Menu Close

Silicon Valley Bank: bagaimana kenaikan suku bunga memicu keruntuhannya dan apa yang harus dilakukan bank-bank sentral

Logo Silicon Valley Bank
Mungkinkah muncul risiko sistemik dari ambruknya Silicon Valley Bank? mariia shalabaieva/unsplash, CC BY

Mantan Perdana Menteri Inggris Harold Wilson terkenal dengan ucapannya tentang bagaimana dalam politik, satu minggu adalah periode yang panjang. Namun di dunia keuangan, tampaknya semuanya bisa berubah hanya dalam dua hari saja.

Hanya selang 48 jam setelah Silicon Valley Bank (SVB), mengumumkan pada 8 Maret bahwa bank komersial asal Amerika Serikat (AS) tersebut tengah mencari pendanaan sebesar US$ 2,5 miliar (Rp 38,43 triliun) untuk menutup lubang di neraca keuangannya, Federal Deposit Insurance Corporation (selaku badan regulator) mengumumkan bahwa bank tersebut bangkrut.

Pada masa jayanya pada 2021, SVB memiliki valuasi sebesar US$ 44 miliar dan mengelola aset hingga US$ 200 miliar. Seminggu sebelumnya, SVB masih menjadi lembaga penerima simpanan terbesar ke-16 di AS. Dalam sekejap, SVB mencetak rekor sebagai kegagalan perbankan terbesar kedua sepanjang sejarah negara tersebut, setelah ambruknya institusi keuangan Washington Mutual pada krisis finansial global 2008.

Walaupun kondisi keuangan SVB memang sudah tak sehat selama beberapa waktu, kejatuhannya yang begitu cepat mengejutkan semua orang, termasuk nasabahnya yang kebanyakan berasal dari sektor teknologi. Perusahaan teknologi di seluruh dunia menyimpan uangnya di SVB dan kini was-was soal bagaimana mereka harus membayar pekerja dan tagihan mereka, sampai akhirnya sokongan pemerintah AS diumumkan bersamaan dengan kesepakatan HSBC untuk membeli SVB cabang Inggris.

Dan tampaknya hal-hal yang menyebabkan keruntuhan SVB – yang menurut beberapa metrik merupakan yang tercepat dalam sejarah – menyebar ke institusi-institusi lainnya yang memiliki karakteristik serupa. Pada 12 Maret, dua hari setelah SVB ambruk, regulator di New York menutup Signature Bank, dengan alasan risiko sistemik.

Tapi apakah yang terjadi dengan SVB betul tak dapat diduga, dicegah dan dihindari? Riset saya menunjukkan, tidak. Buku terbaru saya tentang sejarah krisis finansial, Calming the Storms: the Carry Trade, the Banking School and British Financial Crises Since 1825, kebetulan diterbitkan sehari sebelum jatuhnya SVB dan menjelaskan tiga situasi yang mengarah ke krisis perbankan.

Mengapa SVB ambruk

Salah satu penyebab potensial adalah ketika perubahan suku bunga antar negara menyebabkan investor mengejar suku bunga yang lebih baik, dan mengakibatkan mulainya atau berhentinya pergerakan arus modal secara mendadak. Akibatnya, ketersediaan dana pun terpengaruh. Inilah yang terjadi selama krisis kredit 2007, yang mendahului krisis keuangan global.

Namun, ini bukan penyebab di balik keruntuhan SVB.

Tersungkurnya SVB berhubungan dengan dua penyebab lain yang saya deskripsikan di buku saya.

Pertama adalah ketika suku bunga meningkat dengan cepat. Penyebabnya bisa jadi karena bank sentral bereaksi terhadap kenaikan inflasi, perang atau ketatnya lapangan pekerjaan. Memang, bank sentral AS, Federal Reserve atau the Fed, serta bank sentral di berbagai negara, telah menaikkan suku bunga dari rentang 0.25%-0.5% menjadi 4.5%-4.75% sepanjang 12 bulan terakhir.

