disayangkan. Menurut kami, dua kasus tersebut berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat setempat dan menarik perhatian publik secara luas.

Kabupaten Bangka Tengah yang juga meraih Nirwasita Tantra, masih berkutat dengan persoalan tambang timah ilegal yang merusak 30 persen daratan maupun lautan di Bangka Belitung. Ini belum dihitung masalah ikutan lainnya seperti kesehatan, keselamatan, maupun pekerja anak.


Read more: Jatuh-bangun warga ‘pulau timah’ menolak tambang: berhasil di Belitung, kenapa gagal di Bangka?


Mengerdilkan isu lingkungan

Upaya Kementerian Lingkungan ini menandakan adanya fenomena pascapolitisasi lingkungan (post politicization) Indonesia.

Menurut pakar Politik Lingkungan dari University of Manchester, Eryk Swyngedouw, fenomena post-politicization terjadi ketika pemerintah terlalu mengandalkan pendekatan teknokratik ketimbang melihat persoalan sosial dan lingkungan sehari-hari.

Swyngedouw, yang mengenalkan istilah post-politicization lingkungan, melihat bahwa pendekatan teknis administratif yang hanya mengandalkan lalu lintas dokumen sebagai suatu pengelolaan lingkungan yang ‘normal’.

Wadas Melawan
Warga Wadas, Jawa Tengah, berkumpul untuk menolak tambang andesit yang membahayakan kehidupan mereka. (Wadas Melawan)

Padahal, pendekatan ini tidak bisa menangkap realita lingkungan yang rumit dan perubahan sosial-ekologis yang sarat konflik.

Perubahan lingkungan juga terkait dengan proses politik dan sangat dipengaruhi oleh tarik-ulur kepentingan pihak berkuasa. Misalnya, berbagai kajian yang memperlihatkan obral konsesi pertambangan, kehutanan maupun sumber daya alam lainnya berhubungan dengan pemilihan kepala daerah.

Sayangnya, informasi yang disajikan dalam DIKPLHD sebagai komponen penghargaan lingkungan cenderung non-politis.

Oleh karena itu, dokumen tersebut tidak bisa menggambarkan situasi lingkungan yang sesungguhnya dan tidak bisa menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengatasi persoalan lingkungan dan SDA.

Melemahkan demokrasi

Penilaian yang hanya berbasis dokumen membuat negara berjarak dari masyarakat. Jarak ini berisiko membuat tata kelola lingkungan dan sumber daya alam menjadi tidak inklusif karena tidak melibatkan masyarakat secara berarti.

Pengelolaan yang berjarak dan tak inklusif akan memicu berbagai protes dan konflik. Terbukti, organisasi nirlaba Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan kecenderungan konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia semakin meningkat.

Selain memicu konflik, penilaian kinerja lingkungan yang hanya formalitas ini tidak menangkap relasi kekuasaan yang timpang dalam tata kelola sumber daya alam.

Dalam gagasan post-politicization Swyngedouw, salah satu indikator ketimpangan adalah munculnya oligarchic policing (pemerintahan oligarkis) yang menguntungkan segelintir orang. Akibatnya, suara masyarakat sipil dalam proses kebijakan kian terpinggirkan.

Peminggiran bisa meluas ke banyak bentuk. Mulai dari hilangnya peran masyarakat sipil dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) akibat disahkannya UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja.

Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di Yogyakarta, Juli 2020. (Shutterstock)

Ada juga bentuk yang lebih ekstrem seperti kekerasan dan kriminalisasi pegiat lingkungan. Contohnya penangkapan aktivis lingkungan Budi Pego dalam kasus Tumpang Pitu di Banyuwangi.

Peminggiran suara masyarakat kemudian mempersempit pengawasan dan akuntabilitas keputusan politik. Berbagai persoalan di atas bermuara pada iklim demokrasi yang melemah.

Kebijakan oligarkis, jika diikuti pelemahan demokrasi, membuat pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam yang lestari menemui jalan buntu.

Bagaimana memperbaikinya?

Pemerintah pusat dan daerah perlu pembenahan besar-besaran dalam pengelolaan lingkungan serta pengawasannya. Penilaian yang hanya berlandaskan dokumen mesti diakhiri.

Untuk menilai kinerja daerah, pemerintah pusat memerlukan komponen penilaan lainnya. Kajian kami selama 2016-2019 di 12 wilayah di Indonesia mendapati ada setidaknya empat komponen yang harus dipertimbangkan dalam mengukur kapasitas pemerintah daerah: (1) perizinan, (2) keterbukaan akses informasi, (3) pelibatan publik, dan (4) pengelolaan dampak yang berkesesuaian.

Dalam hal mengatasi post-politicization lingkungan atas, komponen kedua dan ketiga sangat krusial untuk menghindari penilaian formalitas.

Pemerintah dapat memulai perubahan dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil yang progresif dan independen dalam proses asesmen. Beberapa contohnya seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), ataupun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang memiliki jaringan di seluruh Indonesia.

Penilaian independen bisa menciptakan hasil penilaian lingkungan dan sumber daya alam yang lebih mencerminkan kenyataan.

Selain itu, pelibatan publik secara berarti akan membuat tata kelola sosial ekologis lebih egaliter dan distribusi sumber daya alam yang lebih adil dan inklusif. Tata kelola lingkungan dan sumber daya alam yang demokratis pun lebih mudah tercapai.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now