Menu Close
Petugas menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada petugas PMI di Kota Tangerang, Banten.
Fauzan/Antara Foto

Bagaimana hak paten berpengaruh pada kesenjangan distribusi vaksin COVID-19

Awal bulan ini, Cina menyatakan dukungan pada lebih dari 100 negara yang mendesak Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization atau WTO) untuk menangguhkan hak paten terkait vaksin COVID-19. Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memberikan dukungan serupa.

Di luar AS, negara-negara industri Barat lainnya sejauh ini masih menolak desakan dari sebagian besar negara berkembang itu.

Dengan penangguhan hak paten, maka negara-negara bisa memproduksi sendiri vaksin-vaksin COVID-19 dengan lebih cepat – ini penting bagi negara-negara miskin. Pemegang paten dapat mengendalikan jumlah distribusi hingga siapa penerimanya; ini berpengaruh pada hak memperbanyak (copyright), desain industrial, paten, serta penyebaran informasi terkait.

Indonesia ikut mendukung desakan penangguhan ini, utamanya untuk membuat peraturan terkait hak intelektual perdagangan WTO menjadi lebih fleksibel. Polemik hak paten telah ikut menghambat distribusi vaksin COVID-19.

Kesenjangan dan kelangkaan

Jurang ilmu pengetahuan dan penguasaan hak atas kekayaan intelektual terkait vaksin antara negara maju dan negara miskin sangat lebar.

Warga negara-negara maju – yang jumlahnya hanya 16% dari populasi dunia telah mengamankan 70% dosis vaksin yang tersedia di pasaran.

Perbandingan ini semakin memprihatinkan jika disandingkan dengan laju penurunan pendapatan nasional di negara-negara kurang berkembang hingga 2022 yang mengurangi daya beli mereka terhadap vaksin.

Sementara itu, perusahaan farmasi berupaya mengamankan hak paten atas vaksin yang mereka produksi.

Hak paten ini menyebabkan pihak lain secara legal tidak dapat membuat vaksin dengan teknik dan bahan yang serupa selama sekitar 20 tahun ke depan.

Bisnis obat-obatan memang penuh risiko, sebuah obat baru butuh biaya sekitar 1 miliar pound sterling (sekitar Rp 19.9 triliun) dan makan waktu hingga 12 tahun dalam pengembangan sebelum bisa dipasarkan.

Lewat hak paten, sebuah perusahaan dapat memastikan menutup biaya riset dan pemasaran itu.

Saat terjadi kelangkaan vaksin di tingkat dunia, produsen berkilah mereka tidak dapat memenuhi permintaan karena kurangnya investasi untuk mengembangkan vaksin.

Klaim ini ganjil karena hingga pertengahan Maret 2021, terdapat 310 penelitian vaksin yang berjalan – 225 di antaranya dalam fase pra-klinis.

Hingga Februari, sebagian besar negara berkembang bergantung pada vaksin yang dikembangkan COVAX.

COVAX adalah sebuah inisiatif global yang dipimpin oleh antara lain Global Alliance for Vaccines and Immunization dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ada 190 negara (termasuk 92 negara miskin) yang bergabung dalam COVAX; namun mereka hanya sanggup menyediakan 4 miliar dolar AS (sekitar Rp 58 triliun) untuk pengadaan dan distribusi vaksin.

WHO memperkirakan masih butuh tambahan 6.8 miliar dolar lagi untuk memproduksi 2 miliar dosis vaksin pada akhir 2021.

Usulan penangguhan beberapa peraturan Aspek-aspek Kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan (Trade-Related Aspects of Intellectual Property atau TRIPS) disampaikan pertama kali oleh India dan Afrika Selatan kepada WTO Oktober tahun lalu.

Kedua negara itu mendesakkan usulan penangguhan hak paten vaksin COVID-19 sesuai pengalaman mereka.

Dalam menghadapi epidemi global HIV/AIDS, sebuah perusahaan farmasi India dapat memproduksi obat generik yang meringankan HIV/AIDS dengan harga sangat murah setelah sukses menekan perusahan multinasional pemegang paten pada awal 2000-an.

Tekanan yang sama juga membuat perusahaan-perusahaan farmasi di Afrika Selatan menangguhkan hak paten atas obat HIV/AIDS.


Read more: Fatwa haram tapi boleh: seperti ini proses produksi vaksin AstraZeneca sebenarnya


Monopoli paten vaksin

Organisasi kemanusiaan medis internasional independen Dokter Tanpa Batas (Médecins Sans Frontières atau MSF) telah menyoroti masalah monopoli hak paten vaksin COVID-19 dalam surat terbukanya kepada semua pemerintah dunia pada awal Maret.

