Menu Close

Diplomasi vaksin Indonesia perlu lebih strategis, bukan semata soal stok vaksin

Truk kontainer bersuhu dingin membawa vaksin COVID-19 Moderna asal Amerika Serikat ke Bio Farma di Bandung, Jawa Barat, pada Juli 2021. Novrian Arbi/Antara Foto

Selama pandemi, pemerintah Indonesia telah berupaya keras untuk memperoleh stok vaksin yang memadai. Hingga awal September ini, Indonesia telah menerima 220 juta stok vaksin yang berasal dari berbagai jalur kerja sama.

Kemampuan untuk mengamankan stok vaksin ini bisa kita lihat sebagai salah satu keberhasilan diplomasi Indonesia dan menunjukkan kinerja mumpuni diplomat kita pada masa pandemi.

Jika melihat pada ketersediaan vaksin semata, tentu saja penilaian ini tidak salah.

Namun, jika merujuk kepada pemaknaan yang lebih luas dari diplomasi, maka pemerintah perlu melakukan beberapa upaya agar Indonesia bisa berperan lebih jauh dalam tata kelola vaksin di dunia dan bidang lain dalam masalah kesehatan global.

Fokus pada vaksin

Aktivitas diplomasi yang berpusat pada vaksin terjadi dalam rangkaian perubahan atau refocusing dalam prioritas diplomasi Indonesia oleh Kementerian Luar Negeri pada masa pandemi.

Dari sebelumnya fokus pada lima aspek utama menjadi fokus pada tiga prioritas utama, yaitu perlindungan terhadap warga negara Indonesia, membantu pemerintah mengelola pandemi, dan terus berkontribusi bagi perdamaian dan stabilitas dunia.

Refocusing ini membuat Indonesia semakin aktif dalam diplomasi kesehatan global, dengan dua tujuan utama.

Untuk jangka pendek, tujuan diplomasi kesehatan adalah untuk menjamin ketersediaan alat-alat kesehatan, obat-obatan, dan vaksin. Dan untuk jangka panjang, fokusnya adalah memperkuat keamanan kesehatan (health security) dan kemandirian nasional.

Pada fase awal pandemi, diplomasi kesehatan fokus pada penyediaan alat-alat diagnostics dan therapeutics seperti ventilator, alat pelindung diri (APD) serta bahan baku obat-obatan.

Seiring dengan meningkatnya kemampuan Indonesia untuk memproduksi alat dan obat-obatan ini sendiri dan keberhasilan negara-negara lain untuk mulai memproduksi vaksin, fokus diplomasi kesehatan mulai bergeser pada menjamin ketersediaan vaksin, atau yang sering disebut sebagai diplomasi vaksin.

Diplomasi vaksin sendiri memiliki dua sisi. Pertama, diplomasi yang berkaitan dengan pemenuhan tujuan nasional atau kepentingan geopolitik.

Ini bisa kita lihat pada tindakan Cina yang dianggap menggunakan vaksin untuk memperluas pengaruh, Filipina yang menukar kesepakatan Visiting Forces Agrement dengan vaksin Amerika Serikat (AS), dan Suriah yang menukar tahanan perempuan Israel untuk mendapatkan vaksin produksi Rusia senilai 1,2 juta dolar (Rp 17 miliar).

Kedua, diplomasi yang menyangkut upaya kolektif untuk mengatasi masalah kesehatan global, seperti negosiasi regulasi kesehatan antarnegara.

Ukuran keberhasilan

Diplomasi vaksin adalah bagian dari diplomasi kesehatan global, dan kita tidak seharusnya menjadikan jumlah dosis vaksin yang kita terima sebagai ukuran keberhasilan utama.

Diplomasi kesehatan global melibatkan proses negosiasi multi-tingkatan dan multi-aktor yang membentuk dan mengelola lingkungan kebijakan global untuk tujuan kesehatan.

Pengelolaan ini bukan hanya berkaitan dengan kerja sama internasional pada isu kesehatan saja, tapi juga kerja sama bidang lain yang akan berdampak terhadap isu kesehatan global.

Contohnya adalah kebijakan ekonomi atau perdagangan yang mengatur rantai pasokan atau distribusi alat-alat kesehatan, maupun kebijakan terkait hak atas kekayaan intelektual (HaKI) yang bisa membatasi akses terhadap obat-obatan atau vaksin.

