Menu Close
Perdana Menteri Australia Scott Morrison terlihat setelah pelantikan jajaran kabinet menterinya di Canberra. Lukas Coch/AAP

Harapan Indonesia untuk perdana menteri baru Australia Scott Morrison

Seminggu setelah dilantik, Perdana Menteri Australia Scott Morrison akan berkunjung ke Indonesia pada Jumat minggu ini sebagai kunjungan luar negeri pertamanya.

Dalam kunjungan tersebut, Morrison dijadwalkan bertemu Presiden Joko Widodo untuk mengumumkan kesepakatan perdagangan bebas dan membahas kerja sama bidang keamanan antara kedua negara.

Namun, muncul beberapa pertanyaan mendasar: seberapa dalam Indonesia mengenal Morrison? Bagaimana kepemimpinannya akan berdampak pada hubungan bilateral Indonesia dan Australia? Apa harapan Indonesia terhadap Morrison?

Eksposur media

Kemenangan Morrison sebagai perdana menteri setelah kekacauan internal Partai Liberal minggu lalu berhasil menarik perhatian media massa di Indonesia. Pemantauan seminggu terakhir menunjukkan bahwa media cetak seperti Kompas, The Jakarta Post dan beberapa media daring ternama seperti (Detik,Okezone dan Kumparan memberitakan kemenangan Morrison secara intensif.

Eksposur media Jakarta mengenai kemenangan Morrison menunjukkan meningkatnya kesadaran publik terhadap politik Australia. Eksposur ini bahkan lebih intensif dibanding pemberitaan media di Indonesia sewaktu pemilihan umum federal Australia pada 2016.

Media di Indonesia memandang volatilitas kepemimpinan di pemerintahan Australia sebagai hal yang biasa. Sebagian media juga memandang tumbangnya Malcolm Turnbull minggu lalu dapat berpotensi menunda lebih jauh negosiasi perjanjian bilateral antarkedua negara.

Mengenal Morrison

Selama ini, Indonesia cenderung lebih sering mendengar nama-nama politikus Australia seperti Julie Bishop, Kevin Rudd, dan Julia Gillard. Nama Morrison jarang terdengar dan baru mencuat setelah terpilih sebagai perdana menteri.

Selain itu, tidak semua orang Indonesia mengetahui bahwa terpilihnya Morrison adalah hasil instabilitas politik di internal Partai Liberal.

Dari rekam jejaknya, Indonesia mengetahui peran Morrison dalam kebijakan imigrasi Australia yang kontroversial, “stop the boat”. Morrison mendesain kebijakan ini sebagai upaya untuk menghalau kedatangan pencari suaka ke Australia ketika dia menjabat sebagai Menteri Imigrasi pada 2013-2014.

Pemerintah Indonesia selalu konsisten menyatakan keberatan terhadap kebijakan ini. Indonesia berpendapat bahwa Australia semestinya tidak membuat kebijakan unilateral dan seharusnya negara tetangga tersebut lebih mengutamakan pendekatan yang berkelanjutan terhadap isu pencari suaka.

Morrison juga sempat ditengarai berperan dalam memanfaatkan kebijakan anti-Islam untuk memenangkan Partai Liberal dalam pemilihan umum 2013.

Terlepas dari kemungkinan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam melihatnya sebagai sosok yang pragmatis dan tidak ramah terhadap Islam, Morrison masih memiliki kesempatan untuk membuka lembaran baru dalam meningkatkan kualitas hubungan bilateral Indonesia-Australia. Sejauh ini, media Jakarta hanya terfokus pada pembahasan peran Morrison dalam kebijakan imigrasi.

Harapan terhadap Morrison

Kunjungan Morrison ke Jakarta adalah gestur simbolis yang efektif untuk menunjukkan seberapa penting Indonesia bagi Australia.

Terlepas dari kedekatan geografis antara keduanya, Australia hanya menempati peringkat ke-12 dalam daftar destinasi ekspor Indonesia pada 2016-2017. Sebaliknya, Indonesia merupakan negara di urutanke-10 sebagai tujuan ekspor Australia.

Selama kunjungannya di Jakarta, Morrison diagendakan untuk mengumumkan perkembangan perjanjian kemitraan ekonomi Indonesia dan Australia yang telah mencapai kesepakatan mendasar, meskipun beberapa sumber meragukan bahwa perjanjian tersebut akan ditandatangani. Kesepakatan ini dikenal dengan nama Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).

IA-CEPA sendiri telah melalui proses negosiasi yang panjang, kompleks, dan melelahkan. Hal ini disebabkan karena preferensi Australia untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi dalam perjanjian tersebut.

Dalam proses negosiasi, Australia menginginkan kepemilikan penuh dalam investasi di sektor pendidikan tinggi saat membuka cabang perguruan tinggi mereka di Indonesia. Awalnya, Indonesia menawarkan 41% kepemilikan terhadap investasi di sektor ini. Perkembangan menunjukkan bahwa IA-CEPA telah menyepakati kepemilikan Australia dapat meningkat menjadi 67%.

