Menu Close

Diterpa krisis, bisakah Sri Lanka memisahkan diri dari praktik masa lalu dan mencapai stabilitas ekonomi?

Protes anti pemerintah di Sri Lanka pada April 2022. AntonO/Wikimedia, CC BY-SA

Sri Lanka resmi melantik presiden dan perdana menteri baru minggu lalu. Namun, perubahan struktur kepemimpinan tampaknya belum bisa mengatasi kekacauan ekonomi di negara Asia Selatan yang tengah digoncang krisis tersebut.

Ranil Wickremesinghe dipilih oleh parlemen pada 20 Juli 2022 untuk menggantikan mantan Presiden Gotabaya Rajapaksa yang tengah mengasingkan diri. Sementara, Dinesh Gunawardena terpilih menjadi perdana menteri.

Keduanya mewarisi perekonomian yang tengah bergelut dengan rekor inflasi yang mencapai 59%, mata uang yang kehilangan hampir setengah dari nilainya sejak Maret 2022, dan kelangkaan pasokan kebutuhan sehari-hari seperti bahan makanan dan bahan bakar. Hampir seluruh aktivitas ekonomi di Sri Lanka terhenti.

Kondisi defisit yang sedang dialami pemerintah Sri Lanka begitu besar hingga negara tersebut tidak mampu membayar para pegawai negeri. Bank sentral pun sudah hampir kehabisan cadangan devisa yang dibutuhkan untuk membiayai impor dan membayar utang luar negeri.

Singkatnya, Sri Lanka sedang menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang memberikan tekanan yang begitu besar pada para pemimpin baru untuk bertindak cepat untuk mengembalikan stabilitas negara tersebut.

Sebagai seorang ekonom dan mantan staf di bank sentral Sri Lanka, saya melihat bahwa jalan Sri Lanka ke depan akan sulit. Negara ini harus memisahkan diri dari kebijakan dan praktik masa lalu yang membawa mereka ke masalah keuangan ini dan, secara bersamaan, memulai berbagai perbaikan untuk mengembalikan perekonomian ke jalur yang benar. Secara khusus, ada empat tantangan ekonomi yang harus dihadapi oleh pemerintah baru, yang kesemuanya saling berkaitan.

Mengatasi kebutuhan mendesak masyarakat Sri Lanka

Untuk menghindari nasib yang sama dengan pendahulunya, Gotabaya Rajapaksa, Presiden Wickremesinghe harus mengatasi kebutuhan mendesak dari masyarakat Sri Lanka.

Setelah dilantik, Wickremesinghe mengatakan bahwa prioritasnya adalah untuk memastikan agar masyarakat bisa makan tiga kali sehari.

A man in an orange cap stands in a smoky street surrounded by strewn bits of paper.
Seorang pendukung merayakan pengumuman terpilihnya Ranil Wickremesinghe sebagai presiden Sri Lanka. Abhishek Chinnappa/Getty Image

Namun, inflasi harga pangan kini menyentuh 76%. Harga bahan makanan pokok melonjak – harga beras naik 160%, harga tepung naik 200% dan harga gula naik 164%.

Sebagai gambaran, seorang guru pra-sekolah dengan upah minimum harus bekerja lebih dari satu hari untuk bisa membeli 1 kilogram gula dan 1 kilogram tepung atau beras. Sedangkan, untuk membeli satu tabung gas untuk masak, mereka membutuhkan lebih dari setengah upah bulanannya. Itu pun jika mereka beruntung bisa mendapatkannya, mengingat suplai yang terbatas.

Permasalahan-permasalah lain juga sama mendesaknya dengan masalah biaya hidup.

Pembukaan kembali sekolah dan universitas yang kini ditutup adalah prioritas lainnya. Selain itu, penting juga bagi pemerintah untuk mengembalikan layanan transportasi. Tanpa bahan bakar yang bisa dibeli, layanan bus-bus milik swasta terguncang dan transportasi umum menjadi ajang berpetualang, dengan para penumpang bergelantungan di pintu dan jendela bus dan bahkan duduk di dalam bagasi.

Untuk mengembalikan layanan transportasi dan listrik, mata uang asing dibutuhkan untuk mengimpor bahan bakar.

Namun, paket pinjaman dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) membutuhkan waktu beberapa bulan sebelum dapat direalisasikan. Jika presiden baru tidak bisa meyakinkan negara-negara besar di kawasan – India dan Cina – untuk memberikan lebih banyak bantuan, kesulitan ekonomi akan terus menghantui masyarakat Sri Lanka dan kehidupan mereka tetap akan jauh dari normal.

Sebelumnya, Sri Lanka bisa mengandalkan sektor pariwisata untuk mendapatkan pemasukan. Namun, saat ini, hal tersebut kini tidak memungkinkan, terutama di tengah kerusuhan yang terus berlanjut dan kelangkaan bahan pokok yang menyulitkan negara tersebut melayani pendatang.

Pada saat yang sama, pengiriman uang oleh warga Sri Lanka di luar negeri berkurang karena ada ketidakpercayaan mereka terhadap mata uang nasional, yaitu rupee Sri Lanka.

Seperti yang dikatakan oleh Wickremesinghe, permasalahan di Sri Lanka akan terus memburuk sebelum akhirnya membaik.

