Menu Close

Dinasti politik: buruk untuk demokrasi dan kaderisasi partai

CC BY51.4 MB (download)

Diskusi mengenai politik dinasti menjadi topik yang ramai diperbincangkan. Ini bermula ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).


Read more: 3 kejanggalan putusan MK dan bagaimana lembaga peradilan ini gagal mempertahankan independensi


Isu ini menjadi semakin besar ketika calon presiden Prabowo Subianto memutuskan meminang Gibran Rakabuming Raka, Walikota Solo yang juga anak sulung Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presidennya dalam Pemilu 2024. Deklarasi ini dianggap sebagian masyarakat sebagai bentuk melanggengkan praktik dinasti politik di Indonesia.

Lantas, apa dampak dari praktik dinasti politik terhadap proses demokrasi yang sudah berjalan?


Read more: Terjebak dinasti politik: apa dampaknya dan bagaimana partai bisa lepas dari jerat ini?


Menanggapi isu ini, dalam episode SuarAkademia terbaru kami berdiskusi dengan Wawan Kurniawan, seorang peneliti di laboratorium psikologi politik dari Universitas Indonesia.

Wawan mengatakan sebenarnya praktik dinasti politik ini sudah berjalan lama di Indonesia. Wawan memberikan contoh praktik ini di beberapa partai politik, seperti Puan Maharani yang menjadi ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), keluarga Hary Tanoesodibjo di jajaran petinggi Partai Perindo, dan Agus Harimurti Yudhoyono yang kini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.

Menurut Wawan, praktik dinasti politik ini sering terjadi karena partai politik masih kerap beranggapan bahwa anggota mereka atau calon kader yang memiliki hubungan keluarga dengan politikus senior sudah membangun nama baik mereka sendiri dan lebih mudah diidentifikasi oleh masyarakat, sehingga dianggap sebagai suatu keuntungan untuk mendongkrak elektabilitas partai. Situasi ini akan berdampak terhadap proses kaderisasi partai, khususnya dalam merekrut anak muda yang tertarik dengan dunia politik.

Wawan juga berpendapat praktik dinasti politik ini juga akan memberikan dampak buruk jangka panjang. Sebagai contoh, kebijakan yang diambil oleh partai nantinya akan cenderung menguntungkan segelintir pihak di dalam lingkar dinasti sehingga aspirasi masyarakat lainnya akan sulit terdengar oleh penguasa. Ini semua akan berujung pada kemunduran demokrasi.

Simak episode selengkapnya di SuarAkademia - ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now