Hal serupa terjadi di sektor kesehatan dan pertanian. Australia menginginkan liberalisasi yang lebih menyeluruh di dua sektor ini. Pada Juli 2018, kedua negara telah memasuki negosiasi putaran ke-12 dan masih meninggalkan beberapa kebuntuan teknis dalam negosiasi pada beberapa kelompok kerja, yang berpotensi menyebabkan penundaan kesepakatan lebih lanjut.

Penting untuk dicatat bahwa Australia tidak selalu menjadikan perjanjian perdagangan dalam prioritas untuk menciptakan keuntungan ekonomi bagi negara. Australia juga melihat perjanjian perdagangan sebagai salah satu instrumen dalam politik luar negeri. Pendekatan ini dapat dilihat dalam sejumlah perjanjian perdagangan Australia yang telah disepakati dengan beberapa negara mitra, seperti Korea Selatan, Jepang dan Amerika Serikat.

Mempertimbangkan kecenderungan tersebut, sudah selayaknya Australia tidak hanya terfokus pada prioritas kalkulasi ekonomi dalam negosiasi IA-CEPA. IA-CEPA perlu secara lebih serius dilihat sebagai perjanjian yang tidak hanya mengatur liberalisasi tarif, mekanisme dagang, dan berbagai hal teknis lainnya.

Perjanjian ini semestinya dimanfaatkan sebagai instrumen politik luar negeri yang dapat memberikan dampak strategis terhadap hubungan bilateral kedua negara pada masa depan. Dalam proses negosiasi IA-CEPA, kedua negara juga perlu melibatkan peran kelompok masyarakat sipil.

Dalam hal kebijakan imigrasi, Indonesia juga khawatir jika Morrison memutuskan untuk memperkuat kebijakan “turn back the boat”. Kita berharap, semoga kebijakan ini tidak menjadi prioritas Morrison dalam mengelola hubungan Australia dengan Indonesia.

Australia perlu pendekatan yang lebih partisipatif untuk menghadapi isu pencari suaka. Pendekatan ini perlu dilakukan melalui komunikasi intensif dengan negara-negara di sekitar kawasan.

Memang kecenderungan politikus Australia menggunakan isu imigrasi sebagai alat mendulang suara pada pemilihan umum di Australia dapat dipahami. Meskipun demikian, Morrison perlu mengingat bahwa Indonesia telah secara berulang-ulang menegaskan bahwa kebijakan “tow back the boat” adalah pendekatan yang tidak berkelanjutan dalam menciptakan stabilitas kawasan.

Harapan tinggi di masa mendatang

Terlepas dari instabilitas politik pemerintahan federal Australia, hubungan bilateral Indonesia dan Australia sejauh ini tetap dalam kondisi yang baik.

Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara selalu berada dalam ikatan yang kuat dan dalam kerangka kemitraan strategis. Beberapa isu memang sempat membuat ketegangan di antara kedua negara, namun Indonesia dan Australia memiliki tujuan yang sama dalam menciptakan stabilitas kawasan.

Meskipun demikian, instabilitas politik di pemerintahan federal Australia berlangsung bersamaan dengan tren hubungan Indonesia-Australia yang tengah bergeser.

Saat ini, hubungan Indonesia-Australia semakin kuat dengan topangan komunikasi antar masyarakat (people-to-people contact) yang meningkat dan semakin intensif.

Hal ini terlihat dari pembukaan Aussie Banget Corner di beberapa universitas terkemuka di Indonesia. Tersedianya pojok diplomasi ini memudahkan mahasiswa Indonesia untuk memahami lebih dalam mengenai budaya, politik, dan pemerintahan Australia.

Selain itu, dengan skema New Colombo Plan, Indonesia secara konsisten ditempatkan sebagai destinasi terpopuler yang dipilih oleh mahasiswa Australia. Hal ini mendorong peningkatan interaksi yang intensif antara pemuda-pemudi Indonesia dan Australia.

Sayangnya, pergantian kepemimpinan di Canberra tidak selalu menghasilkan perdana menteri yang siap membangun citra Australia di kawasan sebagai negara kekuatan menengah yang baik.

Instabilitas politik Australia menyebabkan para politikus di negara tersebut memiliki agenda politik yang pragmatis, menekankan pada pentingnya memenangkan pemilihan umum selanjutnya. Isu-isu domestik dan intrik politik menjauhkan para politikus di parlemen Australia untuk menerapkan agenda politik luar negeri yang realistis.

Hal inilah yang mendorong Tony Abbott gagal memenuhi janjinya untuk menerapkan pendekatan “More Jakarta Less Geneva”. Abbott bahkan menolak untuk meminta maaf dalam skandal penyadapan di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Morrison diharapkan mampu meneruskan upaya Indonesia dan Australia dalam membangun hubungan bilateral yang semakin kuat. Sebagai mantan Direktur Pelaksana Tourism Australia pada 2004 hingga 2006, Morrison memiliki kapasitas untuk membawa hubungan Indonesia-Australia semakin menarik dan atraktif di masa mendatang.

Beberapa cara yang dapat ditempuh di antaranya adalah menyegerakan kesepakatan IA-CEPA dan memikirkan pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam menghadapi isu pencari suaka.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now