Menu Close

Data Bicara: setidaknya 64 dosen, mahasiswa, dan individu lain jadi korban pelanggaran kebebasan akademik selama 2019-2022

(Amnesty International Indonesia), CC BY

Kebebasan akademik di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir bolak-balik menuai sorotan.

Pada tahun 2020, misalnya, seorang profesor hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapat ancaman teror saat menjadi pembicara di acara diskusi tentang mekanisme hukum pemakzulan presiden yang direncanakan Constitutional Law Society (CLS) UGM.

Setahun sebelumnya, pengurus pers mahasiswa Universitas Sumatra Utara (USU), yakni Suara USU, dibubarkan oleh kampus setelah mengunggah tulisan tentang pengalaman dan diskriminasi terhadap komunitas LGBTQ.

Belum lama ini, pada September 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mencekal peneliti konservasi University of Kent di Inggris, Erik Meijaard dan beberapa periset asing lain. Pencekalan terjadi selepas Meijaard menuliskan artikel di media The Jakarta Post yang mempertanyakan klaim pemerintah tentang kenaikan populasi orangutan.


Read more: Deportasi peneliti asing, pembubaran diskusi kampus: kuatnya narasi antisains pemerintahan Jokowi


Di luar insiden-insiden tersebut, Koalisi Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyebutkan adanya beragam kasus lain terkait penangkapan mahasiswa – misalnya yang terlibat demonstrasi anti-rasisme terhadap warga Papua atau kebijakan lainnya. Ada juga berbagai sanksi, gugatan, serta ancaman terhadap dosen yang memberikan testimoni ahli dalam persidangan hingga mengkritik atau menolak kebijakan kampus.

Baru-baru ini, misalnya, tujuh guru besar Universitas Hasanuddin mengaku mendapat hukuman dan diskriminasi dari pimpinan fakultas mereka karena menolak meluluskan mahasiswa S3 yang tak memenuhi syarat.

Organisasi hak asasi manusia (HAM), Amnesty International Indonesia menghimpun beberapa kasus dugaan pelanggaran terhadap kebebasan akademik dari 2019 hingga Mei 2022.

Data tersebut menemukan dalam tiga tahun terakhir terdapat setidaknya 20 kasus pelanggaran kebebasan akademik yang melibatkan setidaknya 64 korban.

Dari 64 orang yang tercatat, kelompok yang paling sering menjadi korban adalah mahasiswa (52 orang), disusul dosen (9 orang) dan jurnalis/aktivis (3 orang).

Di luar individu, empat lembaga kampus – termasuk akun media sosial pers mahasiswa dan badan eksekutif mahasiswa (BEM), serta akun Zoom kampus – juga menjadi korban pelanggaran kebebasan akademik dalam bentuk peretasan.

Berdasarkan data Amnesty, serangan digital atau peretasan memang menjadi bentuk pelanggaran kebebasan akademik yang paling umum. Modus ini telah muncul dalam setidaknya delapan kasus dan biasanya dilakukan oleh Orang Tidak Dikenal (OTK).

Selama 2019-2020, misalnya, sejumlah akademisi, mahasiswa, dan aktivis mengalami serangan digital. Akun media sosial dan WhatsApp mereka diretas. Ini diduga akibat kritik mereka terhadap revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja.

Selain serangan digital, ada beberapa bentuk lain pelanggaran kebebasan akademik terhadap dosen dan mahasiswa. Ini termasuk intimidasi, sanksi dari kampus, penganiayaan atau kekerasan, pelaporan ke polisi, penahanan, atau penangkapan – seperti melalui pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Banyak kasus tak tercatat: kebebasan akademik makin tergerus represi digital

Herlambang Wiratraman – dosen hukum tata negara UGM, anggota Dewan Penasihat KIKA, dan juga salah satu akademisi yang pernah jadi korban peretasan – mengatakan bahwa pelanggaran kebebasan akademik di Indonesia tak hanya meningkat tapi juga sedikit mengalami perubahan modus serangan.

Menurut kajian Herlambang, pada 2015-2016, kasus-kasus yang paling banyak terjadi berkaitan dengan 50 tahun peristiwa 1965, yakni terkait stigma komunis. Ada pembubaran diskusi, pelarangan izin, razia buku, sampai penyerangan terhadap penerbit.

Ia mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, pelanggaran kebebasan akademik kemudian semakin meningkat dan modusnya juga berkembang.

“Terkait kasus-kasus yang dilaporkan (oleh Amnesty), mengapa seperti itu karena paralel dengan melemahnya perlindungan kebebasan sipil. Begitu mudahnya serangan terjadi terhadap mereka yang kritis,” kata Herlambang.

“Kalau kita ikuti, ini paralel juga dengan pemanfaatan teknologi digital yang selama ini kontrol atau pertanggungjawabannya kosong,” katanya.

Selain kasus peretasan akademisi ketika masa Revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja, misalnya, ia juga menyebutkan munculnya serangan digital yang sistematis terhadap narasumber, moderator, panitia, akademisi, hingga orang tua mahasiswa ketika Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum UGM merencanakan diskusi tentang hukum pemakzulan presiden.


Read more: Ironi kebijakan #KampusMerdeka: ketika kampusnya merdeka tapi mahasiswanya tidak


Indeks Kebebasan Akademik (AFi) terbitan Friedrich-Alexander-Universität (FAU) dan V-Dem Institute mengafirmasi pandangan Herlambang.

Skor AFi untuk Indonesia, misalnya, turun dari 0,77 pada 2015 menjadi 0,65 pada 2021. Capaian ini menempatkan Indonesia pada 40% peringkat terbawah di antara negara-negara lain di dunia.

Meski demikian, Herlambang memperingatkan bahwa pendataan dari Amnesty baru menangkap sebagian potret pelanggaran kebebasan akademik saking banyaknya kasus.

Misalnya, ia menyebutkan beberapa kasus yang belum masuk dalam data tersebut. Di antaranya, peretasan terhadap epidemiolog Pandu Riono yang mengkritik kebijakan penanganan COVID dan serangan digital terhadap situs lembaga riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).

Ada pula berbagai kasus seputar peleburan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dianggap melemahkan otonomi para periset dan memuat nuansa politisasi.


Read more: Gabut di rumah, nuansa "LIPI-nisasi", hingga ancaman mati suri riset Indonesia: kisah para peneliti yang terombang-ambing setelah akuisisi BRIN


“Kita menangani kasus saking banyaknya [..] KIKA punya pengaduan, sepertinya dari hari ke hari ada saja. Dan periode 2019-2021 ada serangan-serangan yang memang kita harus mengalokasikan energi untuk misalnya mengawal secara lebih ketat,” kata Herlambang.

Ke depannya, Herlambang mengajak komunitas ilmuwan, serta lembaga riset dan perguruan tinggi di jaringan internasional untuk lebih peduli dengan pelanggaran kebebasan akademik yang menimpa mitra-mitra mereka di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Ia juga memperingatkan pentingnya menampung – bukan memusuhi – komunitas akademik demi perdebatan publik dan pembuatan kebijakan yang lebih berkualitas.

Menurut Herlambang, jika di negeri ini narasi yang dibangun selalu anti-sains dan diperparah dengan politik kepentingan kekuasaan, maka pemerintah dan masyarakat tidak akan pernah tahu bagaimana mengupayakan jalan keluar atas krisis ekologi, kemanusiaan, dan politik yang terjadi.

“Makin nggak peka, makin dangkal, dan makin berbahaya bagi masa depan republik.”


Read more: Dari pencekalan hingga deportasi ilmuwan: mengapa represi antisains Menteri Siti Nurbaya terus menguat


Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now