Menu Close
EEAAO.

‘Everything Everywhere All at Once’ dan film Oscar tahun 2023 tunjukkan adanya tren penggunaan bahasa asing di Hollywood

Pada penghargaan akademi Oscar ke 95 ini, Film karya Daniel Scheinert dan Daniel Kwan, Everything Everywhere All at Once, memborong penghargaan dalam berbagai kategori yaitu akting, editing, sutradara, dan penyuntingan film terbaik.

Film aksi sains fiksi yang ekspansif dan eksentrik ini menjadi terkenal karena keabsurdannya dalam menggambarkan ide multi semesta di dalam filmnya, namun dari keanehan itu, ceritanya masih sangat berhubungan dengan realita yang ada di masyarakat: dalam satu adegan yang terkoreografi dengan baik di Everything Everywhere, terdapat tiga bahasa yang dibicarakan oleh 3 generasi dari satu keluarga imigran yang semrawut tersebut ketika sedang makan malam.

Sebagai seorang ahli bahasa, aku tertarik kepada bagaimana para penulis dan sutradara menggunakan bahasa di film ini untuk lebih dari sekadar menunjukan adanya dialog antar karakter: bahasa dan subtitle juga dapat menunjukan karakter, menentukan keadaan emosional, dan intelektual sebuah adegan dan ‘membumikan’ cerita fiksi agar sesuai dengan realitas.

Penggunaan bahasa dan subtitles non bahasa inggris yang meningkat menunjukan adanya tren mengangkat bahasa yang realis di Hollywood dan penerimaan secara luas keragaman bahasa dalam masyarakat global.

Namun para pembuat film juga harus menentukan skala prioritas antara mencapai tujuan naratif atau mencapai tujuan audiens. Dengan mempelajari berbagai ideologi yang berbeda antara pembuat film, kita bisa kadang-kadang menemukan hubungan antara bahasa asing dengan kejahatan.

Tiga orang sedang memegang piala Oscar.
Jonathan Wang, di sisi kiri, bersama Daniel Kwan dan Daniel Scheinert berpose dengan piala Oscar mereka dalam kategori penyuntingan film terbaik untuk film ‘Everything Everywhere All at Once’ pada 12 Maret 2023, di Los Angeles. Kwan dan Scheinert juga memenangkan penghargaan pada kategori naskah dan sutradara terbaik di film tersebut. (AP Photo/John Locher)

Bahasa-bahasa penerobos batas

Seperti pembuat film asal Korea Selatan Bong Joon-Ho katakan dalam pidato penerimaan penghargaan Golden Globes untuk filmnya Parasite (2019), ketika para audiens telah berhasil melewati batas tinggi berupa ‘subtitle,’ dunia film yang beragam akan menyambut.

Menceritakan cerita yang otentik dari dunia yang modern, global, dan multikultur ini membutuhkan bahasa bahasa yang dipakai oleh masyarakat di berbagai belahan dunia ini. Maka dari itu, di saat yang tertentu, subtitles adalah hal yang dibutuhkan.

Di adegan lainnya dalam Everything Everywhere dimana semua bahasa lisan yang digunakan untuk berbicara dihindari sama sekali, terdapat 2 buah batu yang berbicara diam diam sambil memandangi pemandangan tebing coklat yang tandus kemudian diikuti dengan munculnya subtitle berwarna hitam dan putih yang muncul di awan yang biru. Adegan yang simpel namun sangat emosional tersebut ternyata, entah bagaimana caranya, dapat mengundang banyak tangis orang orang yang menontonnya.

Walaupun film karya Tod Field, Tár, tidak memenangkan satu penghargaan Oscar apapun pada tahun ini, Aktris Cate Blanchett memenangkan beberapa penghargaan lainnya dalam kategori akting untuk perannya sebagai konduktor orkestra. Di antara beberapa adegan bagus di film tersebut, sang maestro hanya menggunakan bahasa Jerman dalam suatu adegan latihan orkestra dan subtitle tidak dipakai sama sekali.


Read more: Why we are fascinated by the Oscar-nominated 'Tár,' a story of rare female power in classical music


Audiens yang bukan pembicara bahasa Jerman mungkin tidak mengerti sepatah kata pun yang diucapkan oleh Blanchett, namun adegan tersebut memang sengaja dibuat untuk mendorong para penonton untuk fokus pada aspek visual dari komunikasi dari karakter tersebut: ekspresi muka, gerakan fisik dan tremor, pembangunan tensi yang terdengar maupun terlihat antara sang konduktor dengan orang-orang di sekitarnya.

Peforma ala Oscar dari lagu “Naatu Naatu” dari film India berbahasa Telugu berjudul RRR, yang menerima tepuk tangan dari banyak khalayak adalah bukti bahwa performa dapat melewati batasan-batasan bahasa dengan menonjolkan elemen elemen kreatif yang lebih dari sekedar pengucapan kata.

Rahul Sipligunj and Kaala Bhairava menyanyikan ‘Naatu Naatu,’ pada perhelatan Oscar tahun ini.

