Menu Close

Gagalnya sistem kesiapsiagaan membawa dunia pada pandemi COVID-19

Masih jauh dari genggaman? Igor Golovniov/SOPA Images/Sipa USA

Selama pandemi COVID-19 ini, kita banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti “mengapa pandemi bisa terjadi?”, “kapan pandemi akan berakhir?”, dan “apa yang harus dilakukan untuk mencegah kejadian ini terulang lagi?”.

Dari sudut pandang keilmuan kesehatan global, pandemi bukanlah kejadian alami melainkan disebabkan kegagalan penerapan sistem kesiapsiagaan pandemi (pandemic preparedness) sedari awal.

Bahkan upaya untuk mengakhirinya pun tidak lepas dari tekanan politik global.


Read more: Indonesia belum punya kurva epidemi COVID-19: kita harus hati-hati membaca klaim pemerintah kasus baru melambat


COVID-19: gagal sedari awal

Kesiapsiagaan atau preparedness adalah sebuah paradigma baru dalam disiplin ilmu kesehatan masyarakat global.

Berbeda dengan metode kesehatan masyarakat klasik yang menggunakan catatan statistik kejadian wabah di masa lalu, kesiapsiagaan menggunakan model imaginative techniques of enactment yang meliputi serangkaian simulasi dan skenario terhadap ancaman biologis yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Tujuan utama dari paradigma ini adalah untuk memandu sistem peringatan dini dan memitigasi kelemahan-kelemahan sistem kesehatan agar dapat merespons berbagai kejadian biologis dengan potensi bencana global.

Celia Lowe, antropolog yang meneliti penerapan kesiapsiagaan pandemi di Indonesia saat wabah flu burung pertengahan dekade lalu, menjabarkan sistem ini dalam empat elemen utama.

  1. Kejadian biologis, yaitu infeksi virus terhadap tubuh manusia. Infeksi adalah kejadian biologis dan alami, dan tidak selalu menghasilkan kekacauan global seperti COVID-19 ini.

  2. Identifikasi kasus melalui prosedur medis. Identifikasi kasus ini tidak hanya untuk melacak patient zero (korban pertama), tetapi juga untuk memahami penyebaran infeksi pada lingkup lokal.

  3. Pemberitahuan pada otoritas internasional yang melibatkan instansi pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kesehatan), penyedia layanan kesehatan (dokter dan rumah sakit), dan ilmuwan melalui publikasi-publikasi ilmiah. Ini dilakukan untuk memberitahu koordinator kesehatan global, yaitu World Health Organization (WHO).

  4. Intervensi global yang dilakukan serentak melibatkan dana, fasilitas, dan sumber daya manusia dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional.

Jika sistem ini berjalan dengan lancar, maka skenario ideal adalah seperti berikut ini.

Ketika kasus terjadi dan segera diidentifikasi, pemerintah segera memberitahu Badan Kesehatan Dunia (WHO). Perhatian global akan dipusatkan di tempat penyakit itu berawal (ground zero); tenaga medis akan segera diterjunkan; dan pengembangan obat-obatan dan vaksin segera dilakukan dengan target populasi di area tersebut.

Bahkan jika vaksin dan obat-obatan masih belum dapat dikembangkan, setidaknya penularan virus ditahan di tempat penyebarannya, ditangani bersama di sana, dan diakhiri di sana juga.

Ditinjau dari perspektif kesiapsiagaan ini, COVID-19 menunjukkan kegagalan sistem sedari awal.

Infeksi pertama terjadi di Wuhan, China, terlambat mendapat perhatian global. Bisa jadi, kita saat itu tidak mengira bahwa sistem pandemic preparedness di negara maju seperti Cina bisa kacau.

Pemerintah Cina juga disebut menutup-nutupi kejadian wabah di Wuhan pada Desember 2019 sehingga ketika wabah mulai menyebar ke luar China, intervensi global sudah sangat terlambat.

Belum lagi banyak pengambil kebijakan yang meremehkan potensi pandemi pada awal-awal penyebarannya, termasuk di Indonesia. WHO juga terkesan limbung dan tidak mendapat kepercayaan penuh dari negara-negara anggotanya dalam penerapan sistem preparedness ini.

Hasilnya adalah kekacauan luar biasa yang kita lihat saat ini: sistem sosial dan ekonomi dunia lumpuh, misi kesehatan transnasional sangat sulit dilakukan karena pemerintah dipaksa fokus pada urusan domestik mereka sendiri, dan sirkulasi bantuan medis ke negara-negara berkembang menjadi tersendat.

Ada satu logika sains yang menjadi dasar dari pernyataan pakar-pakar kesehatan global terkait pandemik: infeksi virus memang kejadian biologis biasa, tetapi pandemi bukanlah kejadian alami; pandemi disebabkan oleh kegagalan sistem.


