Menu Close

Instagram membuat turis bersikap buruk - ada cara untuk menjadi wisatawan yang ‘beradab’

Seorang turis asing berfoto diri (selfie) di Bali. DavideAngelini/Shutterstock

Perjalanan wisata kembali hidup selama musim liburan tengah tahun ini – tapi perilaku buruk wisatawan juga tampak meningkat.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan insiden yang melibatkan turis di lokasi destinasi wisata populer. Tindakan seorang turis yang mengukir namanya dan kekasihnya di tembok Colosseum di Roma, Italia, menunjukkan bahwa banyak turis yang perilakunya buruk, bahkan di tempat-tempat yang sebelumnya jarang mendapat bermasalah.

Ada apa di balik tindakan tak beradab ini? Penelitian saya menunjukkan bahwa salah satu jawabannya adalah media sosial. Instagram dan TikTok seringkali memudahkan kita sebagai wisatawan untuk menemukan restoran “hidden gem” dan destinasi-destinasi wisata baru yang bisa masuk dalam daftar perjalanan kita. Namun, kebebasan dalam melakukan perjalanan ini telah menimbulkan konsekuensi lain.

Zaman sekarang, banyak orang melihat dari media sosial bagaimana orang-orang terdekat mereka bersikap ketika mengunjungi destinasi wisata yang eksotis, lalu mereka menganggap (sadar atau tidak) perilaku yang biasa mereka lakukan di lingkungannya juga akan diterima jika dilakukan di tempat tersebut.

Ini dikenal sebagai bukti sosial, yakni situasi ketika kita merasa perlu meniru tindakan orang lain untuk membentuk perilaku kita sendiri. Kebanyakan orang cenderung bertindak lebih hedonistik saat berlibur. Sekarang, para wisatawan juga mencontoh apa yang mereka lihat di media sosial sebagai bukti bagaimana orang lain seharusnya berperilaku. Jika teman di lingkungan dekatnya melakukan hal negatif saat berlibur, ini dapat menyebabkan efek domino dari perilaku buruk.

Saya mengidentifikasi sikap dan kebiasaan buruk wisatawan ketika berlibur, yang muncul sebagai akibat dari pengaruh konten terkait wisata di media sosial.

Misalnya, efek korban yang dapat diidentifikasi yang menjelaskan bagaimana orang lebih cenderung bersimpati dengan korban tragedi ketika mereka tahu siapa korbannya.

Wisatawan biasanya menginap di hotel dan resor yang jauh dari pemukiman lokal. Ini kadang membuat mereka (salah) berpikir bahwa jika bepergian ke tempat yang jauh dari rumah mereka punya kesempatan untuk berperilaku buruk tanpa menghadapi konsekuensi. Mereka meremehkan atau mengabaikan dampak tindakan mereka terhadap penduduk lokal atau ekonomi setempat.

Dampak Instagram

Saat kita mengunjungi tempat yang indah, biasanya godaan untuk mengunggah foto dan video ke media sosial sangat tinggi. Menurut saya, ini menciptakan siklus yang membuat perjalanan menjadi kesempatan untuk lebih menampilkan diri.

Pertama-tama, seorang wisatawan melihat temannya mengunggah foto mereka suatu tempat (ini bisa dilihat melalui geotag). Ia kemudian ingin mengunjungi tempat yang sama dan berfoto di sana. Lalu, ia mengunggahnya di media sosialnya foto mereka di tempat yang sama dengan tempat temannya itu.

Mampu melakukan perjalanan ke tempat yang sama dengan yang dikunjungi oleh orang yang berada di lingkaran sosial yang sama dan membagikannya di grup dapat menjadi bentuk pembuktian status sosial. Namun, dalam beberapa kasus, ini artinya wisatawan akan menghabiskan lebih banyak energi untuk membuat konten daripada mengeksplorasi, menemukan, atau mempelajari kebiasaan tempat tersebut.

Respons destinasi wisata yang terdampak

Bali merupakan salah satu destinasi wisata yang reputasi pariwisatanya disokong oleh ketenarannya media sosial. Pulau yang indah, penuh dengan retret yoga, menjadi daya tarik besar bagi para influencer (orang yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi perilaku orang lain).

Sejak Juni 2023, Bali mengeluarkan aturan baru bagi para wisatawan terkait kewajiban perilaku yang baik di area pura, di sekitar pulau, dan dengan penduduk setempat serta menghormati lingkungan alam. Aturan ini keluar untuk merespons maraknya perilaku buruk wisatawan yang berlibur di sana.

