Menu Close

George Soros lepas harta ke anak: wariskan filantropi, donasi miliaran dolar, serbuan antisemitisme dan teori konspirasi

George Soros
George Soros pada sebuah acara di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2006. Adrin Shamsudin/shutterstock

George Soros, investor miliarder sekaligus filantropis terkemuka, menyerahkan kendali bisnisnya yang sebesar US$25 miliar (sekitar Rp 375 triliun), termasuk Open Society Foundations, kepada salah satu putranya, Alexander Soros.

Sebagai sosiolog yang meneliti tentang imigran dan minoritas di Eropa serta teori-teori konspirasi tentang mereka, saya mempelajari bagaimana Soros menjadi kambing hitam dan momok bagi para nasionalis dan populis, sekaligus target bagi orang-orang yang membenci dan menyebarkan pandangan antisemitisme (sikap permusuhan terhadap orang-orang Yahudi).

Teori-teori konspirasi tak berdasar kadang mengaburkan warisan Soros sebagai salah satu donatur terbesar dunia untuk tujuan seperti pendidikan tinggi, hak asasi manusia, dan demokratisasi negara-negara bekas komunis di Eropa.

Sukses setelah menderita

Lahir pada 1930 di keluarga Yahudi Hungaria, Soros selamat dari pendudukan Nazi dan Holocaust. Usai Perang Dunia II, Soros pindah dari Budapest ke Inggris dan berkuliah di London School of Economics sembari bekerja paruh waktu di kerjaan-kerjaan berupah rendah. Ia berimigrasi ke Amerika Serikat (AS) pada 1956 dan memperoleh kewarganegaraannya lima tahun kemudian.

Soros menjadi investor dan manajer dana investasi sukses pada dekade 1970an. Memasuki dekade 1990an, ia telah bergelimang harta dan memantapkan dirinya sebagai salah satu pemodal penting dunia.

Namun, dedikasinya pada filantropi dan dukungannya pada kebebasan berpolitik yang membuatnya dikenal orang-orang.

Filantropi dalam jumlah besar

Pada 1980an, Soros memulai kontribusinya terhadap gerakan politik dan sosial untuk menggeser pemerintahan komunis dengan masyarakat demokratis di negara-negara Eropa Timur. Menyadari pentingnya pergerakan akar rumput dalam membuat perubahan, dukungannya memungkinkan banyak aktivis untuk melawan opresi dan mengadvokasi hak asasi manusia.

Dia juga melakukan donasi besar-besaran untuk mendukung pendidikan.

Aksi filantropi pertama Soros adalah ketika pada 1979, ia mendanai beasiswa untuk para pelajar kulit hitam di Afrika Selatan, yang kala itu masih menerapkan kebijakan apartheid. Pada 1980an, ia membantu mempromosikan pertukan ide di Hungaria Komunis dengan mendanai kunjungan para pemikir libera Hungaria ke universitas-universitas Barat.

Ketika dia mendonasikan $250 juta ke Central European University di Budapest pada 2001, sumbangannya menjadi yang terbesar untuk hibah pendidikan kala itu.

A middle-aged man in a suit and tie holds a book.
George Soros telah menyumbangkan jutaan dolar untuk mendukung demokrasi di Uni Soviet dan Eropa Timur pada tahun 1991. AP Photo

Soros mendirikan apa yang sekarang dikenal sebagai Open Society Foundations pada 1993. Nama jaringan hibah internasional ini terinspirasi oleh buku The Open Society and Its Enemies (Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya) yang ditulis Karl Popper pada 1945. Popper berargumen bahwa individu berkembang pesat dalam masyarakat yang terbuka karena mereka dapat mengekspresikan diri dengan bebas dan menguji ide-ide mereka, sementara masyarakat yang tertutup akan berujung pada kebuntuan.

Secara luas tujuan dari sebagian besar filantropi Soros adalah untuk mendukung masyarakat yang toleran, dengan pemerintah yang akuntabel dan memungkinkan setiap orang untuk berkampanye, memprotes, menyumbang kepada kandidat yang mereka sukai atau bahkan mencalonkan diri.

Kini, yayasan-yayasan Soros mendukung organisasi hak asasi manusia di lebih dari 100 negara. Programnya membiding berbagai macam masalah global, seperti darurat kesehatan masyarakat hingga pertumbuhan ekonomi di negara-negara berpenghasilan rendah.

Soros masuk ke dalam 500 orang terkaya di dunia versi Bloomberg, dengan kekayaan pribadi melebihi $7 miliar per 2023. Akan tetapi, hartanya bisa jauh lebih besar seandainya ia tak merelakan $32 miliar untuk Open Society Foundations sejak 1984.

Mitos konspirasi antisemitisme

Dukungan Open Society Foundations terhadap gerakan-gerakan progresif seperti America Votes dan Demand Justice memantik amarah para konservatif yang tak sepakat dengan tujuan gerakan-gerakan tersebut.

Tak hanya itu, kekayaan dan pengaruh Soros membuatnya menjadi target dari berbagai teori konspirasi.

