Menu Close
Studi menunjukkan sebagian besar pejabat publik - terutama pemimpin daerah - belum memiliki kapasitas untuk menyusun kebijakan berbasis bukti dan riset. Shutterstock

Indonesia perlu lebih banyak pemimpin yang implementasikan kebijakan berbasis riset

Penggunaan riset adalah aspek penting dalam keberhasilan kebijakan publik. Studi dari Inggris menunjukkan bahwa kajian yang kuat dapat mengidentifikasi masalah dengan lebih tepat dan membantu pemerintah merancang opsi kebijakan yang paling efektif.

Keberhasilan Kepolisian West Midlands, Inggris dalam mengendalikan krisis lalu lintas, misalnya, adalah contoh baik penggunaan kebijakan berbasis bukti.

Kolaborasi mereka dengan Behavioral Insights Team (BIT) - sebuah firma riset di bidang sains perilaku - menghasilkan kebijakan pendidikan etika berkendara yang berhasil menurunkan angka pelanggar batas kecepatan sebesar 20% dan menghemat biaya pengadilan Rp 28 milyar per tahun.

Sayangnya, pembuat kebijakan di Indonesia belum mampu menggunakan riset secara efektif dalam proses perumusan kebijakan.

Sebuah riset tahun 2017, misalnya, menyatakan bahwa sebagian besar pejabat publik - terutama pemimpin daerah - belum memiliki kapasitas untuk membuat kebijakan berbasis data.

Mereka seringkali sekadar ‘meniru’ kebijakan sebelumnya dan hanya melibatkan ahli serta institusi penelitian untuk kepentingan pengeluaran anggaran serta penentuan agenda (agenda setting) politik.


Read more: Pembuatan kebijakan di Indonesia tidak didukung riset berkualitas dan kebebasan akademik


Kebijakan tiruan yang tidak berbasis riset ini merugikan warga negara. Mulai dari korban jiwa akibat kelalaian dalam mitigasi bencana hingga kesalahan arah dalam perumusan kebijakan kesehatan.

Pasca tsunami Selat Sunda tahun 2018 yang mengambil 430 nyawa, misalnya, akademisi mengkritisi bagaimana pemerintah daerah setempat gagal dalam menggunakan berbagai studi - yang bahkan sudah terbit satu dekade sebelumnya - untuk memperbaiki kebijakan mitigasi bencana.

Zulfa Sakhiyya, seorang dosen di Universitas Negeri Semarang yang melakukan studi tentang kebijakan berbasis riset di Indonesia, mengatakan bahwa faktor pemimpin yang peduli dengan data bisa mendorong pembuatan kebijakan yang berbasis riset.

“Kita memang kekurangan figur-figur yang berorientasi data, yang rela berhenti sejenak untuk melihat bukti yang ada,” katanya.

“Inilah kenapa orang-orang dengan scientific temper (perangai ilmiah) tinggi dapat menjadi contoh yang baik di tengah mekanisme pembuatan kebijakan yang kompleks.”

Mendobrak rumitnya mekanisme kebijakan

Rachma Indah Nurbani, seorang peneliti senior di lembaga riset SMERU mengatakan bahwa kerumitan mekanisme kebijakan publik kerap kali menjadi tantangan bagi pejabat publik dalam merumuskan kebijakan yang berbasis bukti.

“Proses ini melibatkan teknokrat, legislator, lembaga daerah, belum lagi terdapat banyak sekali distrik yang tersebar dalam masing-masing 34 provinsi di Indonesia. Aktor-aktor ini menghadapi kompleksitas yang cukup berat,” ungkapnya.

Gambar 1 - Proses panjang yang dilalui aktor-aktor pembuat kebijakan dalam menerbitkan UU Desa Tahun 2014. Hijau menandakan eksekutif, krem legislator, biru organisasi sipil, dan abu-abu kolaborasi. Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK, 2017)

Amalinda Savirani, Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada mengatakan harapan masih terbuka lewat sosok pemimpin dengan perangai ilmiah tinggi dan punya keahlian dalam mendayagunakan riset.

Dalam suatu paper yang pernah ditulisnya, Amalinda menemukan harapan tersebut dalam sosok Bupati Bantul, Idham Samawi.

“Saya meneliti kebijakan Pak Idham. Risetnya tidak aneh-aneh tapi sesederhana selalu berkonsultasi dengan stafnya dan tim ahli. Tim dia pegang sendiri karena tahu sistem pasti lama,” ceritanya.

Waktu itu, studi oleh timnya yang dilakukan pada tahun 2009-2010 menunjukkan penurunan jumlah siswa sekolah dasar (SD) akibat pergeseran demografi yang menyebabkan banyak SD menjadi kosong. Idham memutuskan untuk menggabungkan beberapa SD dan melakukan efisiensi anggaran pendidikan dasar.