MSF mendesak agar mereka melanjutkan proses negosiasi distribusi vaksin global di World Trade Organization (WTO).

Mereka juga menggarisbawahi bahwa perusahaan farmasi belum menunjukkan dukungan nyata untuk berbagi kepemilikan hak paten teknologi dan produk kesehatan terkait COVID-19.

Salah satu perusahaan produsen vaksin AstraZeneca telah berbagi paten vaksin COVID dengan perusahaan farmasi swasta, yaitu Serum Institute of India. AstraZeneca telah berkolaborasi dengan Jennings Institute dari Universitas Oxford, Inggris, untuk menghasilkan vaksin Oxford AstraZeneca.

Namun membagi paten itu tidak serta merta memperpendek rantai produksi dan memperluas akses vaksin.

Di tengah meroketnya kasus COVID-19 di India saat ini, seharusnya kesepakatan dengan AstraZeneca akan membantu percepatan vaksinasi. Namun sayangnya, kapasitas produksi vaksin India tak bisa secepat institusi lain di negara Barat, karena keterbatasan modal produksi dan anggaran negara.

Konsekuensi bekerja sama dengan AstraZeneca juga cukup berat; India juga menjadi bertanggung jawab memasok vaksin untuk negara lain hingga separuh kapasitas produksinya.

Tak hanya sampai di sana, kapasitas produksi vaksin India juga bergantung pada skema kerja sama publik dan swasta dengan Bill and Melinda Gates Foundation. Dana dari Gates Foundation disalurkan pada GAVI, aliansi inisiatif Gates Foundation sendiri, kemudian disalurkan pada Serum Institute of India.

Dari sini, pembagian paten AstraZeneca yang hanya untuk Serum Institute of India juga berpengaruh pada skala produksi, dan tuntutan untuk membantu menyuplai kepentingan global menjadi tak rasional.

Dari 20 pabrik vaksin di India, hanya dua yang mampu berproduksi karena masih bergantung subsidi negara.

Jadi meskipun India saat ini mengalami krisis peningkatan kasus dengan kematian terbesar COVID di dunia, hingga Mei 2020 persentase penduduk yang telah divaksin masih rendah (di bawah 10%).


Read more: Indonesia bisa hemat hingga Rp 1 triliun jika vaksinasi PCV pakai kemasan multi-dosis


“Pengabadian” paten

Tahun lalu, AstraZeneca diputus bersalah dengan dakwaan memainkan harga obat psikosis Seroquel melalui upaya perpanjangan masa berlaku hak paten.

Upaya “mengabadikan” hak paten atas obat ini bukan hal langka. Dengan sedikit perubahan, satu merk obat dapat dimodifikasi berulang-ulang sehingga memiliki paten baru terus-menerus. Dengan demikian, perusahaan dapat diuntungkan tanpa riset yang mahal.

Konsekuensi dari pengabadian paten adalah pengembangan industri farmasi secara global akan lebih banyak dikuasai swasta. Negara-negara miskin yang tidak dapat membayar lisensi produksi terkait paten tidak akan dapat memproduksi obat tersebut secara mandiri.

Padahal di konstitusi negara manapun di seluruh dunia, kemaslahatan warga merupakan tanggung jawab pemerintah. Pembangunan kemandirian negara dalam sektor farmasi terkorbankan.

Ini ironis karena riset industri farmasi mendapat keuntungan lewat tenaga ahli yang pendidikannya dibiayai oleh negara dan para pembayar pajak yang turut menyumbang biaya layanan kesehatan.

Kolaborasi Universitas Oxford dan AstraZeneca adalah contoh nyata paradoks ini. Ini terjadi di banyak industri farmasi di dunia.

Industri farmasi memang akan lebih berani memproduksi vaksin secara besar-besaran jika biayanya tertutupi oleh paten.

Namun, perlu ada upaya negosiasi global untuk membuat vaksin menjadi barang publik sehingga meningkatkan ajakan gotong royong untuk menemukan solusi kesehatan secara lebih luas.

Diskusi Dewan TRIPS WTO – yang telah terjadi setidaknya 8 kali sejak Oktober 2020 – memang belum mencapai kata sepakat. Di WTO, sebuah usulan baru bisa disetujui jika didukung oleh seluruh anggota yang berjumlah 164. Pertemuan Dewan TRIPS berikutnya direncanakan pada awal Juni.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now