Menu Close

Ekonomi berkembang untuk mencukupi kesejahteraan finansial manusia. Bagaimana sejarah dan tantangannya?

Sejarah ekonomi modern
Patung Adam Smith, pelopor liberalisme ekonomi, di Edinburgh, Skotlandia. Gimas/shutterstock

Sepanjang sejarah, ekonomi terus berkembang demi menfasilitasi umat manusia mencapai kesejahteraan yang diidam-idamkan.

Berasal dari kata oikos dan nomos dalam bahasa Yunani, secara harfiah ekonomi berarti tata kelola rumah tangga. Konsep ini tak hanya merujuk pada pengaturan fisik rumah dan harta benda keluarga saja, tetapi juga tentang tata cara hidup sehari-hari, etika, dan nilai-nilai hidup lainnya.

Seiring berjalannya waktu, pemaknaan kata ekonomi mengalami transformasi secara signifikan. Mulai dari zaman pertanian hingga zaman industri, dari era awal globalisasi hingga era digital saat ini, manusia berupaya keras untuk tetap relevan dan beradaptasi dengan modal hidupnya masing-masing.

Dalam sejarah perkembangan ekonomi, setiap periode membawa perubahan besar dalam cara kita memahami, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya ekonomi. Perubahan ini membawa dampak signifikan terhadap kesejahteraan finansial individu serta masyarakat global.

Dalam artikel ini, saya mencoba membedah sejarah modern paradigma ekonomi dominan untuk membantu memahami bagaimana kesejahteraan keuangan kita berkembang, serta potensi-potensi tantangan yang kita hadapi dari perkembangan ini.

Bangkitnya liberalisme

Adam Smith
Paradigma ekonomi liberal yang diperkenalkan Adam Smith mengakhiri dominasi merkantilisme. Everett Collection/shutterstock

Pada abad ke-16, paham merkantilisme ekonomi mendominasi Eropa. Dalam merkantilisme, perdagangan dan proteksionisme memegang tema sentral. Pada masa ini, tujuan utama ekonomi adalah meningkatkan ekspor dan mengumpulkan sebanyak mungkin emas dan perak untuk memperkaya dan memperkuat negara.

Pemerintah berperan penuh dalam mengatur ekonomi, termasuk membatasi impor dan mendorong ekspor secara ketat. Negara-negara pun berlomba-lomba untuk mengumpulkan sumber daya melalui koloninya.

Namun, pandangan ini mulai tergeser dengan munculnya ide-ide ekonomi liberal pada abad ke-18. Salah satunya berasal dari Adam Smith, ekonom asal Skotlandia yang merupakan pelopor ekonomi politik modern.

Smith memiliki gagasan mengenai pasar yang bebas dari campur tangan pemerintah agar dapat menghasilkan kekayaan bagi masyarakat. Argumennya, kekayaan secara hakiki tidak dapat diperoleh dengan hanya menimbun emas dan perak, tetapi pada bagaimana modal atau kekayaan yang dimiliki dapat bertumbuh dan memberikan nilai lebih.

Dalam karyanya yang terkenal, The Wealth of Nations, Smith memperkenalkan konsep invicible hand.

Konsep ini merujuk pada bagaimana dalam pasar bebas, harga suatu barang atau jasa murni ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Dalam kondisi ini, ketika permintaan suatu produk meningkat dan penawaran tetap, harga produk tersebut akan naik. Sebaliknya, jika penawaran lebih besar daripada permintaan, harga akan turun. Dalam situasi ini, invisible hand bekerja dengan sendirinya pada mekanisme pasar yang mengarahkan harga ke tingkat yang seimbang .

Salah satu dampak paling mencolok dari liberalisme ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat. Hal ini dapat menciptakan peluang bisnis baru, membantu perusahaan untuk berkembang, dan menghasilkan peningkatan produk domestik bruto (PDB) secara signifikan.

Dengan kontrol perekonomian tak lagi sepenunya berada di tangan negara, sistem ekonomi liberal memberi individu kuasa yang lebih besar atas keputusan ekonomi dan kepemilikan pribadi. Mereka dapat memilih jenis pekerjaan, berinvestasi, mengelola tabungan, dan mengambil risiko finansial sesuai dengan preferensi mereka masing masing.

Hal ini tentu memberikan ruang yang lebih luas bagi usaha individu untuk mencapai kesejahteraan finansial.

Neoliberalisme

Bill Clinton
Bill Clinton dan waklinya, Albert Gore pada 1993. Clinton menerapkan kebijakan neoliberalisme selama menjabat sebagai Presiden AS. mark reinstein/shutterstock

Merebaknya liberalisme tentunya bukan tanpa oposisi. Salah satu kritik keras, misalnya, berasal dari ideologi komunisme yang menekankan pentingnya pengendalian sumber daya dan produksi berada di tangan negara atau kolektivitas masyarakat dan menghilangkan kepemilikan pribadi demi mencapai kesetaraan ekonomi.