“Itu hanya bisa dia lakukan kalau dia punya niat melihat tren data sekolah, penduduk, dan anggaran lalu memproyeksikannya ke depan di Bantul akan seperti apa.”


Read more: Apa yang Indonesia butuhkan untuk membangun ekonomi dengan ilmu pengetahuan?


Zulfa juga memuji beberapa pemimpin daerah yang saat ini menjabat, misalnya Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang menurutnya berhasil dalam penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Meskipun tidak disediakan alokasi khusus untuk pembiayaan penelitian dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Surabaya, Risma mengklaim secara aktif berkolaborasi dengan akademisi dari berbagai universitas di kotanya.

Risma sendiri mendapatkan Penghargaan Pemimpin Daerah Teladan dari Tempo Media Group pada tahun 2017 untuk berbagai kebijakannya yang inovatif.

Meningkatkan perangai ilmiah

Sebuah studi lain dari Inggris tahun 2012 tentang pembangunan kapasitas dalam pembuatan kebijakan mengidentifikasi beberapa aspek penting yang dapat mendorong perangai ilmiah pada seorang pejabat publik - di antaranya kemampuan analitis dan literasi data.

Rachma mengatakan bahwa parameter terbaik yang dapat mewakili kemampuan tersebut adalah level pendidikan.

Meskipun mengakui bahwa seorang akademisi bergelar doktor belum tentu bisa menjadi pemimpin yang baik, ia menekankan pentingnya proporsi pejabat publik yang memiliki gelar tinggi.

“Dalam keterbatasan waktu dan ketidakleluasaan kerumitan sistem [birokrasi], yang dominan dipakai pembuat kebijakan adalah embedded knowledge [pengetahuan yang terakumulasi] - pengalaman mereka dan pendidikan yang mereka raih,” katanya.

“Pentingnya pendidikan bagi pembuat kebijakan adalah pembentukan pola pikir dan kemampuan mengekstrak informasi termasuk riset secara tepat guna.”

Sayangnya, dari 4,3 juta pegawai sipil di Indonesia bahkan hanya setengahnya yang memiliki gelar sarjana (S1), itupun terpusat pada pegawai pemerintah pusat. Sekitar 19% lainnya merupakan lulusan SMA.

Pegawai yang memiliki gelar tinggi hanya berjumlah sekitar 9% untuk S2, dan hanya 0,5% untuk S3. Gelar pasca-sarjana tersebut lagi-lagi terkonsentrasi pada pegawai Kementerian di level nasional.

Membantu pembuat kebijakan mencerna bukti

Dalam pengalamannya berkolaborasi dengan beberapa pemimpin daerah, Rachma menceritakan kenyataan bahwa banyak pejabat publik menuntut data yang sangat spesifik karena kesibukan mereka.

“Kanal pengetahuan yang aksesibel bagi orang sibuk kan yang bisa dibaca dengan cepat. Ringkasan kebijakan dua halaman saja masih dianggap panjang,” katanya.

“Ada beberapa pengalaman kami diminta nota kebijakan yang hanya setengah halaman. Mereka juga meminta langsung ke intinya, "harusnya harga listrik di daerah saya naik atau turun?”, misalnya.“

Sebuah studi dari SMERU mengafirmasi pengalaman Rachma. Terdapat perbedaan fundamental bagaimana pembuat kebijakan dan peneliti memahami bagaimana penyajian bukti ilmiah yang ideal (Gambar 2).

Gambar 2 - Perbedaan persepsi tentang bukti ilmiah antara pembuat kebijakan dan peneliti. (Bachtiar, 2011)

Oleh karena itu, Zulfa juga mengharapkan media di Indonesia untuk dapat menjadi penengah antara dunia akademik dengan pembuat kebijakan.

"Media berada di tengah-tengah dan itu sangat strategis untuk menerjemahkan temuan akademisi dalam bahasa yang lebih aksesibel bagi orang di luar disiplin itu dan juga pengambil kebijakan,” katanya.

“Jadi gap antara penelitian dan penyusunan kebijakan ada di media.”

Yohanes Eko Riyanto, profesor ekonomi di Nanyang Technological University, Singapura sepakat dengan Rachma. Ia juga merasa pemberitaan kebijakan berbasis bukti maupun riset yang mendasarinya akan bermanfaat bagi semua pihak.

“Hasil dari riset maupun kebijakan-kebijakan tersebut sebaiknya banyak dipublikasikan. Pemimpin daerah menjadi lebih akuntabel karena warga bisa mengukur berhasil atau tidak,” katanya.

“Selain mengedukasi publik, walikota dan gubernur lain juga akan terinspirasi untuk melakukan hal yang sama.”

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now