Menu Close
Potensi wisata bawa laut Pantai Dermaga Biru, pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. ANTARA FOTO/Andri Saputra/YU.

Ingin pariwisata lebih berkelanjutan? Ini 5 cara yang bisa dilakukan desa wisata

Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan kewenangan penuh terhadap desa untuk mengelola aset dan meningkatkan perekonomiannya. Hal ini dimanfaatkan oleh banyak desa di Indonesia untuk membangun dan mengembangkan desa wisata.

Desa wisata merupakan bentuk dari pariwisata berbasis komunitas yang mengedepankan konsep keberlanjutan sehingga dinilai mampu mengurangi efek buruk dari pengembangan pariwisata massal yang fokus pada kedatangan wisatawan dalam jumlah besar. Efek buruk ini termasuk berkurangnya sumber daya alam, tercemarnya lingkungan, banyaknya pengalihan fungsi lahan produktif, terjadinya eksploitasi sosial-budaya serta meningkatnya kriminalitas.

Kepopuleran desa wisata terus mengalami peningkatan bahkan pascapandemi COVID-19. Jenis pariwisata ini dinilai memiliki resiliensi tinggi terhadap berbagai macam perubahan sosial seperti perkembangan teknologi, perubahan daya beli masyarakat, bahkan pandemi, karena berbasis masyarakat setempat.

Hal ini meningkatkan jumlah desa wisata baru. Pada tahun 2023, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mencatat adanya 4.674 desa wisata di Indonesia. Jumlah ini telah mengalami peningkatan sekitar 36.7% dari tahun sebelumnya yang hanya 3.419 desa wisata.

Popularitas versus keberlanjutan

Bertambahnya jumlah desa wisata di Indonesia sayangnya belum dibarengi dengan strategi yang matang untuk mempertahankan keberlanjutannya. Desa wisata yang ada sekarang ini cenderung mengikuti tren sesaat.

Keinginan untuk viral dan diserbu banyak wisatawan menyebabkan banyak desa berlomba-lomba membangun berbagai atraksi yang cenderung sama seperti jembatan kaca, sepeda tali, rumah kaca, dan berbagai objek foto unik lainnya yang bukan berasal dari desa itu sendiri.

Kecenderungan ini menyebabkan banyak desa wisata hanya ramai sesaat atau bahkan tidak pernah ramai sekali. Selain itu, ketidaksiapan masyarakat lokal di bidang industri pariwisata juga menjadi salah satu penyebab tidak berkembangnya desa wisata. Kedua hal ini menyebabkan tujuan pembangunan desa wisata yang bersifat berkelanjutan sulit dicapai.

Desa wisata yang diharapkan dapat menjadi solusi dari buruknya pariwisata massal akan menjadi pariwisata massal juga apabila perkembangannya tidak dikontrol dengan baik.

Beberapa pariwisata yang sudah viral, misalnya, mengalami berbagai macam dampak buruk seperti sampah yang menumpuk, kerusakan lingkungan, dan berbagai masalah lainnya.

Apa solusinya?

Agar menjadi model pariwisata yang berkelanjutan, pengembangan desa wisata perlu mengedepankan cara-cara berikut:

1. Fokus pada potensi lokal

Pembentukan desa wisata dapat diawali dengan mengidentifikasi potensi unik serta kearifan lokal untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisata, seperti:

a. Pemandangan alam

Sumber daya alam yang unik dan menarik di desa, seperti keindahan alam, keanekaragaman hayati, gunung, sungai, danau, hutan, dan berbagai lansekap fisik merupakan potensi alami yang tidak dapat direplikasi.

Desa wisata Nglanggeran di Yogyakarta menjadi salah satu contoh di mana keunikan bentang alam gunung api purba menjadi potensi yang unik dan tidak dimiliki oleh desa wisata lainnya.

Pesona Gunung Purba Nglanggeran di Yogyakarta. Ika Hilal/shutterstock.

b. Sosio-kultural

Desa dengan bangunan bersejarah atau arsitektur tradisional, kebiasaan unik masyarakat, serta tradisi atau upacara adat yang khas dapat dikembangkan menjadi sebuah desa wisata.

