Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bermunculan di Indonesia karena sejumlah daerah memasuki fase kemarau kering. Kebakaran berisiko meluas apabila anomali cuaca El Nino yang menyebabkan kemarau panjang benar-benar terjadi tahun ini.
Sejak Desember 2022, api menghanguskan ribuan hektare hutan dan lahan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung; empat kabupaten di Riau; lahan gambut di Pangkalan Bun, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, hingga Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara. Kebakaran disebabkan oleh sejumlah faktor, misalnya ulah manusia yang membakar lahan hingga kekeringan.
Insiden di atas seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah kabupaten kota, provinsi, hingga pusat agar lebih bersiaga melawan amukan si jago merah. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meramalkan akan ada dua periode rawan kebakaran: Januari-April dan Juli-Oktober.
Bahaya terbesar sebenarnya adalah kebakaran kawasan gambut. Gambut yang terbakar akan melepaskan asap menyesakkan dan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih banyak dibandingkan lahan biasa. Pada 2019, kebakaran gambut di Pulau Sumatera dan Kalimantan menyebabkan 900 ribu orang mengalami gangguan pernapasan dan kerugian hingga US$ 5,2 miliar.
Kita harus segera bertindak untuk mencegah tragedi berulang. Sebagai akademikus yang lebih dari 30 tahun berjibaku dengan urusan kebakaran, saya mencatat beberapa langkah yang mesti dilakukan Indonesia.
Gambut harus basah
Gambut terdiri dari dedaunan busuk dan bahan organik lainnya yang semestinya selalu basah. Sayangnya, kerusakan lahan akibat perkebunan, pertambangan, ataupun kebakaran mengeringkan banyak kawasan gambut kita.
Karena itulah, upaya penanganan dan pencegahan dampak kebakaran mesti berfokus pada pemantauan kebasahan gambut. Gambut yang kurang basah, apalagi gersang harus segera diguyur air habis-habisan.
Pemerintah memiliki standar kebasahan berupa tinggi muka air paling rendah 40 cm di bawah permukaan gambut. Di beberapa daerah seperti Kalimantan Tengah, standar ini semestinya bisa lebih becek lagi, sekitar 5 cm di bawah permukaan gambut.
Read more: Agar tak jadi biang emisi, pemulihan lahan gambut tidak bisa setengah-setengah
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove harus memantau standar kebasahan ini dengan satelit ataupun pemeriksaan lapangan besar-besaran. Libatkanlah perguruan tinggi, warga sekitar, hingga polisi dan tentara.
Saya mengapresiasi kepolisian sejumlah daerah yang memiliki sistem pemantauan tersendiri berbasiskan informasi dari lapangan. Cara-cara seperti ini harus diperbanyak.
Pemantauan juga harus dilakukan perusahaan yang mengelola lahan gambut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus semakin rajin mengontrol kewajiban mereka menjaga kualitas lahan gambut.
Jangan tunggu helikopter
Eks pejabat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pernah bercerita kepada saya. Di suatu lokasi kebakaran, dia justru mendapati warga sekitar dan otoritas setempat tidak bergotong royong memadamkan api. Mereka hanya duduk-duduk saja.
Ketika ditanya mengapa berpangku tangan, mereka hanya menjawab “Kami sedang menunggu heli (helikopter) BNPB.”
Saya mengamati perilaku seperti ini juga terjadi di daerah lainnya. Mereka terbiasa mengalami kebakaran dan kerap dibantu pemerintah pusat, sehingga tidak langsung berusaha memadamkan api.
Sikap semacam ini berbahaya. Pada musim kering, api berisiko cepat mengamuk jika tidak segera dipadamkan. Penanganan yang ala kadarnya sama saja membiarkan kebakaran membesar.
Garda terdepan pencegahan dan penanggulangan kebakaran justru ada di masyarakat desa, kecamatan, dan pemerintah kabupaten kota. Daerah harus mengerahkan segala upaya dan memprioritaskan anggaran untuk mencegah kebakaran maupun memadamkan api.
Bantuan semestinya baru diulurkan ketika pemerintah kabupaten kota sudah angkat tangan. Pertolongan juga seyogianya lebih dulu datang dari pemerintah kabupaten kota sekitar, ataupun pemerintah provinsi.
Read more: Empat masalah tentang kebakaran hutan yang bisa mengganjal target emisi Indonesia 2030
BMKG menyebarkan informasi risiko El Nino 2023 lebih dini, bahkan menyambangi langsung pejabat di daerah yang rawan kebakaran. Hasil prediksi BMKG janganlah teronggok di atas meja, harus menjadi bekal tindakan nyata pemerintah kabupaten, kota, maupun provinsi.
Bekali petugas kita
Seorang petugas kebakaran mengatakan kepada saya, bahwa dia belajar memadamkan api dari televisi. Saya terus mengingat ucapan itu sampai sekarang. Penuturan si petugas menjadi puncak gunung es persoalan sumber daya manusia dalam penanggulangan kebakaran.
Pemadaman api butuh teknik khusus. Misalnya teknik ‘bungkus oksigen’ untuk memadamkan api bukan sekadar menepuk-nepuk tanah atau tanaman yang terbakar. Jika dilakukan sembarangan, api justru bisa merambat ke tempat lainnya.
Solusi masalah ini mudah saja: pembekalan terus-menerus. Polisi dan tentara sudah mulai turun ke lapangan untuk melatih warga. Inisiatif ini perlu diperbanyak dan dilakukan lebih sering, mumpung kemarau belum mencapai puncaknya.
Selain perkara orang, hal yang tak kalah penting adalah peralatan pemadaman api. Saya mendapatkan informasi beberapa daerah ‘langganan’ kebakaran tak kunjung melengkapi peralatan yang kurang.
Kebakaran kerap membesar karena kurangnya sarana dan prasarana wajib. Ini terjadi di lahan milik pemerintah maupun swasta. Mulai dari helm keselamatan hingga pompa portabel, ada saja yang kurang.
Seluruh pihak yang menguasai hutan lahan harus menengok kembali ketersediaan serta kelayakan peralatan mereka. Kelambanan bertindak berisiko mempengaruhi intensitas kebakaran, terutama jika musim kemarau mencapai puncaknya.