Menyeimbangkan anggaran

Hal berikutnya yang kemungkinan ada dalam rencana aksi presiden adalah mencari cara untuk menurunkan defisit anggaran. Tahun lalu, belanja negara mencapai 240% dari pendapatan, sementara 91% lagi dibutuhkan untuk membayar utang. Pemerintah mencetak uang baru untuk menutupi sebagian besar selisih tersebut, namun berujung memperparah inflasi.

Alasan utama di balik krisis yang tengah mendera Sri Lanka adalah kesalahan pengelolaan fiskal selama beberapa dekade ke belakang, dengan belanja yang berlebih dan pendapatan yang kecil.

Untuk memperbaiki situasi ini, pemerintah akan perlu menerapkan kombinasi pajak tinggi dan pemotongan anggaran secara signifikan. Namun demikian, selisih anggaran saat ini begitu lebar untuk bisa benar-benar mengeliminasi kebutuhan untuk mencetak uang. Hal yang paling bisa diharapkan saat ini adalah pemotongan anggaran secara agresif.

Restrukturisasi utang Sri Lanka yang begitu besar

Sri Lanka juga membutuhkan reformasi keuangan untuk mengatasi tantangan lainnya: utang luar negeri.

Sri Lanka menumpuk utang luar negeri hingga US$51 miliar selama beberapa dekade ke belakang, tapi hampir tidak memiliki simpanan mata uang asing untuk membayarnya. Pada April, pemerintah menangguhkan pembayaran utang luar negeri dan resmi membuat negara tersebut mengalami gagal bayar (default).

Pada akhir 2021, sekitar 45% dari utang Sri Lanka berasal dari investor swasta, sementara sisanya berasal dari negara-negara lain dan beberapa institusi multinasional. Asian Development Bank memiliki porsi terbesar, yaitu 16%, sedangkan Jepang, Cina dan Bank Dunia masing-masing memiliki porsi 10%.

Untuk bisa bangkit dari krisis, Sri Lanka membutuhkan bantuan yang besar dari IMF. Akan tetapi, IMF membutuhkan kepastian bahwa kemampuan Sri Lanka untuk membayar utang (debt sustainability) pulih sebelum meminjamkan uang.

Di sisi lain, organisasi internasional lainnya, seperti Bank Dunia, tidak bersedia menambah pinjaman ke Sri Lanka sebelum negara tersebut menandatangani perjanjian dengan IMF. Kongres Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa bantuan IMF akan bergantung pada kemampuan Sri Lanka untuk meningkatkan kemandirian bank sentral mereka, memberantas korupsi, dan mempromosikan supremasi hukum.

Sementara itu, saat negara-negara G-7, kelompok negara-negara ekonomi maju termasuk Jepang, tampak bersedia membantu Sri Lanka dalam usahanya untuk merestrukturisasi utang mereka. Namun, para pemegang obligasi – seperti Hamilton Reserve Bank yang berpusat di Kepulauan Karibia dan memegang obligasi senilai hanya sekitar $250 jutasudah menempuh jalur hukum untuk mengklaim piutang mereka.

Pada bulan Mei, Sri Lanka mengambil langkah pertama untuk merestrukturisasi utangnya. Namun, akan butuh beberapa bulan sebelum Sri Lanka bisa berhasil bernegosiasi dengan para kreditur untuk memastikan kemampuannya membayar utang.

Mengumpulkan dukungan masyarakat untuk melakukan perubahan

Tantangan terbesar dan tersulit bagi Wickremesinghe bukanlah dalam memperbaiki ekonomi Sri Lanka, namun bagaimana berpolitik untuk melaksanakan perbaikan tersebut.

Wickremesinghe tidak akan bisa berbuat banyak pada ekonomi Sri Lanka sebelum stabilitas politik tercapai. Saat ini, situasi Sri Langka masih bergejolak.

Wickremesinghe – sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri yang ditunjuk oleh Rajapaksa – akan membutuhkan mandat yang luas dan dukungan besar dari oposisi jika ingin mengubah kebijakan-kebijakan di Sri Lanka secara besar-besaran. Setelah terpilih, ia segera mendesak lawan-lawan politiknya untuk “bekerja sama untuk membawa negara ini keluar dari krisis”. Ia mengatakan, “Perbedaan kita sekarang sudah berakhir.”

Wickremesinghe juga harus menjawab tuntutan para pengunjuk rasa untuk mengurangi kekuasaan eksekutif dan, pada saat yang sama, memperkuat aturan anti-korupsi dan institusi demokrasi.

Namun demikian, banyak pihak meragukan kemampuan Wickremesinghe untuk menyatukan Sri Lanka dan mempertanyakan mandatnya untuk menjalankan sisa waktu masa kepresidenan ini. Ia terus menjadi sasaran unjuk rasa sejak terpilih menjadi presiden. Di samping itu, konfrontasi antara pasukan bersenjata dan para demonstran pada saat setelah Wickremesinghe menjadi presiden tidak menimbulkan impresi yang bagus.

Memutarbalikkan sebuah perekonomian yang berada jauh di dalam jurang krisis akan membutuhkan waktu. Inflasi di Sri Lanka dipercaya belum mencapai puncaknya, dan masyarakat akan terus mengalami kesulitan ekonomi untuk beberapa waktu ke depan.

Namun demikian, stabilitas politik dibutuhkan agar Sri Lanka bisa keluar dari kekacauan ekonomi ini. Reformasi fiskal yang diharapkan IMF akan sangat sulit dilakukan dan hanya akan memungkinkan terjadi dengan dukungan masyarakat dan seluruh fraksi besar di parlemen Sri Lanka.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now