Menu Close
Pintu masuk ke pantai Kuta, Bali ditutup di kala pandemi COVID-19. Made Nagi/EPA

Dua sisi karantina wilayah mandiri warga dalam mencegah penyebaran COVID-19

Hanya dalam waktu satu bulan, kasus COVID-19 melonjak dari awalnya hanya 2 kasus pada 2 Maret 2020 menjadi 4.557 kasus pada 13 April.

Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat.

Tim peneliti Universitas Indonesia sudah memperkirakan setidaknya 2,5 juta orang Indonesia bisa terinfeksi dalam tiga bulan ke depan karena berbagai faktor.

Meskipun dianggap terlambat, pemerintah akhirnya memutuskan untuk memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran COVID-19.

Pelaksanaan kebijakan karantina terbatas memungkinkan pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap aktivitas yang mengundang kerumunan orang.

Sebelum PSBB diputuskan, beberapa pemukiman warga dari Aceh hingga Papua mengambil inisiatif untuk melakukan karantina wilayah secara mandiri demi mencegah dan menangkal keluar masuknya COVID 19 di wilayah mereka.

Beberapa pemukiman warga menutup akses keluar masuk dan melakukan penyemprotan disinfektan kepada setiap pendatang yang ingin masuk ke wilayah pemukiman mereka.

Namun setelah PSBB berlaku, masih ada daerah yang masih menerapkan karantina wilayah mandiri, seperti di Yogyakarta dan Indramayu, Jawa Barat . Hal ini dikarenakan perizinan untuk memberlakukan PSBB masih berada di tangan pusat. Saat ini baru ada sembilan wilayah yang mendapat persetujuan untuk menerapkan PSBB, termasuk Jakarta, Bogor dan Depok di Jawa Barat, dan Tangerang Selatan di Banten.

Akibatnya banyak warga yang akhirnya memilih mengambil inisiatif sendiri.

Inisiatif warga ini bisa menunjukkan dua sisi yang berlawanan yaitu sisi positif dan juga negatif.

Sisi positif

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan bahwa pelaksanaan karantina wilayah yang sistematis dan terencana bisa efektif menangkal masuknya kasus baru atau memperlambat tercapainya puncak epidemi apabila sudah terjadi transmisi lokal di daerah tersebut.

Sebuah penelitian membuktikan bagaimana karantina wilayah selama 2 bulan di provinsi Hubei, Cina tidak hanya bisa menekan jumlah kasus COVID-19 baru di wilayah tersebut tapi juga menahan meluasnya kasus COVID-19 ke provinsi lain.

Contoh lain adalah Australia yang dinilai cukup sukses untuk menekan kurva angka kasus sehingga angka kematian akibat COVID-19 sangat rendah. Australia menerapkan kombinasi strategi antara karantina wilayah, isolasi, dan menjaga jarak aman.

Inisiatif karantina wilayah yang dilakukan warga di berbagai daerah menunjukkan adanya kesadaran warga atas isu pandemi COVID-19 yang tidak hanya mengancam jiwanya tapi warga sekitarnya.

Selain itu, karantina wilayah mandiri menunjukkan peran komunitas yang berpartisipasi secara aktif dalam mencegah penularan virus ini.

Sebagai contoh, warga menunjukkan solidaritas dengan menyediakan bahan pokok dan makanan secara kolektif untuk mereka yang tengah menjalani masa karantina di dalam rumah sehingga tidak boleh keluar selama 14 hari. Warga pun kompak untuk urunan menyediakan perlengkapan untuk melakukan sterilisasi tempat ibadah serta fasilitas umum lainnya dan meningkatkan keamanan dan kebersihan lingkungannya.

Negatif

Sisi negatif dari karantina wilayah mandiri warga adalah bahwa inisiatif ini mewakili bentuk ketidakpuasan ataupun ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya pemerintah yang tampak tidak sigap dalam penanganan COVID-19.

Salah satunya adalah ketidakjelasan pemerintah dalam menetapkan kebijakan karantina itu sendiri.

Beberapa pemerintah daerah sudah mempersiapkan diri untuk melakukan karantina wilayah. Mereka menyadari karantina wilayah sudah menjadi pilihan yang wajib untuk diambil agar kesehatan masyarakat mereka terjamin.

Namun, pemerintah pusat menegaskan pemberlakukan PSBB di masing-masing daerah harus mendapat persetujuan dari pusat, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Kesehatan.

Kementerian Kesehatan baru saja memberikan persetujuan atas pemberlakukan PSBB di Jakarta minggu lalu padahal mayoritas kasus COVID-19 ditemukan di Ibu Jota.

Kondisi di kawasan wisata Kota Tua Jakarta setelah pembatasan sosial berskala sosial diberlakukan minggu lalu. Adi Weda/EPA

Hal ini dimaksudkan agar upaya yang dilakukan antara daerah dan pusat sinergis dan terintegrasi. Meskipun penjelasan detail tentang pelaksanaan PSBB dan pembatasan keluar masuk orang pada wilayah tertentu belum jelas disampaikan pada PP Nomor 21 tahun 2020.

Keputusan pemerintah dalam membatasi mobilitas warga guna menekan penyebaran coronavirus memang terkesan lambat.

Tapi karantina wilayah mandiri yang dilakukan secara sporadis di berbagai daerah juga berpotensi untuk mendatangkan masalah kesehatan masyarakat lainnya apabila tidak tanggap dalam menghadapi risiko yang dapat diakibatkan dari penerapan karantina wilayah tersebut.

Penelitian menunjukkan bahwa karantina dapat mengakibatkan gangguan psikologis pada warga karena lamanya durasi karantina, kekhawatiran yang berlebihan terhadap virus, frustasi, bosan, tidak lengkapnya informasi yang diterima, kehilangan penghasilan, dan stigma.

Selain itu, tanpa adanya persiapan, karantina wilayah juga dapat memicu permasalahan sosial bahkan konflik. Hal ini terjadi di India.

Pelaksanaan karantina di sana akhirnya menimbulkan konflik karena pemerintah tidak membuat perencanaan matang terkait akses terhadap pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan hidup dasar terutama bagi masyarakat miskin.

Oleh karena itu, sebagaimana direkomendasikan oleh WHO, beberapa prinsip yang harus diterapkan dalam pemberlakukan karantina wilayah adalah sebagai berikut:

  1. Alasan pemberlakuan karantina wilayah bukan karena alasan lain selain adanya ancaman terhadap kesehatan masyarakat di wilayahnya.

  2. Harus terus memantau dan mengawasi efektivitas dari karantina wilayah tersebut.

  3. Pembatasan mobilitas warga tidak berlebihan dan harus diterapkan secara proporsional terhadap tujuan yang ingin dicapai. Kebutuhan pokok untuk hidup harus dipastikan dapat terpenuhi oleh setiap warga tanpa terkecuali selama masa karantina.

  4. Mengedepankan prinsip keadilan dan tidak boleh ada warga yang mendapatkan perlakuan khusus karena kedudukan sosial dan ekonominya.

  5. Tumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan pelibatan mereka dalam upaya pengambilan keputusan dan distribusi informasi secara jujur dan terbuka.

Pemerintah diharapkan dapat tanggap dan terbuka terhadap masukan demi tercapainya tujuan bersama yaitu menyelamatkan jiwa dari ancaman COVID-19.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now