Ia digambarkan sebagai dalang yang menggerakkan peristiwa-peristiwa di dunia dari balik layar demi keuntungannya sendiri. Tuduhan-tuduhan tak berdasar ini kerap menyasar identitasnya sebagai keturunan Yahudi, memicu suara-suara kebencian dan ekspresi antisemit yang telah berumur ratusan tahun.

Saat arus pengungsi dari Suriah masuk ke Eropa pada 2015, misalnya, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orbán menuduh Soros memiliki rencana jahat untuk memfasilitasi “pengambilan alih Eropa oleh Islam” dengan para migran Suriah.

Mantan Perdana Menteri Slowakia Robert Fico juga menyalahkan Soros atas protes kebebasan pers yang terjadi di negaranya setelah pembunuhan jurnalis investigasi Ján Kuciak dan tunangannya pada 2018.

Pada 2015, partai sayap kanan All-Polish Youth membakar patung Soros yang berpakaian seperti Yahudi Hasid dan memegang bendera Uni Eropa, meskipun sang filantropis itu dibesarkan oleh keluarga yang tidak religius, tidak pernah berpakaian dengan gaya sekte Hasidik ultra-Ortodoks dan bukan pendukung kuat isu-isu terkait Yahudi.

Seperti yang saya jelaskan dalam sebuah bab buku tentang nasionalisme dan populisme, Soros juga banyak diserang oleh berbagai teori konspirasi AS. Kevin McCarthy, politisi asal California yang kini jadi juru bicara DPR, menuduh Soros berusaha membeli pemilu paruh waktu 2018. Pada tahun yang sama, pemimpin Asosiasi Senapan Nasional, Wayne LaPierre menuding Soros merencanakan gerakan sosialis untuk mengambil alih AS, memantik kembali mitos antisemitisme awal abad ke-20 tentang plot Yahudi-Bolshevik.

Pada tahun itu juga, Donald Trump yang saat itu menjawabat sebagai presiden mengunggah cuitan keliru bahwa Soros mendanai aksi demonstrasi terhadap penunjukkan Brett Kavanaugh sebagai Hakim Mahkamah Agung.

Teori-teori tak berdasar ini juga menginspirasi aksi para ekstremis: Pada 2010, ekstremis sayap kanan merencanakan serangan ke yayasan progresif asal San Fransisco, Tides Foundation. Rencananya gagal dan berujung pada baku tembak dengan polisi. Ia kemudian dihukum 401 tahun penjara. Ekstremis itu salah percaya bahwa Soros menggunakan Tides “untuk semua jenis aktivitas jahat”.

Pada 2018, ekstremis lainnya mengirimkan bom pipa ke rumah Soros di pinggiran kota New York. Tak ada yang terluka dalam peristiwa ini, namun pelakunya divonis 20 tahun penjara.

Banyak ekstremis sayap kanan lainnya yang berupaya menjustifikasi serangan mereka terhadap orang-orang Yahudi dan kelompok minoritas lainnya dengan teori konspirasi anti-Soros – termasuk pria yang membunuh 10 warga kulit hitam di sebuah supermarket pada 2022.

A subway station with multiple posters featuring the face of a smiling man over a row of empty seats.
Pemerintah Hungaria menggunakan foto George Soros yang sedang tersenyum untuk melancarkan kampanye anti-imigrasi, yang menurut para kritikus menyerbarkan pesan antisemit. AP Photo/Pablo Gorondi

Warisan yang kompleks

Tak semua kritik terhadap Soros bersifat antisemit.

Meski saya percaya bahwa dukungan Soros terhadap kebebasan dan komitmennya untuk memberdayakan kelompok termarginalisasi layak dipuji, saya juga berpikir bahwa wajar saja mempertanyakan sumber kekayaan Soros dan metode yang ia gunakan untuk mengumpulkannya.

Selayaknya miliarder lain, kekayaan keluarga Soros membantu mengabadikan ketimpangan pendapatan dan pengaruh politik yang terpusat di tangan orang-orang kaya. Saya percaya bahwa pengaruh besar ini mengganggu jalannya demokrasi yang sesungguhnya.

George Soros pastinya telah membantu mendanai kegiatan yang telah memupuk nilai-nilai demokrasi melalui sumbangan amal. Namun demikian, dukungan finansialnya dalam dunia politik–termasuk dengan memberikan hadiah bagi tujuan dan kandidat Partai Demokrat seperti Mantan Presiden Barack Obama, Mantan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dan Presiden Joe Biden – telah membuatnya menjadi sosok yang terpolarisasi.

Ketika para mega donor dari preferensi politik apa pun memberikan sumbangan besar kepada seorang kandidat atau partai, hadiah mereka dapat membentuk agenda dan mengganggu proses demokrasi.

Dalam wawancara pertamanya sebagai pimpinan Open Society Foundations, Alex Soros yang berusia 37 tahun mengatakan pada The Wall Street Journal bahwa ia “lebih politis” daripada ayahnya dan dia kemungkinan akan memberikan donasi politik yang memajukan hak memilih dan hak aborsi.

Masih belum jelas bagaimana putra Soros tersebut berencana untuk menghentikan gambaran jahat tentang kegiatan filantropi keluarganya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now