Menu Close

Dua bocah tewas di kerumunan Monas, mengapa manajemen medis acara massal tidak dibenahi?

Tenaga medis di acara massal sangat dibutuhkan dan mereka harus bergerak cepat saat ada peserta yang sakit. Jaromir Chalabala/shutterstock

Tewasnya dua remaja berusia 10 tahun dan 13 tahun dalam acara pembagian kebutuhan pokok dan makanan gratis di Monumen Nasional Jakarta sungguh memilukan. Pada akhir April lalu, keduanya tewas karena dehidrasi dan terinjak-injak di “pesta rakyat” yang dihadiri oleh sekitar 350 ribu orang, yang antre dan berjejalan untuk mendapatkan kebutuhan pokok.

Walau acara yang digelar oleh Forum Untukmu Indonesia ini mengantongi izin dari Pemerintah DKI Jakarta, layanan medis darurat di lokasi acara sangat tidak memadai sehingga dua bocah itu tewas. Polisi kini memeriksa dokter Rumah Sakit Tarakan untuk penyelidikan kasus kematian bocah malang tersebut.

Insiden ini merupakan contoh konyol dari perhelatan besar tanpa disertai persiapan tim medis darurat yang memadai. Tragedi serupa bisa dijajar lebih panjang lagi seperti bocah 11 tahun tewas saat menghadiri open house Lebaran, yang membagikan sedekah Rp50.000 per orang, di rumah Wakil Presiden Jusuf Kalla di Makassar. Di kota-kota besar di Indonesia, juga kerap digelar unjuk rasa besar yang diberitahukan rencanannya ke kepolisian dan pemerintah. Bukan tidak mungkin, tanpa penyediaan medis acara massal yang terencana dan terukur, insiden serupa akan berulang di masa depan.

Medis acara massal

Sebuah acara disebut massal bila dihadiri lebih dari 1000 orang dalam satu periode tertentu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan penyediaan tim medis yang dapat memberikan layanan medis preventif dan definitif di setiap acara massal. Tim medis yang siaga ini seharusnya mempunyai latar belakang dan terlatih dalam mass gathering medicine (MGM).

MGM adalah cabang dari ilmu kedokteran emergensi yang mempelajari segala aspek medis yang dapat terjadi dalam suatu acara massal sehingga dapat memberikan pelayanan medis yang efektif. Perlu dibentuk strategi manajemen medis yang komprehensif jauh hari sebelumnya karena setiap acara memiliki profil dan risiko yang unik.

Misalnya, acara perayaan malam tahun baru di kota-kota besar yang dihadiri oleh semua kalangan masyarakat, termasuk anak-anak. Banyaknya petasan, alkohol atau obat-obatan terlarang mengharuskan tim medis siap menangani luka bakar dan keracunan karena alkohol untuk segala umur.

Karena itu, perencanaan dan persiapan yang ekstensif jauh hari sebelum acara merupakan kunci dari suksesnya MGM. Persiapan ini tidak bisa lepas dari sistem pelayanan gawat darurat (Emergency Medical Services, EMS) di kota tersebut.

EMS merupakan sistem pelayanan medis darurat untuk semua orang, yang meliputi call center (seperti 911 di Amerika Serikat), ambulans, paramedis, dan rumah sakit dengan jarak yang mudah dijangkau. Pusat EMS di suatu kota menerima telepon dari masyarakat yang membutuhkan bantuan medis, mengirimkan ambulans dan paramedis dan mengarahkan ke rumah sakit mana sebaiknya korban dibawa.

Ini penting, karena bila pasien dibawa ke rumah sakit yang sudah penuh atau tidak memiliki fasilitas untuk terapi, pasien harus dipindahkan lagi ke rumah sakit lain. Hal ini berpotensi mengakibatkan keterlambatan menangani pasien yang bisa berdampak fatal dan memakan biaya yang seharusnya tidak diperlukan.

Tapi, sematang apa pun persiapan untuk acara massal, sumber daya dan fasilitas yang ada bisa saja tetap kurang. Hal ini biasa terjadi bila ada kejadian di luar dugaan. Contohnya kebakaran tenda jemaah haji di Mina pada 1997 yang memakan 343 korban jiwa dan ribuan orang luka berat. Ibadah haji yang dihadiri 2,5 juta orang tiap tahunnya ini merupakan salah satu acara massal yang paling banyak diteliti, dengan persiapan medis terbaik. Saat ada kejadian luar biasa seperti kebakaran, EMS yang lebih berperan penting untuk menangani.

Kerumuman dan narkotika

Majalah medis di Amerika Serikat baru saja memuat tentang kurangnya kesiapan tim medis untuk sebuah festival musik terbesar di Indonesia, The Djakarta Warehouse Project. Acara di Jakarta tersebut dihadiri kurang lebih 90.000 pengunjung Desember 2017 lalu.