Read more: Mengapa rumah sakit kewalahan hadapi pandemi COVID-19 dan apa dampaknya bagi keselamatan pasien


Harapan pada vaksin

Hingga saat ini, masih banyak yang berpikir bahwa natural herd immunity (kekebalan kelompok alami) adalah cara terbaik untuk mengakhiri pandemi.

Namun banyak juga yang menolak; mekanisme pembiaran seperti ini bisa menyebabkan jutaan nyawa melayang sementara tidak ada yang bisa memprediksi kapan dan berapa lama kekebalan kelompok ini akan terbentuk dan bertahan. Sistem kesehatan juga akan kelabakan dengan banyaknya korban yang jatuh dari proses natural herd immunity ini.

Harapan kita yang tersisa untuk mengakhiri pandemi dengan aman adalah vaksin.

Kemajuan ilmu membuat pengembangan vaksin kini semakin baik dan sudah mulai meninggalkan metode konvensional seeding (pembibitan), cultivating (pengembangbiakan di dalam reaktor), dan harvesting (panen).

Perkembangan keilmuan mikrobiologi dan biologi molekuler telah banyak memangkas waktu produksi vaksin.

Tiga perusahaan vaksin AS, Moderna, Pfizer, dan Inovio, misalnya, menggunakan teknologi berbasis genetika untuk mengembangkan vaksin.

Kandidat vaksin Moderna (mRNA-1273) dan Pfizer (BNT-162) menggunakan messenger RNA yang akan memberi instruksi sel-sel tubuh untuk memproduksi antigen terhadap SARS-CoV-2. Kandidat vaksin Inovio (INO-4800) menggunakan DNA sintetik dengan tujuan yang sama.

Teknologi-teknologi berbasis genetika ini memungkinkan produksi kandidat vaksin untuk tahapan pre-klinis dalam hitungan hari saja. Tahapan pre-klinis ini meliputi persiapan antigen, penyiapan konsep vaksin, hingga evaluasi awal vaksin menggunakan media binatang yang semuanya dilakukan di dalam laboratorium; sementara tahapan klinis adalah uji coba vaksin di tubuh manusia.

Namun pengembangan kandidat-kandidat vaksin ini masih jauh dari selesai; kita harus menunggu produksi massal vaksin COVID-19 setidaknya hingga tahun depan.

Moderna baru saja merampungkan fase pertama uji klinis mereka dan sedang menunggu izin dari badan pengawas makanan dan obat-obatan AS (Food and Drug Administration, US FDA), untuk menuju ke fase uji klinis kedua yang akan melibatkan sekitar 600 sukarelawan.

US FDA memang mensyaratkan setidaknya tiga fase uji klinis. Badan itu mensyaratkan bahwa pada fase ketiga harus melibatkan ribuan sukarelawan menguji keamanan kandidat vaksin.

Inovio baru memulai fase satu uji klinis melibatkan 40 orang sukarelawan pada awal April.

Di luar AS, banyak juga perusahaan farmasi dan bioteknologi yang juga berkompetisi mengembangkan vaksin. Salah satunya adalah tim dari University of Oxford menggunakan protein dari ‘mahkota’ SARS-CoV-2, disebut CoV Spike glycoprotein, untuk mengembangkan vaksin mereka. Namun belum ada yang berani menjamin ketersediaan vaksin untuk publik setidaknya hingga tahun depan.

Di Indonesia, pemerintah menunjuk Lembaga Biologi Molekuler Eijkman memimpin konsorsium bersama Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, PT Bio Farma, dan beberapa universitas untuk mengembangkan vaksin.

Bagaimana vaksin akan didistribusikan?

Kita belum tahu pasti bagaimana regulasi distribusi vaksin, namun beberapa pemimpin negara tempat pengembangan vaksin sedang dilakukan, seperti AS, China, dan India, telah menegaskan bahwa mereka akan menggunakan pendekatan zero sum mentality dengan mendahulukan warga negara mereka sendiri sebelum mendistribusikan vaksin ini ke luar.

Ketiga negara ini, ditambah Rusia, juga mangkir dari pertemuan virtual tingkat tinggi yang membahas distribusi vaksin secara global minggu lalu.

Bisa jadi, suhu politik global ini menjadi kabar buruk bagi mereka yang akan bergantung pada kiriman vaksin dari negara-negara tadi.

Tapi ini juga merupakan pelajaran bagi kita bahwa di tengah mobilitas global dan interkoneksi yang tinggi, kegagalan sistem kesehatan global masih bisa terjadi.

Seluruh aktor yang terlibat dalam sistem pandemic preparedness dunia: ilmuwan, dokter dan rumah sakit, pemerintah daerah dan nasional, hingga WHO, harus berbenah.

Jika sistem preparedness multilateral dan multisektoral ini tidak segera dibenahi atau jika beberapa negara masih enggan menjalankan sistem ini, bisa jadi wabah COVID-19 ini bukan satu-satunya pandemi yang kita alami dalam Abad ke-21 ini.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now