Namun, dengan berakhirnya Perang Dingin dan bubarnya Uni Soviet sebagai pendukung terkuat komunisme pada awal dekade 1990-an, prinsip liberalisme ekonomi dan kapitalisme mendominasi perekonomian global. Pasar bebas dan peran minimal pemerintah dalam ekonomi pun dianggap sebagai pendekatan yang paling efisien untuk menyokong pertumbuhan.

Perkembangan sejarah ini meledakkan kembali ideologi neoliberalisme–sebuah pengembangan dari paham liberalisme ekonomi klasik. Neoliberalisme mulai dikenal pada dekade 1930-an, memiliki makna dan konotasi yang bervariasi, dan dianut oleh berbagai tokoh ternama seperti mantan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher dan mantan Presiden AS Ronald Reagan.

Semakin dalam dan luasnya globalisasi dan pasar bebas, serta semakin bergantungnya satu negara dengan negara lainnya, memperkuat cengkeraman neoliberalisme dalam perekonomian global. “Neoliberalisme gelombang kedua” ditandai dengan berbagai kebijakan mantan Presiden AS Bill Clinton dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam mendorong perdagangan internasional dan pelonggaran pergerakan modal di ranah global yang menjadi ciri khas neoliberalisme.

Pada dasarnya, neoliberalisme menekankan deregulasi, kompetisi, privatisasi, dan pengurangan pengeluaran pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi ekonomi. Konsekuensinya, sektor publik banyak diserahkan ke swasta dan pelonggaran aturan menjadi syarat investasi asing–termasuk terkait hak-hak pekerja.

Neoliberalisme memang bisa memperkaya negara, dan–sebagai hasilnya–meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Investasi swasta juga bisa membantu meningkatkan inovasi kualitas sektor publik seperti infrastruktur, kesehatan, ataupun pendidikan.

Namun, banyak pula dampak negatif neoliberalisme yang membuatnya disebut sebagai sumber dari segala masalah yang dihadapi umat manusia saat ini. Penyebutan neoliberalisme sebagai pendekatan ekonomi yang mendominasi dunia saat ini pun muncul pasca-krisis keuangan global 2008 yang dianggap sebagai akibat dari ideologi ini.

Dalam konteks kesejahteraan finansial, neoliberalisme menciptakan dampak yang bervariasi di seluruh spektrum masyarakat, terutama soal ketidakpastian pekerjaan. Misalkan saja, perusahaan yang semakin menekankan teori portfolio dalam praktik bisnisnya dengan memutus hubungan kerja secara sepihak demi memaksimalkan profit.

Ketimpangan pun semakin melebar dan dalam, yang tentunya membatasi akses sekelompok orang ke sektor publik yang dikuasai swasta. Dan dalam dunia yang berfokus pada kompetisi, mereka yang “kalah saing” ini dianggap gagal karena ketidakmampuan mereka sendiri.


Read more: Bagaimana neoliberalisme dan Islamisme berkaitan dengan kerentanan dan solidaritas pekerja 'gig'


Masa depan ekonomi dan kesejahteraan finansial dalam Revolusi Industri 4.0

Berbagai kritik terhadap neoliberalisme sebagai paradigma ekonomi dominan mendorong para ahli berusaha menggodok pendekatan alternatif. Sebuah artikel di The Conversation, misalnya, menawarkan empat alternatif berdasarkan sejauh apa sumber daya tersentralisasi di tangan pemerintah dan tujuan ekonomi apa yang dikejar. Mariana Mazucatto, ekonom kenamaan dari University College London, mengadvokasikan pentingnya memperkuat peran pemerintah dalam menciptakan pasar dan nilai-nilai keberlanjutan dan kemanusiaan.

Di tengah berbagai diskusi ini, masyarakat menyambut hadirnya revolusi industri 4.0 yang menghadirkan berbagai sistem canggih untuk mendukung kesejahteraan ekonomi. Misalkan saja kehadiran fintech yang menyediakan layanan keuangan secara online dan mudah diakses melalui ponsel. Hal ini memungkinkan individu untuk dengan cepat mengelola keuangan–termasuk membuka tabungan dan berinvestasi–dengan ponsel kapan saja dan di mana saja.

Namun, ada tantangan yang muncul dari makin canggihnya teknologi ini. Kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI), Internet of Things (IoT), dan manufaktur berbasis digital yang telah mengubah fundamental cara kita bekerja dan berbisnis membuat pekerjaan yang dulunya dilakukan oleh manusia lambat laun digantikan oleh mesin. Ini menciptakan useless class, atau masyarakat yang keterampilannya tergantikan oleh mesin. Salah satu cara agar kita tidak terjebak masuk dalam golongan itu adalah dengan terus belajar dan pandai beradaptasi dengan cepat.

Perlu diingat bahwa setiap tindakan ekonomi yang dilakukan baik oleh individu maupun perusahaan memiliki satu tujuan yang sama, yakni meningkatkan kesejahteraan finansial. Dengan mempelajari sejarah perkembangan ekonomi yang ada, kita akan mendapatkan wawasan berharga mengenai berbagai sistem ekonomi yang ada, mengidentifikasi tantangan, dan mencari solusi untuk memaksimalkan kesejahteraan finansial kita.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now