Menu Close
Krisis perbankan
Dunia tengah was-was dengan potensi terjadinya krisis perbankan global. Lightspring/Shutterstock

Investasi dana nasabah sebabkan bank-bank global ambruk. Apa dampaknya ke Indonesia?

Pasar keuangan global tengah was-was dengan potensi terjadinya krisis perbankan.

Kecemasan ini berawal dari bangkrutnya bank asal Amerika Serikat (AS) Silicon Valley Bank (SVB) pada awal Maret 2023. Beberapa bank lain seperti Silvergate Bank, Signature Bank, bahkan Credit Suisse Bank (CSB) yang merupakan salah satu bank terbesar di Eropa, ikut goyang.

Menurut sebuah studi, hampir 186 bank di Amerika Serikat berpotensi mengalami kebangkrutan yang sama seperti SVB – dan ini belum termasuk bank bank besar seperti CSB dan Deutsche Bank.

Para pelaku pasar khawatir kalau krisis perbankan ini akan mengulang peristiwa krisis keuangan global 2008, yang bermula dari kesalahan investasi bank-bank besar termasuk bank investasi Lehman Brothers.

Sentimen negatif ini pun dirasakan di Indonesia yang sempat menyebabkan turunnya indeks saham pada satu minggu pertama setelah kasus SVB mencuat.

Mengapa bank-bank global ini ramai-ramai goyah? Bagaimana dampaknya ke perbankan di Indonesia?

Perubahan model bisnis perbankan

Tugas utama bank dalam perekonomian adalah mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman. Model bisnis tersebut dikenal dengan istilah “intermediasi keuangan”.

Ketika masyarakat menyetor uangnya ke bank, bank memberikan imbal hasil berupa bunga tabungan kepada mereka. Saat masyarakat meminjam uang dari bank untuk modal usaha, cicilan rumah, atau kartu kredit, bank menagih biaya bunga atau bunga pinjaman dari masyarakat.

Selisih antara bunga pinjaman yang dibayarkan masyarakat dan suku bunga tabungan yang diberikan ke masyarakat adalah keuntungan bank, yang dikenal sebagai margin bunga bersih.

Jika model bisnis perbankan sesederhana ini, lalu dari mana masalahnya muncul?

Pada awal abad ke-20, model bisnis perbankan tersebut mengalami perubahan. Uang yang dikumpulkan dari masyarakat tidak lagi hanya disalurkan dalam bentuk pinjaman, tapi juga diinvestasikan ke pasar keuangan.

Harapannya, bank akan mendapatkan imbal hasil yang lebih besar dengan berinvestasi daripada sekadar menyalurkan kredit pinjaman ke masyarakat.

Transformasi model bisnis ini yang menjadi akar permasalahan dalam krisis keuangan global tahun 2008 dan juga menjadi sumber masalah yang terjadi sekarang.

SVB, misalnya, menginvestasikan hampir semua dana yang mereka kumpulkan di obligasi pemerintah. Namun, nilai investasi tersebut ternyata terus merosot.

Masalahnya, mayoritas nasabah SVB adalah startup teknologi yang sedang mengalami kesulitan pendanaan. Ketakutan terhadap resesi membuat investor mengerem pendanaan mereka, dan perusahaan-perusahaan rintisan pun terpaksa menarik tabungan mereka demi keberlangsungan operasional.

SVB terpaksa menjual rugi semua investasi mereka agar dapat mengembalikan uang tabungan nasabahnya, yang berujung pada kebangkrutan bank tersebut.

Situasi serupa juga terjadi di banyak bank-bank lain seperti Silvergate, Signature, First Republic, dan PacWest. Silvergate dan Signature yang menjadi andalan perusahaan-perusahaan kripto harus menelan pil pahit dari anjloknya bursa mata uang digital tersebut.

Lain halnya dengan kasus CSB, yang merugi besar setelah terlibat dengan perusahaan investasi dan jasa keuangan, Archegos Capital Management dan Greensil Bank, yang kolaps pada 2021.

Nasabah CSB takut nantinya bank yang berusia nyaris dua abad tersebut tidak lagi memiliki dana sehingga menarik tabungan mereka secara besar-besaran. Ketakutan tersebut juga menjalar ke investor CSB yang kemudian menjual saham bank tersebut. Akibatnya, nilai saham CSB ambruk.

Kesilapan investasi ini juga dialami oleh Deutsche Bank dan beberapa bank lainnya di AS dan Eropa.