Wisatawan di Bali sekarang harus mengantongi izin dari otoritas setempat untuk bisa menyewa sepeda motor. Mereka tidak boleh menginjakkan kaki di gunung atau gunung berapi mana pun di pulau itu karena area-area tersebut dianggap sakral. Wisatawan hanya boleh menginap di hotel dan vila yang terdaftar (ini memang akan berdampak pada sejumlah properti Airbnb). Otoritas Bali juga membentuk “gugus tugas turis” untuk menegakkan aturan dan pembatasan melalui penggerebekan dan investigasi, jika diperlukan.

Salah satu pedoman yang tertera dalam aturan tersebut adalah untuk tidak bertindak agresif atau menggunakan kata-kata kasar terhadap penduduk setempat, pejabat pemerintah atau turis lainnya, baik saat berada di Bali atau melalui media online. Aturan ini menyasar tentang masalah bagaimana media sosial berkontribusi menjadi bagian dari penyebab para turis berperilaku buruk.

Negara lain yang telah menerapkan langkah serupa untuk destinasi-destinasi wisatanya adalah Islandia, Hawaii, Palau, Selandia Baru, Kosta Rika. Mereka mewajibkan para turis berjanji untuk mematuhi hukum dan adat kebiasaan setempat. Kampanye-kampanye seperti “No Drama” (Jangan Ada Drama) di Swiss, “See Vienna - not #Vienna” (Kunjungi Wina – bukan #Wina) di Austria, “Be more like Finn” (Bersikaplah seperti orang Finlandia) di Finlandia, dan “How to Amsterdam” (Bagaimana Ber-Amsterdam) di Belanda bertujuan untuk mendorong para wisatawan untuk berkelakuan baik.

Ketika upaya-upaya semacam itu tidak berhasil, beberapa tempat, seperti Teluk Maya yang terkenal di Thailand, mengambilnya langkah lebih jauh dengan sepenuhnya menutup destinasi itu bagi wisatawan, setidaknya untuk sementara.

Berliburlah dengan beradab

Saat bepergian, ingatlah bahwa kita adalah tamu dari tuan rumah destinasi tujuan kita. Berikut adalah beberapa cara untuk lebih bisa menjaga sikap ketika mengunjungi tempat wisata.

1. Lakukan riset terlebih dahulu

Bahkan jika kamu adalah seorang wisatawan musiman, kamu mungkin tidak menyadari dampak tindakanmu terhadap komunitas lokal. Sedikit banyak informasi yang kamu peroleh – bisa dari melakukan riset sendiri atau mendapat informasi dari pemerintah daerah setempat – bisa cukup membantumu untuk mengetahui bagaimana sebaiknya berperilaku yang tepat di tempat tersebut. Sebelum kamu mendatangi tempat itu, carilah pedoman atau informasi tentang norma budaya setempat dan situasi keamanan di sana.

Apakah kamu setuju atau tidak dengan adat istiadat dan kebiasaan di daerah tersebut, itu soal lain. Jika kamu mengunjungi tempat wisata yang lebih konservatif dari lingkunganmu biasanya, kamu harus berhati-hati – jangan seperti dua influencer yang ditangkap karena melakukan hal tidak etis di sebuah pura di Bali.

2. Simpan dulu ponselmu

Penelitian menunjukkan bahwa saat bepergian, orang dapat menjadi terasing dari lingkungannya jika mereka lebih fokus pada perangkatnya daripada pada tempat itu sendiri.

Seringkali pengalaman dalam bepergian menjadi paling berkesan ketika kamu membangun koneksi dengan orang baru, atau mempelajari hal baru yang belum pernah kamu tahu sebelumnya. Ini semua akan sulit kamu dapatkan jika kamu terus-menerus fokus pada ponselmu.

3. Untuk influencer: gunakan pengaruhmu untuk kebaikan

Sedang populer unggahan yang memuat tentang “Instagram v reality”, yakni ketika para influencer mengungkapkan kerumunan besar dan antrean di balik destinasi wisata yang Instagrammable.

Menampilkan kondisi yang kurang baik tentang apa yang terjadi di balik foto-foto indah tersebut dapat memengaruhi orang-orang di jejaring media sosialmu untuk memikirkan kembali apa motivasi mereka untuk berlibur – apakah mereka hanya pergi ke suatu tempat untuk mendapatkan foto selfie yang bagus?

Banyaknya bukti tentang kondisi ini yang beredar di media online dapat menyebabkan pergeseran besar masyarakat terhadap pariwisata yang dipicu oleh media sosial.

Jika kamu ingin mengunggah dokumentasi liburanmu, cobalah untuk mempromosikan bisnis-bisnis kecil, dan pastikan kamu berperilaku sesuai etiket yang benar (dan tidak melanggar hukum) selama menikmati liburanmu.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now