Dengan potensi budaya dan kultural ini, sebuah desa dapat menciptakan pengalaman wisata yang unik. Salah satu contohnya adalah desa wisata Panglipuran, Bali, yang memiliki aturan adat dalam mengatur tata ruang desa, serta berbagai macam tradisi adat yang unik.

Desa Panglipuran di Bali menawarkan kekayaan dan keunikan budaya pulau Dewata. Eva Afifah/shutterstock.

c. Inovasi

Potensi wisata ini memadukan potensi alam dan sosial yang dimiliki dengan berbagai inovasi agar mampu menjadi desa wisata. Pengembangan ini tidak terbatas pada pembangunan atraksi-atraksi wisata seperti jembatan kaca, tempat foto berbentuk love, tapi juga dapat berupa cerita yang diciptakan agar menarik.

Contohnya adalah cerita mengenai bagaimana sebuah desa bertrasformasi dari permukiman kumuh menjadi desa wisata dengan mengecat warna-warna permukiman tersebut.


Read more: Ini 2 dampak jebakan 'tourist gaze' dalam membangun desa wisata dan solusinya


2. Kualitas daripada kuantitas

Saat ini, pengembangan desa wisata menjadi program pemerintah dan tidak semua berangkat dari potensi yang ada di masyarakat. Akibatnya, perkembangan desa wisata mengalami stagnasi karena tidak dibarengi dengan sarana prasarana maupun sumber daya manusia yang memadai.

Karena itu, perlu dilakukan peningkatan pelayanan, keberagamaan atraksi yang ditawarkan, penguatan produk pariwisata, serta pematangan model bisnis yang ada.

3. Filling the gap dan asas sinergitas

Akan lebih baik jika setiap desa wisata memiliki satu spesialisasi yang spesifik sehingga memberikan pengalaman yang berbeda bagi para wisatawan.

Pada satu area wisata gunung misalnya, banyak bermunculan desa-desa wisata di sekeliling gunung tersebut. Sehingga, atraksi yang ditawarkan cenderung sama. Situasi seperti ini memperlukan spesialisasi.

Caranya adalah dengan membangun sarana prasarana penunjang di wilayah sekitar desa wisata, bukan membuat atraksi yang sama. Dengan demikian, semua desa dapat bersinergi satu sama lain dan tidak menimbulkan kecemburuan sosial antardesa wisata yang berdekatan.

4. Program multi years

Pengembangan pariwisata jangan dianggap dapat selesai dalam waktu singkat. Manfaat dari sektor pariwisata berkelanjutan tidak bisa secara instan diperoleh. Pengembangan secara massif di awal belum tentu dapat berlanjut, sehingga perlu pertimbangan kapasitas dan kemampuan seluruh elemen, baik kemampuan fisik, sosial, serta lingkungan.

Hal ini mencakup diversifikasi produk dan kegiatan wisata yang memperhatikan keunikan alam. Setiap kegiatan tidak boleh melebihi daya dukung ekosistem. Diperlukan pembatasan jumlah pengunjung harian, tidak membangun infrastruktur secara intensif, pengelolaan limbah, penghematan energi dan air, penggunaan teknologi ramah lingkungan, serta pemberdayaan masyarakat lokal untuk berperan aktif dalam praktik berkelanjutan.

5. Penguatan regulasi

Regulasi yang ada masih bersifat nasional dan mengatur bagaimana teknis pembangunan amenitas atau fasilitas penunjang pariwisata yang ada di desa wisata termasuk di dalamnya pembangunan toilet, gazebo, tempat sampah, dan papan informasi.

Belum ada regulasi yang secara spesifik mengatur pembangunan atraksi-atraksi wisata dengan mempertimbangkan bahaya dari lokasi fisik wilayah yang ditimbulkan. Misalnya pada desa wisata berbasis perairan atau sungai, banyak warung-warung di sekitarnya yang masih membuang limbahnya ke sungai sehingga menyebabkan sungai yang menjadi daya tarik utamanya justru tercemar.

Kondisi ini memerlukan peraturan desa yang mengatur isu-isu spesifik terkait desa wisata seperti kepengurusan organisasi kepariwisataan, pengelolaan sampah, pembangunan atraksi wisata yang ramah lingkungan, dan isu-isu lingkungan lainnya yang mengganggu keberlanjutan aktivitas pariwisata.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now