Tingginya suku bunga membuat pinjaman makin ketat. Hal ini menyulitkan institusi keuangan untuk membiayai operasinya sendiri, sekaligus merusak nilai pinjaman dan aset eksisting mereka.


Read more: Inflation, unemployment, the housing crisis and a possible recession: Two economists forecast what's ahead in 2023


Yang kedua adalah ketika suku bunga jangka pendek naik di atas suku bunga jangka panjang, seperti yang terjadi di AS selama beberapa bulan terakhir. Selama pandemi, perusahaan rintisan teknologi, dengan uang cadangan dari putaran dana di dunia uang mudah (easy money), menempatkan simpanan mereka di SVB.

Dengan sedikitnya permintaan pinjaman dari sektor tersebut, SVB menginvestasikan sebagian besar uangnya dalam obligasi jangka panjang – kebanyakan berasal dari sekuritas yang didukung hipotek dan Departemen Keuangan AS.

Singkatnya, SVB memperoleh dana dalam bentuk simpanan jangka pendek dan menanamkannya dalam investasi jangka panjang. Kemudian, dalam waktu beberapa bulan, suku bunga jangka pendek naik di atas imbal hasil dari obligasi jangka panjang (lihat grafik di bawah). Sebab, kebijakan the Fed membuat suku bunga melambung.

Perkembangan kenaikan suku bunga AS

Grafik garis menunjukkan suku bunga AS jangka panjang dan pendek naik dari waktu ke waktu, dengan
Olahan penulis dari data OECD

Dengan putaran pendanaan sulit diperoleh dalam situasi ekonomi dengan suku bunga tinggi, perusahaan teknologi pun mulai menarik dan menghabiskan simpanannya. Pada saat bersamaan, tingginya suku bunga berakibat pada jatuhnya harga obligasi yang menjadi pilihan investasi SVB. Ini mengakibatkan margin laba SVB menyempit dan neraca keuangannya goyah.

Situasi makin runyam karena SVB terpaksa menjual rugi obligasi yang bertenggat panjang lebih awal, demi mendanai simpanan yang ditarik para nasabah. Berita soal penjualan obligasi ini membuat nasabah makin menarik dana, yang kemudian harus ditambal lagi dengan menjual obligasi. Lingkaran malapetaka pun terjadi.

Pengumuman 8 Maret bahwa SVB ingin mengumpulkan US$ 2,5 miliar untuk menutup lubang akibat kebakaran aset ini memicu penarikan dana besar-besaran oleh nasabah pada saat yang bersamaan (bank run), yang kemudian mengakhiri sepak terjang institusi keuangan tersebut.

Kekhawatiran soal risiko sistemik

Seberapa khawatirkah kita seharusnya terhadap runtuhnya SVB?

SVB bukanlah pemain besar dalam sistem keuangan dunia. Keberadaannya dalam perbankan modern juga cukup unik mengingat ketergantungannya pada satu sektor sebagai basis kliennya, dan kerentanan neraca keuangannya dihadapkan pada kenaikan suku bunga.

Namun, walaupun tidak memicu krisis finansial yang lebih besar, kejatuhan SVB menjadi peringatan penting. Naiknya suku bunga sepanjang setahun terakhir telah membuat ekonomi global rapuh.

Bank sentral dunia menempuh jalan yang sempit untuk mencoba memerangi inflasi tanpa merusak stabilitas keuangan. Para bankir bank sentral harus mengelola suku bunga dengan lebih hati-hati, sementara regulator harus mencegah sektor keuangan dari aktivitas jual beli dan simpan pinjam tanpa lindung nilai yang memadai atas potensi risiko yang ditimbulkan.

Penting juga bagi bank sentral memantau dampak perbedaan suku bunga dan arus modal lintas batas negara terhadap kredit yang tersedia bagi bank dan bisnis. Bahkan jika kegagalan SVB dan Signature terbukti tidak lebih dari sekadar “kesulitan lokal kecil” (mengutip bekas perdana menteri Inggris lain, Harold Macmillan), risiko sistemik yang jadi sorotan pasca keruntuhan dua bank ini tidak dapat lagi diabaikan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now