Dua sisi dari representasi bahasa

Seorang pria sedang tersenyum di depan sebuah latal bergambar.
Aktor Tenoch Huerta mempelajari bahasa Yucatec Maya untuk perannya dalam film Black Panther: Wakanda Forever.‘ (Shutterstock)

Sisi positif dari representasi bahasa adalah para sutradara/pembuat film dapat secara bebas menggunakan bahasa-bahasa tersebut untuk menunjukkan karakter dan keadaan emosional dan intelektual dari berbagai adegan. Penggunaan bahasa-bahasa tertentu juga bisa digunakan untuk mempromosikan bahasa bahasa yang terancam punah dan juga menghilangkan stereotip negatif yang menempel ke suatu bahasa tertentu, terutama untuk menghilangkan asosiasi antara bahasa asing dengan sesuatu yang jahat.

Para pasukan bawah laut dari kerajaan Talokan dalam film karya Ryan Coogler Black Panther: Wakanda Forever tidak sekalipun terlihat berbicara bahasa inggris. Dalam film yang termasuk dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) tersebut, kerajaan fiksi atlantis yang ada diganti menjadi kerajaan yang terinspirasi dari masyarakat Meso Amerika.

Bahasa yang orang-orang Talokan gunakan dalam film tersebut adalah bahasa yang ada di dunia nyata bernama Yucatec Maya, digunakan oleh masyarakat-masyarakat pedalaman di Guatemala, Belize dan Meksiko Selatan.

Menyebarkan sebuah bahasa kesukuan

Yucatec Maya adalah salah satu rumpun bahasa maya yang terstigmatisasi dan termarginaliasi sebagai akibat dari kolonialisme yang berkepanjangan.

Namun arahan kreatif Coogler untuk menggunakan bahasa Yucatec Maya sebagai bahasa yang digunakan orang Talokan serta penggunaan secara masif kultur Mayan dan Aztec sebagai inspirasi aspek visual telah memberikan suatu rasa bangga bagi para penikmat film berbahasa Maya yang melihat kultur dan bahasa mereka digunakan secara luas.


Read more: National Indigenous Languages Day: Keeping languages thriving for generations to come


Dua karakter minor yang kuat seperti Namora dan Attuma berbicara hanya dalam bahasa Yucatec Maya di sepanjang film tersebut, diikuti dengan subtitle bahasa inggris yang ditunjukan dengan warna biru yang elegan.

Ryan Coogler membahas Wakanda Forever dan aspek representasi nya di sebuah interview bersama Geek Culture.

Perilaku antagonisme?

Namun, karakter-karakter yang berbahasa Yucatec Maya tersebut kebanyakan adalah penjahat di film Black Panther yang digambarkan sebagai karakter yang sangat kuat dan memiliki kekuatan fisik yang tidak memiliki tandingannya. Walaupun karakter tersebut bukan merupakan karakter yang memiliki satu dimensi, bahasa yang mereka gunakan malah digunakan untuk menunjukan bahwa mereka adalah karakter dengan perilaku antagonis daripada sekadar menunjukan bahasa yang dipakai secara normal oleh orang-orang pedalaman.

Hal ini sangat terlihat jika kita membandingkannya dengan karakter-karakter protagonis yang ada di film tersebut yaitu orang orang Wakanda yang kebanyakan berbicara dalam bahasa Inggris. Walaupun bahasa resmi orang Wakanda, Xhosa, adalah bahasa resmi orang afrika selatan, di film Wakanda Forever bahasa tersebut hanya digunakan untuk sapaan dan obrolan-obrolan yang tak terlalu penting. Tidak seperti di film karya James Cameroon, Avatar: The Way of Water, para penonton tidak pernah secara eksplisit diberi tahu bahwa apa yang mereka dengarkan di film tersebut sudah diterjemahkan.

Segar untuk dilihat, mendengar lebih banyak bahasa

Di Avatar, yang mendapat penghargaan Oscar tahun ini sebagai film dengan efek visual terbaik, semua protagonis yang ada berbicara bahasa Na'vi, sebuah bahasa yang digunakan oleh semua spesies di sebuah planet fiksi bernama Pandora.

Kebanyakan dari bahasa tersebut sudah diterjemahkan dalam pikiran naratornya, Jake Sully. Dengan menggunakan trik eksposisi yang cerdik, karakter utama di film tersebut menarasikan bagian awal film tersebut dan menjelaskan bahwa dia mempelajari bahasa alien tersebut secara baik sehingga bahasa tersebut terdengar seperti bahasa Inggris bagi dirinya.

Dengan cara ini, para audiens sudah tidak perlu untuk membaca keseluruhan film tersebut dan para aktor dapat berbicara hanya dengan bahasa Inggris tanpa mengorbankan realisme dari semesta sains fiksi tersebut.

Sudah menjadi hal yang menyegarkan untuk melihat, di beberapa tahun kebelakang ini, banyak produksi film yang berbahasa non inggris dan menggunakan subtitle mendapatkan kesuksesan komersial di tempat yang mayoritas orangnya berbicara bahasa Inggris. Masih ada banyak ruang bagi dunia perfilman untuk fokus terhadap keragaman bahasa dan juga keaslian karakter yang berbicara tanpa mengikutsertakan kiasan-kiasan yang negatif.

Dan saya yakin para audiens tidak akan menolak untuk melihat para kaum Na'vi lagi di film Avatar 3.


_Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now