Sederhananya, krisis perbankan global yang terjadi saat ini berakar dari perubahan model bisnis perbankan. Para manajer di sektor perbankan tidak mampu mengelola risiko dengan baik, sehingga meningkatkan risiko kredit yang mengakibatkan kerugian besar bagi perbankan. Hal ini juga menimbulkan efek domino pada seluruh industri keuangan.

Mengingat pengalaman krisis keuangan global pada tahun 2008, goncangan yang saat ini terjadi berpotensi memicu resesi global dan mengganggu stabilitas ekonomi dunia.

Lantas, bagaimana dampaknya ke Indonesia?

Dampak ke Indonesia

Dampak krisis perbankan saat ini dapat dibagi menjadi dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung tergantung seberapa erat hubungan perbankan Indonesia dengan perbankan global dalam hal pengiriman uang, perdagangan valuta asing, dan layanan perbankan lainnya. Semakin erat hubungannya, semakin besar efek krisis terhadap perbankan Indonesia.

Namun, penelitian empiris menunjukkan bahwa perbankan Indonesia tidak terlalu terintegrasi dengan perbankan global. Sehingga, dampak langsung dari krisis perbankan global terhadap perbankan Indonesia cenderung lemah.

Sementara itu, dampak tidak langsung krisis perbankan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, mitra usahanya perusahaan Indonesia yang berada di AS dan Eropa yang terkena dampak dari kolapsnya bank-bank global bisa saja terpaksa menurunkan permintaan barang dari Indonesia. Hal ini mengakibatkan turunnya nilai ekspor Indonesia.

Atau, bisa juga bank-bank global menarik modal dan investasi dari Indonesia karena kesulitan keuangan. Keluarnya dana asing dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah.

Ini juga mengakibatkan kesulitan mendapatkan pendanaan atau pinjaman dari bank-bank global yang sedang berusaha mengurangi risiko. Situasi ini juga dapat mempengaruhi perkembangan startup Indonesia yang selama ini banyak mengandalkan pendanaan dari investor luar negeri.

Pelajaran untuk Indonesia

Salah satu pelajaran terpenting yang bisa kita petik dari krisis perbankan global ini adalah bagaimana model bisnis perbankan yang lebih mengedepankan investasi cenderung memiliki risiko yang lebih besar. Sehingga, perbankan perlu melakukan tata kelola risiko dan diversifikasi portofolio dengan baik.

Selain itu, penting untuk melakukan diversifikasi jenis nasabah bank, sehingga tidak mengulang kesalahan bank-bank yang hampir seluruh nasabahnya berasal dari perusahaan startup.

Misalnya saja, bank-bank di Indonesia sebaiknya tidak hanya fokus pada satu target pasar nasabah - seperti usaha mikro kecil dan menengah atau hanya fokus perusahaan eksportir – tapi memastikan bahwa nasabahnya berasal dari industri yang beragam.

Dari sisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kasus perbankan global ini memberi sinyal permasalahan di regulasi dan pengawasan.

Pertama, regulator ternyata sangat terbatas dalam mengatur aktivitas investasi yang agresif dilakukan oleh bank-bank investasi. Risiko moral (moral hazard) – situasi ketika satu pihak menyepakati suatu transaksi dengan kesadaran bahwa akan ada pihak lain yang menanggung kerugian – seringkali membuat mereka (bank dan institusi keuangan lainnya) mengabaikan risiko yang telah diidentifikasi sebelumnya.

Kedua, sistem pengukuran risiko di sektor keuangan saat ini tidak mampu mengidentifikasi secara akurat krisis keuangan yang sedang terjadi. Ambruknya SVB secara tiba-tiba menunjukkan tidak adanya metode pengukuran yang betul-betul efektif untuk menangkap terjadinya potensi kolaps.

Oleh karena itu, OJK perlu menerapkan evaluasi berkala terhadap manajemen risiko perbankan, persyaratan modal yang lebih ketat bagi bank-bank yang lebih besar atau memiliki risiko lebih tinggi, dan peraturan yang lebih kuat terkait pelaporan keuangan dan transparansi. Sanksi yang lebih tegas bagi bank-bank yang melanggar aturan juga perlu diatur.

Sebagai tambahan, regulator seperti Bank Indonesia dan OJK perlu bekerja sama bersama universitas untuk membuat sebuah alat pengukuran risiko yang lebih andal.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now