Walau penyelenggara konser sudah mengeluarkan larangan mengkonsumsi obat-obatan narkotik, beberapa peserta konser yang ditanyai menyatakan bahwa lebih dari 50% dari teman-temannya mengkonsumsi obat-obatan narkotik dengan pilihan terbanyak MDMA (ecstasy) dan ketamin. Angka ini juga mengejutkan mengingat adanya Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang melarang kepemilikan, penggunaan, produksi dan distribusi obat-obatan narkotika.

Banyaknya konsumsi alkohol, obat-obatan narkotika, udara panas Jakarta, dan jumlah peserta yang begitu banyak dapat mengakibatkan banyak masalah medis. Keracunan obat-obatan psikotropika (PDIT) merupakan kondisi yang sering mengakibatkan kematian dan sangat mungkin terjadi dalam acara ini. Pasien PDIT biasanya menunjukkan gejala hipertermia (suhu badan di atas 40,5 Celsius), agitasi atau rasa gelisah yang berlebihan, halusinasi, kejang hingga koma.

Selama konser tersebut, tim medis yang siap berjaga terdiri dari 15 dokter umum dan 50 perawat. Sebuah struktur seperti tenda dibangun dengan fasilitas pendingin ruangan, bantuan medis dasar untuk perawatan luka, pembidaian, pemberian oksigen dan obat-obatan yang biasa bisa dibeli tanpa resep (over-the-counter). Tidak ada keterangan apakah obat-obatan yang dibawa cukup memadai untuk menangani pasien-pasien gawat, seperti pada kasus PDIT. Kabar baiknya, tidak ada laporan adanya kematian atau kondisi medis fatal lainnya dari konser tersebut.

Hal serupa juga dapat kita lihat dalam acara massal berskala kecil. Konser Ungu di Pekalongan pada 2006 memakan 10 korban jiwa. Media melaporkan tiadanya tim medis yang siaga di konser tersebut. Kesepuluh orang tersebut tewas saat dilarikan ke rumah sakit terdekat. Pada 2008, 11 orang tewas di konser band Beside di Bandung. Saat kejadian hanya ada ‘aparat’ yang datang untuk menertibkan suasana tanpa ambulans, tanpa pertolongan medis apa pun.

Medis darurat minim

Apakah Anda tahu bahwa Indonesia juga memiliki call center 118 yang berperan seperti 911? Banyak orang tidak tahu. Call center 118 di Jakarta menerima 50-75 telepon per hari, bandingkan call center 911 di Los Angeles yang menerima 9000 telepon per hari. Juga berbeda dengan 911, 118 tidak mendapat sponsor dari pemerintah dan ada biaya yang dikenakan terhadap penelepon yang membutuhkan bantuan medis ini.

Layanan ambulans di Indonesia juga beroperasi tanpa sponsor dari mana pun (tidak murah) dan hanya tersedia 43 ambulans untuk seluruh Jakarta. Response time atau waktu yang dibutuhkan ambulans untuk sampai ke lokasi penelepon di Jakarta adalah 37 menit. Ini jauh bila dibandingkan di Amerika hanya 10 menit, atau Jepang 7 menit.

Kebanyakan pasien korban acara massal di Indonesia dilarikan ke rumah sakit dengan kendaraan pribadi dan tidak selamat. Sulit dibayangkan hal ini terjadi di negara-negara dengan sistem EMS yang sudah matang.

Mendesak pengembangan kedokteran emergensi

Konsep ilmu kedokteran emergensi masih asing di Indonesia. Masyarakat tidak sadar akan pentingnya ada dokter spesialis emergensi karena tidak ada perbandingan yang dapat dilihat secara langsung.

Di negara-negara lain, dokter yang bekerja di unit gawat darurat (UGD) harus dokter spesialis emergensi. Hampir semua UGD di Indonesia tidak mempunyai dokter spesialis emergensi. Memang terdengar aneh, mengingat pasien yang datang ke UGD biasanya pasien-pasien yang memerlukan penanganan khusus dalam waktu yang kritis.

Sama halnya dengan tim medis untuk acara massal atau dalam keadaan bencana alam. Kebanyakan dokter yang dikirimkan adalah dokter umum untuk menangani pasien-pasien dengan masalah medis yang tidak sederhana.

Jatuhnya korban saat acara-acara massal yang terus terjadi ini seharusnya menyadarkan pemerintah bahwa sudah saatnya kedokteran emergensi di Indonesia dibenahi. Ilmu ini tengah dikembangkan tapi prosesnya alot dan kurang dukungan dari pihak-pihak lain. Di tengah minimnya kedokteran emergensi di Indonesia, Anda perlu selalu ekstra hati-hati saat menghadiri acara massal.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now