Hubungan antara HaKI dan ketimpangan akses obat sangat erat. Ini merupakan problem klasik tentang pertarungan hak paten melawan hak pasien (patent rights vs patient rights).

Problem ini juga muncul dalam skema kerja sama global terkait vaksin karena pemberian hak paten pada produsen justru bisa memperbesar ketimpangan distribusi vaksin secara global.

Kapasitas produksi yang mencakup penguasaan teknologi dan rantai pasokan juga menjadi masalah besar karena belum semua negara memiliki teknologi untuk memproduksi vaksinnya sendiri atau mengakses bahan-bahan mentahnya.

Warga antre berdesakan untuk melakukan vaksinasi di Kota Medan, Sumatra Utara, pada Agustus 2021. Fransisco Carolio/Antara Foto

Sebagai contoh, benua Afrika saat ini masih mengimpor hampir 99% stok vaksin rutinnya karena keterbatasan kapasitas teknologi dan sumber daya finansial.
Oleh karena itu, keberhasilan diplomasi vaksin seharusnya bukan hanya dilihat dari banyaknya jumlah vaksin yang berhasil Indonesia dapat. Namun juga dari kemampuan Indonesia untuk mempengaruhi tata kelola vaksin global dan bidang lain yang menyangkut kesehatan global secara umum.

Saat ini Indonesia adalah ketua bersama (co-chair) dari skema COVAX AMC EG yang berupaya menjamin ketersediaan vaksin bagi 92 negara berpenghasilan rendah dan menengah di dunia.

Sepintas, ini adalah inisiatif multilateral yang cukup menjanjikan. Sayangnya, ini hanya mengurangi problem terkait akses vaksin, namun tidak menyelesaikan isu lama terkait kesehatan seperti HaKI, rantai pasokan global, maupun teknologi produksi.


Read more: Bagaimana hak paten berpengaruh pada kesenjangan distribusi vaksin COVID-19


Mendorong diplomasi vaksin

Untuk pencapaian tujuan jangka panjang diplomasi kesehatan, Indonesia perlu melakukan beberapa hal berikut.

Pertama, menjamin ketersediaan vaksin di Indonesia adalah tujuan jangka pendek. Untuk tujuan jangka panjang, Indonesia perlu menguatkan diplomasi dan negosiasi terkait HaKI yang saat ini masih bergulir di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization atau WTO) .

Indonesia termasuk negara yang mendukung proposal India dan Afrika Selatan untuk penangguhan sementara sebagian hak paten yang berkaitan dengan COVID-19.

Indonesia bisa memperluas peran dengan memanfaatkan jalur bilateral dan regional untuk menggalang dukungan terkait ini. Indonesia juga memiliki modal yang bagus dengan posisi sentral di ASEAN dan tahun depan sebagai ketua di forum G20 - kelompok negara-negara dengan perekonomian besar di dunia.

Apalagi di dalam G20 ada beberapa negara maju yang hingga kini masih menolak proposal tersebut di WTO.

Kedua, Indonesia perlu melakukan diplomasi yang lebih integratif, yakni melibatkan berbagai pelaku untuk mendukung kemajuan di sektor lain.

Misal, melibatkan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam diplomasi yang mendorong masuknya investasi tambahan untuk memperkuat industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri, yang sebagian sudah bisa menggantikan produk alat kesehatan impor.

Investasi di industri ini juga sebaiknya mendorong transfer pengetahuan dan teknologi untuk tujuan kemandirian nasional.

Indonesia saat ini telah memiliki beberapa skema kerja sama untuk pengembangan bahan baku dan teknologi vaksin dengan negara lain, yang bisa dijadikan dasar untuk kerja sama jangka panjang.

Posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami pertumbuhan tinggi di bidang farmasi (pharmerging) juga memberikan keuntungan khusus. Karena itu, Indonesia perlu memanfaatkan momentum ini untuk mendorong skema sharing technology yang lebih adil.

Indonesia dapat bermitra dengan beberapa negara pharmerging lain, seperti Vietnam, Thailand, India, Afrika Selatan dan mungkin Cina, untuk mendorong reformasi industri obat-obatan yang lebih berkeadilan sosial secara global.

Apa pun fokus diplomasi Indonesia saat ini, amanat Undang-Undang Dasar kita tidak pernah berubah.

Perwujudan dari ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial harus tetap menjadi semangat dalam diplomasi vaksin kita.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now